3 Makhluk Menyebalkan


Tiga makhluk itu berwajah garang dan siap menyerang siapapun yang ada di hadapan. Mereka menggeram dan terus memasang mimik wajah yang tidak bersahabat. Kutaksir, makhluk yang di tengah itu adalah pemimpinnya. Dia lebih garang dari kedua lainnya yang berdisi di sisi kanan dan kirinya. Dari gelagat mereka, kutaksir mereka hendak merangsek masuk ke dalam rumah kami. 

Rumah kami sedang ramai dikunjungi orang-orang berpakaian serba hitam lengkap dengan ikat kepala hitamnya dan orang-orang berpakaian putih. Salah satu di antara orang-orang berpakaian putih itu adalah sosok seorang alim yang sering kulihat di televisi. Aku mengenalnya ketika melihat berita beliau ditusuk seseorang ketika sedang berdakwah. Berita penusukannya menjadi perbincangan, sebab beliau tidak menuntut pelakunya. Tapi, beberapa waktu lalu beliau diberitakan meninggal akibat pandemi, bukan?

Subhanallah, masyaallah!

Gumamku takjub. Ingin rasanya aku menghampiri, mencium tangannya dan memintanya mengelus kepalaku. Tapi aku seorang perempuan dan beliau mungkin sedang menjaga wudhunya. Meski ingin, tapi aku hanya bisa menganggukan kepala sembari membungkan badan sedikit sembari menangkupkan tangan di dada ketika kami tak sengaja bertatapan sebagai tanda salam hormatku. Beliau mengangguk dan tersenyum.

Di antara ketakjuban sejenak itu, suara ketiga makhluk menyebalkan itu terdengar. Melengking sekali. Mereka tetap berusaha untuk masuk ke rumah. Dengan sedikit kesal, kusibak kerumunan dan langsung menunjuk ketiga makhluk itu sembari memarahinya.

"Mau kalian apa?" Tanyaku.

Salah seorang dari ketiganya menjawab ingin masuk ke area rumah. Tentu saja segera kujawab tidak. "Mau apa kalian di rumahku? Ini rumahku, kalian tidak berhak memasukinya tanpa seizinku," ujarku. Mendengar ucapanku itu, salah seorang dari makhluk itu tampak marah sekali. "Kalian berdua," tuntukku pada dua makhluk di kanan dan kiri makhluk yang marah itu. "Kalian mau tetap masuk ke rumahku, atau kami kirimkan doa untuk kalian agar kalian mendapat apa yang kalian inginkan?"

Mendengar tawaranku itu, keduanya tampak saling bertatapan. "Jika kalian disuruh, setelah dari sini, kalian bebas menentukan hidup kalian," sambungku. Mata keduanya tampak berbinar senang. Dan tanpa dikomando, keduanya menganggukan kepala.

"Baiklah, terimalah pakaian dan makanan untuk kalian. Mari kita berdoa," ujarku seraya mengangkat tangan sembari komat-kamit sebelum akhirnya telunjukku mengarah ke kedua makhluk itu. Kedua makhluk itu tampak antusias, mereka senang sekali. Pakaian keduanya yang semula hanya selembar kain di bagian pinggang yang dililitkan serupa cawat, berganti dengan pakaian sebagaimana yang dikenakan orang-orang. Tangan keduanya juga tampak menampa senampan penuh makanan.

"Masih kurang?" Tanyaku pada keduanya dan tidak menghiraukan pada makhluk di tengah yang masih marah-marah itu. "Terima ini dan pergilah," ujarku lagi seraya melakukan gerakan serupa yang tadi. Kali ini, keduanya benar-benar dua kali lebih senang dari yang tadi. Saking senangnya, keduanya tampak berjingkrak-jingkrak sebelum akhirnya membungkukan badan sembari mundur dan menghilang. 

Di hadapanku, tinggal si makhluk beringas yang doyan marah-marah itu. Kemarahannya sepertinya sudah mencapai puncaknya saat menyaksikan kedua rekannya sudah mundur setelah aku sogok. "Bagaimana? Kau mau juga seperti mereka? Atau mau tetap memaksa masuk ke rumahku?" tanyaku. Si makhluk itu melolong marah. Seolah mengatakan ketidaksudiannya menerima tawaranku.

"Jika kau disuruh, kembalilah pada orang yang menyuruhmu dan katakan padanya; jangan mengganggu kami," ujarku. Makhluk itu melolong lagi. Jika kugambarkan, lolongannya itu seperti menghantarkan energi panas ke arah kami tapi menabrak dinding tak kasat mata yang pada akhirnya kembali menghantam tubuhnya sendiri. Hingga wajahnya tampak benar-benar merah, begitu pula badannya. Aku tak perlu mendeskripsikan bagaimana rupanya pada kalian. Tapi kupastikan kemarahannya dapat membakar apa saja yang ada di hadapannya.

Setelah menumpahkan kemarahannya dengan terus berusaha menyerang dan merangsek masuk, si makhluk itu tampak mundur beberapa langkah tanpa menghentikan lolongannya. Tapi seperti yang kukatakan, usahanya tidak berhasil.

"Berisik!" Teriakku marah. Kutunjuk si makhluk itu sembari menghardiknya.

"Pergi!" hardikku. Seketika, makhluk itu terdorong ke belakang dan menghentikan lolongannya. Tangannya memegang bagian perut, seperti menahan sakit yang tak terhingga. Tanpa basa-basi lagi, ia terus mundur dan mundur, kemudian menghilang.

Alhamdulillah. Gumamku sembari berbalik kembali ke dalam rumah dan menyilakan para tetamu untuk duduk kembali, melanjutkan obrolan apapun yang sebelumnya terjadi. Sementara aku kembali ke kehidupan nyata di dalam rumah.


You Might Also Like

0 Comments