Tanpa Syarat: Sebuah Catatan



Untuk apa ingin pacaran, bila akhirnya akan putusan? Langsung lamaran dan menikah saja.

Seringkali, keinginan yang baru terbersit di dada, sudah dipatahkan sendiri. Kalimat di atas itu hadir setelah perenungan di malam Lebaran 1442 hijriah. Tahun dengan kombinasi yang spesial dengan peristiwa keberkahan yang menghangatkan dada, entah mengapa. 

Tahun ini juga banyak pelajaran yang diberikan. Sebagai murid, saya menerimanya dengan riang sembari mengerjakan tugas saya. 'Mbatin' kali ini adalah perihal cinta tanpa syarat dan kebaikan hati. Konon, keduanya merupakan ramuan untuk membantu semesta dalam memperbaiki tatanan kehidupan ini. Hati yang tulus, menerima kekurangan sesamanya dan paham bahwa setiap manusia diciptakan dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing adalah modal utama untuk mewujudkan silih asah, silih asih dan silih asuh.

Entahlah. Saya juga belum paham, hanya saja saya merasa semesta sedang mendorong saya untuk melakukan keduanya. Spread the love dan tidak memintanya untuk kembali. Hanya sebarkan saja. Karena seperti yang sudah-sudah, hati sepertinya menjadi lebih merekah. Tapi, saya juga tidak menutup diri pada setiap kemungkinan yang terjadi. Saya tidak ingin menjadi sembarang hingga memunculkan pandangan atau sangkaan buruk saat melakukan spread love itu. Karena kadang, hal itu bisa disalahartikan. Dikira mencintai lelaki (pacar) orang lain, misalnya. Padahal 'love you' bagi saya kadang lebih seperti 'terima kasih' atas bantuan apapun dan waktu yang diberikan seseorang untuk saya Sekaligus saya ingin memberitahunya bahwa diri orang yang saya kirimi kalimat itu sangat berharga, baik untuk saya maupun lingkungannya. Kau tahu bukan, bagaimana rasanya serangan 'merasa tak berharga' itu? Jika belum pernah merasakan, cobalah.

Yah, namanya sangka segala sangka. Setiap manusia pasti mempunyainya. Pikiran positif, bisa menjadi negatif atau sebaliknya. Boro-boro pikiran orang lain ke kita, kita saja selalu memiliki pikiran buruk pada diri kita sendiri. Mungkin, porsinya saja yang berbeda. Ada yang lebih banyak, ada juga yang lebih sedikit. Yah, manusiawilah istilahnya.

Kadang, kita juga menemukan beberapa orang seolah tahu sekali dengan kehidupan kita melebihi apa yang kita jalani. Ketika kita mencoba klarifikasi, alih-alih percaya pada jawaban kita perihal diri dan apa yang kita lakukan atau akan lakukan, mereka malah mengeluarkan jurus sakti dengan mencemooh sembari mengatai kita munafik. Padahal, kemunafikan itu barangkali ada pada dirinya. Karena itu dia melemparkannya pada kita yang hidupnya woles banget ini.

Kalau kamu bertemu orang yang sering main lempar penyakitnya begitu, kasih senyum saja. Nggak usah dimasukan ke hati dan pikiran omongannya. Karena memang, banyak orang yang selalu merasa bermasalah dengan diri orang lain. Padahal, masalahnya ada di mereka sendiri. Di hati dan pikiran mereka sendiri. Dan kita tidak punya kuasa atas hal itu. Jadi, biarkan saja.

Saya tidak pernah ingin mengelak dari perasaan apapun. Bila saya menyukai siapapun pencipta tembok itu, saya akan lihat seberapa mampu saya menaikinya. Bila semakin saya daki, temboknya semakin tinggi, tentu saja saya mending turun dan menikmati kopi sembari menatap lembah yang indah di sekitar saya. Untuk apa saya bersusah-susah sendiri untuk orang yang bahkan tidak peduli pada diri saya? Sederhananya gini, saya tidak punya kuasa atas diri orang-orang di luar diri saya. Karena itu, saya fokus pada apa yang bisa saya lakukan saja. Rasanya, itu lebih woles dan tentram. Meskipun saya bukan orang yang bisa selalu namaste untuk beberapa hal baik yang langsung berhubungan dengan saya, maupun tidak. Saya juga memiliki rasa marah atas suatu keputusan yang tidak menyertakan saya di dalamnya. Saya tidak pernah ingin mengelak dari perasaan ini. Bahkan, perasaan ditolak oleh seseorang pun saya terima sebagaimana adanya.

Yah, kadang saya juga merasa kecewa terhadap beberapa hal. Saya juga merasa sedih karena suatu hal. Misalnya, orang yang kita tuju memberikan tembok paling tinggi yang tidak bisa kita panjat walaupun kita adalah ahli panjat tebing paling curam sekalipun. Padahal, kita yakin ada koneksi kuat antara kita dan dia. Mungkin, ini hanya kemungkinan saja, sebenarnya dia pun memberi kita porsi 'suka' dari balik dindingnya itu. Tapi sayangnya, banyak orang sudah terlalu lelah dengan perasaan 'diabaikan', 'tidak diterima', 'tidak dihargai' seperti itu. Lagian, untuk apa dinding setinggi itu jika pada akhirnya, setelah ia memutuskan pergi, kita menyesalinya juga? Man, that is horrible for sure.

Ketika saya dilanda galau, risau dan bimbang, tentu saya tahu semuanya itu tidak perlu. Tapi kadang, segala hal memiliki prosesnya sendiri. Karena itu, saya biarkan diri saya merengek ke sahabat saya. Beberapa orang yang paham bagaimana saya, mereka pasti akan memilih posisi mendengarkan. Bukan posisi si pemberi solusi yang memberi contoh dengan apa yang sudah mereka alami dan merasa benar sendiri. Tentu, mereka dengan senang hati selalu memberi solusi bila saya memintanya.

Mari kita kembalikan lagi ke cara kita menghadapi persoalan dan mengekspresikan apa yang kita rasakan. Kadang, saya juga menyukai hal-hal yang dilakukan dengan spontan. Rasanya, lebih bebas dalam menikmati momennya. Tapi, layer yang kita pasang kadang terlalu banyak. Ditambah lagi dengan self defense untuk menangkis segala anggapan, cercaan atau apapun yang dikatakan orang.

Mari sederhanakan, satu persatu, layer di dalam diri kita buka. Self defense, dinding tebal yang menjadi benteng pertahanan atas serangan apapun terhadap diri kita, mari kita bongkar saja. Menjadi jujur pada diri sendiri adalah modal utama untuk mempresentasikan diri kita dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mudah, memang. Tapi, apa salahnya mencoba hidup tanpa banyak layer, bukan? 

Saya rasa, dengan jujurnya kita pada perasaan sendiri, tidak akan ada gunung berapi yang sewaktu-waktu bisa kita ledakan dengan gelegar sempurna ketika rasa kecewa, marah dan merasa terkhianati dan perasaan lain itu mencapai puncaknya.

Dan satu hal yang pasti, saya sudah memaafkan segala kesalahan siapapun di hari lalu. Semoga mereka yang pernah merasa tersakiti oleh saya, memaafkan kesalahan saya juga. Semoga kita semua mencapai kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman hidup yang kita dambakan. Semoga selalu sehat dan diberi keberlimpahan rezeki. Aamiin.

Cag.

You Might Also Like

0 Comments