Car (Free) Day Serang




 Tidak bisa tidur karena banyak suara di kepala, itu mungkin sudah biasa terjadi pada saya. Saya menyebutnya ‘setan kepala’. Karena itu, saya memutuskan untuk mengenyahkannya dengan cara joging. Hari Minggu (13/04) ini seperti biasa Car Free Day sedang berlangsung, dan ke sanalah kaki saya berlari. Lopang Indah tempat tinggal saya dengan lokasi Car Free Day tidak sejauh tempat tinggal saya yang dahulu. Dan tentu saja ini memudahkan saya untuk turut serta menikmati lengang jalan dari kendaraan di Kota Serang.
Car (no) Free Day Serang
      Akan tetapi, pemandangan yang kemudian saya dapatkan ternyata tidak selengang yang saya kira. Tidak hanya banyaknya pedagang dadakan yang mengisi ruas-ruas jalan Diponegoro, namun kendaraan bermotor pun banyak yang meloloskan diri dari plang bertuliskan “Di Sini Sedang Berlangsung Kegiatan Car Free Day” yang dipasang di besi yang menghalangi separuh jalan Diponegoro, Pocis.
       Saya mulai melanjutkan kegiatan menghilangkan ‘setan kepala’ ini dengan berlari di luar area Alun-alun Serang. Saya lihat, mobil perpustakaan keliling Kabupaten Serang terparkir di sisi badan jalan, mobil PMI juga terparkir. Dan yang terakhir itu membuat saya lega. Terus terang, terakhir kali hendak donor, saya tidak diperbolehkan karena baru selesai haid. Saya harap hari ini saya bisa.
     Kembali ke jogging. Memilih tempat jogging mengelilingi luar areal Alun-alun itu sebenarnya cukup beresiko. Saya harus berhati-hati, maksud saya, saya harus pandai-pandai menghindar; menghindar dari orang-orang yang juga turut meramaikan kegiatan ini dengan berolah raga dan berbelanja, juga menghindari kendaraan yang memang berada di jalur yang sengaja dibuka. Memang, ada jogging track di Alun-alun Timur, namun melihat banyaknya orang yang berada di sana; ada yang jogging, jalan kaki, senam, dan duduk-duduk saja. Dan setelah mengitari 2 alun-alun sebanyak 4 kali, saya pun mencoba berlari di jogging track itu.
        Tapi, kamu tahu? Ternyata berlari sambil menghindari orang-orang yang berjalan kaki itu lebih sulit dibanding berlari sambil menghindari kendaraan. Di jalan, mungkin kamu bisa terkena senggolan kendaraan. Tapi di jogging track dengan banyak orang yang berjalan kaki seperti pagi ini, selain bisa menyenggol orang juga bisa membuat mood berlari atau berolah raga kamu hilang. Jadi, pilih mana?
Koran Minggu
      Setelah kembali ke luar Alun-alun, saya kembali melanjutkan jogging. Dua, empat, lima putaran sebelum akhirnya saya berbelok ke arah lapak koran di RSUD Serang. Di sana seperti biasa saya meminta ijin mengintip koran, sebelum tentu saja membelinya. Bercengkrama sejenak dengan mamang koran, sedikit berbincang tentang politik, sosial, dan permasalahan lainnya, membuat saya agak keasyikan. Dan setelah mendapat koran yang saya inginkan, saya segera pamit untuk melanjutkan jogging.

Car Free Day?
      Namun, saat saya sampai di depan Ramayana Serang, saya melihat orang-orang yang tampak berkumpul dan ribut. Hanya satu alasan saya menghampiri mereka; ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dan rupanya anak-anak sketboard yang sedang asyik bermain di bawah jembatan penyebrangan itu terpaksa harus menyisi karena ada beberapa mobil tanpa berdosa lewat. Beberapa orang saya dengar menggerutu: “Ini kan car free day, gimana sih. Goblok!”, “Nggak tahu ada car free day, apa bego?”, “mentang-mentang punya mobil, orang kaya, lagi car free day juga dilolosin. Dasar polisi,” dan gerutuan lainnya. Mendengar gerutuan itu membuat saya merasa risih, tapi melihat kendaraan-kendaraan itu lolos—meski ada polisi di sana, saya juga merasa sebal.
Ibu petugas Perpustakaan Keliling Kab. Serang
       Setelah melihat kejadian itu, niat saya melanjutkan jogging jadi urung. Saya kemudian berjalan menghampiri mobil perpustakaan Kabupaten Serang yang terparkir di bahu jalan atau di depan Alun-alun Barat. Buku-buku yang saya temukan bagus, dan itu membuat saya ingin membacanya.
     “Bisa dipinjam dan dibawa pulang, bu?” Tanya saya ke seorang petugas Perpustakaan.
     “Nggak bisa, dik. Harus daftar dulu ke perpustakaannya,” jawabnya. Saya kemudian menanyakan letak perpustakaan Kabupaten, jam kerja, dan persyaratan untuk menjadi anggota.
     “Kalau mau jadi anggota harus bawa KTP sama KK,” ujar ibu berkaos jingga dan berkerudung dengan warna senada itu.
     “KK? Kartu Keluarga?” Kaget saya. “Nggak cukup KTP aja, bu?” Saya menahan tawa.
    “Iya, harus bawa Kartu Keluarga juga, soalnya buat administrasi,” jawab ibu itu. Saya mulai tertawa. Sungguh! Ini peristiwa terlucu pertama hari ini. Ibu itu menatap saya, barangkali ia heran.
      “Bu, saya masih lajang, keluarga saya jauh di luar kota. Bagaimana dong?” Tanya saya lagi sembari menahan tawa. Saya pikir ibu ini sedang bercanda, sehingga tadi saya tertawa sepuasnya.
      “Yah, gimana ya, itu prosedurnya begitu,” ucapnya dengan mimik serius. Saya mendelik. Serius?
Pengunjung Perpustakaan Keliling Kab. Serang
      “Oh, ya udah atuh, bu,” pamit saya. Setelah lumayan jauh, saya langsung tertawa terbahak-bahak lagi. Demi apa pun juga, saya tidak pernah mendengar bila hendak mendaftar jadi anggota perpustakaan harus membawa Kartu Keluarga juga. Saya hanya pernah mendengar membawa kartu itu bila hendak kredit barang elektronik. Tapi, saya tidak heran bila hal ini terjadi di Serang. Entahlah, perpustakaan di sini suka ribet—kecuali di Perpusda, sih. Ada perpustakaan yang mewajibkan anggotanya memiliki kartu anggota, jika tidak memiliki hendak membaca pun tidak boleh. Oke, bila alasannya peraturan itu juga diterapkan di Perpusnas. Karena saya belum pernah memasukinya, dan saya tidak tahu berapa banyak koleksi buku Perpusnas. Bayangan saya mungkin buku-buku langka juga banyak di sana, sehingga petugas Perpusnas harus ekstra hati-hati. Nah, perpus yang ini. Udah koleksinya sedikit—padahal tiap tahun ada sumbangan dari alumni, lho—sempit, selalu acak-acakan, adanya di kampus pula. Lalu ke mana buku-buku sumbangan alumni? Hello!
           Lha? Kok ngomongin perpustakaan?
        Kembali ke perjalanan saya. Setelah dari mobil Perpustakaan Keliling itu, saya lalu berjalan ke arah mobil PMI. Mengisi formulir, dan menghampiri kakak PMI—tampan (aih, tumben)—yang bertugas mengecek tensi darah pun saya lakukan.
Kakak PMI--yang tampan.
     “Wah tensinya kurang nih, kak. Cuma 90,” kata kakak PMI—tampan—itu.
      “Masa, sih, kak? Duh, gimana dong?” Ujar saya agak bingung.
      “Udah sarapan belum?” Tanyanya. Saya menggelengkan kepala. “Coba kakak sarapan dulu, siapa tahu nanti tensinya naik,” sambungnya. Saya menganggukan kepala. Dalam hati saya berujar; “kalau sarapannya disuapin kakak, mungkin tensi saya segera naik, lho’.
        Bubur ayam seharga Rp. 7000, saya pilih sebagai menu sarapan saya pagi ini. Mas dan mbaknya sangat ramah—mbaknya sedang hamil. Barangkali mereka baru beberapa bulan atau tahun menikah.   Ah, kenapa saya jadi membahas mereka?
        Singkatnya, setelah sarapan dan membayar sebotol air mineral, saya langsung kembali ke mobil PMI. Saya bertemu lagi dengan kakak PMI—sekali lagi, yang tampan itu. Ia tersenyum, pun saya.
Tensi darah
       “Sudah sarapan, kak?” Tanyanya ketika melihat saya duduk dan langsung menjulurkan tangan meminta ditensi. Saya mengangguk. Kalau tangan saya sudah dipegang jangan dilepas, lho, kak. Batin saya. “Wah! Kok masih 90, ya, kak?” Ucapnya seraya tertawa. Saya mendelik.
        “Masa, sih, kak?” Ucap saya kaget. “Yah! Gimana dong? Udah dua kali lho begini terus,” sambung saya serada curhat. Kakak PMI itu mengiyakan, ia tersenyum.
         “Mungkin lain kali saja, kak,” ujarnya seperti mencoba membesarkan hati saya. “Terima kasih, ya, kak,” sambungnya. Saya mengiyakan, dan pamit. ‘Coba tadi sarapannya disuapin kakak, mungkin tensi saya benar-benar naik,’ gumam saya sembari berjalan menjauh.
         ‘Makanya ngomong langsung, jangan cuma berani ngomong dalam hati aja,’ ujar seseorang di kepala saya. Setan kepala masih ada! (*)

JEPRET!
Car (no) Free Day Serang (13 April 2014)



 

You Might Also Like

0 Comments