utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact

Ada aku yang selalu mengintip dari balik dedak kopi pagimu. Senyum sapaku mengepul seharum kopi yang kamu sukai itu, kemudian bersanding dengan asap tembakau dari mulut cerobongmu. Cerita hari kemarin yang membosankan, menyedihkan, membahagiakan, diam-diam aku campurkan ke dalam kopimu. Apakah kamu pernah mengalami atau merasa sakit kepala, mulas, ditengah kamu menikmati kopi--atau setelah kopi habis? Ya, itu efek samping dari cerita yang aku campurkan.

Sebab, ada aku yang selalu mengintip dari balik dedak kopi pagimu. Kamu selalu duduk di tepi jendela. Kamu peluk sebelah kaki, sementara kaki yang lain kamu biarkan menggantung. Matamu tertuju pada langit. Ya, langit dengan iringan awan serupa arum manis yang dijual di perempatan jalan menuju ke rumahmu. Kuterka, kamu sedang memperhatikan cuaca. Siang nanti, semesta akan memberimu bahagia, atau cuma mulut rapat dan kerutan di kening. Mungkin saja, kamu sedang merindu hujan, sebab kemarau akhir-akhir ini membuatmu tak ingin lagi memakai baju.

Padahal, ada aku yang selalu mengintip dari balik dedak kopi pagimu. Andai saja kamu tahu, aku bisa membacakan koran semesta, sebelum orang-orang koran menulis berita, sebelum pemuda loper itu melemparkan sebundel koran ke beranda rumahmu. Aku bisa. Tapi, tergantung kamu. Apakah kamu bisa menemukanku, atau tidak. [*]
  • 0 Comments

Pernah dengar lagu tante Celine Dion yang baru itu? Asyik sekali. Mau dengar? Mari, dengarkan sambil angguk-angguk kepala, jungkir balik, atau sekedar sok adem ayem padahal nggak ngerti, terserah. Yang pasti, ini asyik. Hihi *maksa*


Nggak hafal liriknya? Oh, tenang saja. Saya cantumkan di bawah ini. :p

Somebody Loves Somebody 

I don’t want another piece of your mind
So take it somewhere else for the night
‘Cause I can’t take another goodbye

If you wanna bite, bite your tongue
Before you explode
But don’t let this get out of control
You don’t want me to leave you alone

When somebody loves somebody
That’s the way it’s supposed to be
‘Cause you knows nobody else would put up with your games, oh
I don’t believe in loving him no more, no, no
That’s not the way it is when somebody loves somebody

Eh, eh, eh, eh

When somebody loves somebody

Wait, I’m hearing every word that you say
You wonder if you made a mistake
It’s written all over your face

You know it’s too late
We’ve already fallen in love
Tell me, is it asking too much
For you to stick it out when it’s tough
Is it ever enough?

When somebody loves somebody
That’s the way it’s supposed to be
‘Cause she knows nobody else would put up with your games, oh
I don’t believe in loving him no more, no, no
That’s not the way it is somebody loves somebody

Eh, eh, eh, eh

When somebody loves somebody

Some people live their lives
Never believing in love
I don’t want that for us

When somebody loves somebody
That’s the way it’s supposed to be
‘Cause you know nobody else would put up with your games, oh
I don’t believe in loving you no more, no, no
That’s not the way it is somebody loves somebody

Eh, eh, eh, eh

When somebody loves somebody
  • 0 Comments
Has come; 2nd annual gift from viki.com
Hari ini, seseorang memberitahu bila ada sebuah paket untuk saya. Paket? Saya kira, itu sebuah buku yang saya menangkan dalam kuis yang diadakan Majelis Sastra Bandung. Tapi, saat saya melihat pengirim; viki.inc, saya langsung menjerit; ini dia! Dengan semangat, saya langsung membuka amplop cokelat itu.
       Dan....
       Jreeengg!
     Ada sticker, kartu ucapan dari tim viki; Mariko, Carly, Stephanie, Anaheli, Brittany, Victoria, gantungan kunci, juga--ini yang membuat saya merasa akan sangat keren bila memakainya--ada tote bag. Wah! Tahun lalu, kaos, sekarang lebih ramai! Hehe..
   Mungkin bagimu ini hadiah tidak seberapa, tapi bagi saya ini sangat berharga. Saya menganggap ini apresiasi dari viki.com untuk semua qualified contributor atau 'volunteer yang rajin' untuk melakukan pekerjaan dalam konten-konten yang disediakan; subbing, segmenting, managing, dll. Menyenangkan sekali.
      Saya sebenarnya tidak seaktif dahulu, hanya kadang-kadang saja saya mampir. Saat koneksi internet sedang kencang saja. Tahu sendiri, dong, bagaimana leletnya koneksi internet dari beberapa provider di sini? Streaming adalah hal tersulit untuk beberapa provider yang pernah saya gunakan. Tidak usah saya sebutkan providernya, kan? Satu hal yang penting adalah koneksi internet. Nah, yang lainnya, mungkin karena saya kurang bisa bertanggung jawab, misalnya menjadi manager konten. Manager ini memang bukan ditunjuk seseorang tapi lebih kepada; kamu siap atau tidak. Nah, saya salah satu volunteer yang tidak siap. Walaupun beberapa kali, saya pernah ditawari. Tapi, saya masih takut untuk melakukannya. Misalnya menjadi manager untuk film/drama Indonesia. Takut salah, takut tidak mendapat lisensi dari PH yang memproduksi filmnya, dan lainnya. Biasanya viki.com bekerjasama dengan PH yang bersangkutan, untuk menayangkan film/drama yang telah diproduksi PH tersebut. Misalnya saja, drama-drama Korea yang sedang tayang itu. Mereka mendapat lisensi penayangan. Setahu saya cara kerjanya begitu. :-)
    Akhirnya, ya, yang gampang saja; membantu 'subbing' atau membuat subtitle. Ini pekerjaan yang lumayan mudah. Tapi, butuh kehati-hatian juga. Saya tidak ingin subtitle yang saya buat tidak mencerminkan bahasa negara saya; Indonesia. Jadi, saya meminimalisir menggunakan bahasa-bahasa tidak baku. Mungkin ini dikarenakan saya terlalu mengingat misi saya bergabung di viki.com, yakni mempelajari bahasa negara lain. Sehingga, saya tidak ingin menyesatkan orang yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. Itu saja, sih. Dan tentu saja, ada beberapa juga yang menggunakan bahasa informal seperti yang digunakan dalam filmnya. Ini sih, disesuaikan dengan pemahaman kita juga dalam bahasa asli di film/drama itu. Aktor/aktrisnya menggunakan bahasa formal/informal.
    Menerjemahkannya dari bahasa asli film ke bahasa Indonesia? Kalau kamu sudah mengerti bahasa asli film itu, kamu bisa menerjemahkannya sesuai pengetahuanmu. Jika belum, kamu tinggal menerjemahkan dari bahasa Inggris saja. Setidaknya, mereka yang bekerja di tim bahasa asli film (misalnya Korea)-Inggris, sudah sangat paham. Jadi, percayakan pada mereka saja.
    Oh, ya, tadi pun ada yang bertanya mengenai cara bergabung di viki.com, sehingga bisa mendapat hadiah akhir tahun seperti yang saya dapatkan. Gampang sekali. Kamu tinggal buka situsnya; viki.com, registrasi, dan mulailah kerja rodi. Maksud saya, rajinlah subbing, segmenting/timer, managing. Karena apa yang kamu kerjakan dicatat oleh situs ini. Hingga ke batas tertentu, viki.com akan mengangkatmu sebagai qualified contributor. Setelah itu, tunggu saja admin viki.com mengirimkan form hadiah akhir tahun. Atau hadiah lainnya. Misalnya, tiket gratis untuk konser atau menghadiri acara entertainment lainnya. Diambil atau tidak, itu pilihan kamu. Tapi, saat saya ditawari, saya tidak mengambilnya. Tahu kenapa? Saat membuka pesan, waktunya sudah terlewat. Itu menyedihkan. Karena itu, rajin-rajinlah berkunjung ke sana. :-)
     Oke, tidak harus menyesali yang sudah terjadi, bukan? Saya selalu bersyukur bahwa mereka; tim viki.com, mendapat ide untuk memberikan hadiah pada volunteernya. Iya, memang, bila mengingat peringkat old-school yang diberi viki.com karena saya bergabung tahun 2010, tim viki baru 2 kali mengirim hadiah yaitu 2012 dan 2013. Tapi setidaknya mereka melakukannya. Setidaknya juga, this gift as a sign of kinship in viki.com. Dan saya harus berterima kasih pada tim viki.com karena hal ini. Thank you for watching and caring your volunteers as a family. :-)

With love,

@NyimasK

  • 0 Comments
Pesisir Lontar, 2013

seperti katamu,
kita tidak akan seabadi rasa kopi, atau gulali, sebab kita hanya bagian dari keganjilan semesta. lalu, kehilangan. kehilangan akan selalu menjadi akhir dari setiap pertemuan. itu yang kamu gambarkan sejak pertama kali mata kita bersitatap. itu pula yang kamu pikirkan ketika bibir kita tidak sengaja bertaut di sisi cangkir yang sama. dan itu pula yang kamu rasakan ketika langit di atas kita begitu koyak.

pucuk daun itu jatuh ke tanah, sebab angin terlalu kencang bersiut. gerimis yang kamu pandang dari balik jendela akan segera berubah menjadi hujan deras diiringi halilintar yang menyambar; kamu atau aku. berhati-hatilah. itu yang terlukis di dedak kopi dalam cangkir pagimu--saat kamu memikirkan aku.

seperti katamu,
kita tidak akan seabadi rasa kopi atau gulali, sebab kita hanya bagian dari keganjilan semesta. lalu, pertemuan. pertemuan tidak harus selalu diakhiri kehilangan. itu yang kamu katakan saat terakhir kali mata kita bersitatap. itu pula yang kamu pikirkan ketika bibir kita lagi-lagi tidak sengaja bertaut di sisi cangkir yang sama. dan itu pula yang kamu rasakan ketika langit di atas kita begitu sempurna.


batu karang itu barangkali masih sebesar seratus tahun lalu, sebab ombak di tepian ini terlalu lembut. perahu nelayan pulang sehabis melaut, dan kembali lagi ke laut saat kamu masih berdiri di tepi dermaga. selain asap tembakau, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutmu; selamat tinggal atau sampai jumpa. itu yang terlukis di dedak kopi dalam cangkir malammu--saat kamu tidak memikirkan aku. [*]
  • 0 Comments



Apa engkau akan membaca tulisan ini? Semoga.

Sekali saya pernah berkata, bahwa menziarahi rumah barumu itu akan saya lakukan nanti; saat nama saya satu-satunya yang tertulis di sampul buku. Tapi, tentu tak jadi soal bila saya menziarahi tempat yang pernah engkau tapaki, duduki, atau (barangkali) kencingi. Seperti Minggu (03/11) dini hari lalu. Saya dan dua orang pemuda tampan--yang belum engkau kenal--berkunjung ke Karangantu. Niat kami memang hanya menikmati pagi yang terlalu dini sembari duduk di dermaga, melihat taman bintang di temani riak ombak yang kadang memancarkan warna hijau. Katanya, sih, karena banyak udang yang menari di permukaan laut. Tapi, entahlah.
      Dua tahun lalu, sewaktu melamar menjadi pegiat di komunitas yang engkau bangun, saya pun pernah datang ke Karangantu. Menikmati bandeng lumpur di Eco Village, bercanda dengan kawan. Mencoba membuat puisi, tapi tentu saja saya tidak ahli. Tapi, saat itu, saya merasa tidak sesakral kunjungan malam ini. Padahal, udara di sini masih menguarkan bau yang sama: bau laut, dan bau prasangka. Dan bila boleh, kali ini pun saya berprasangka, bahwa engkau baik-baik saja di sana. Sebab menurutmu, maut memang bukan sesuatu yang harus ditakuti, sebab engkau dapat kekal di setiap jiwa. 
    Mungkin kesakralan ini hanya perasaan saya saja, sebab kepala saya seperti mengajak mengingatmu; apa yang dulu pernah engkau pikirkan saat berada di sini? Saya menggumamkan pertanyaan itu. Mungkin kedua pemuda yang baru menjadi keluarga kita mendengarnya juga. Pertanyaan yang sebetulnya sudah engkau jawab di beberapa sajakmu. Lalu, saya bertanya pula, semacam memberi pengandaian; andai kami bertiga tiba-tiba kembali ke 100 tahun yang lalu. Atau ke masa di mana Sultan Ageng Tirtayasa masih berjaya, kalimat apa yang akan kami katakan saat punggawanya menyeret kami ke hadapannya.
     Saat mereka menjawab pertanyaan itu, saya membayangkan engkau berada di antara kami bertiga; tertawa mendengar jawaban-jawaban konyol kami. Ikut bernyanyi mengikuti lagu di mp3, walaupun saya tahu, suaramu sama tidak bagusnya dengan suara saya; tapi pede saja. Juga, ikut menghitung bintang jatuh bersama kami.
    Andai saat itu engkau benar-benar bersama kami, apa yang akan engkau petuahkan pada kami? [*]
  • 0 Comments


Kay, sudah lama sekali aku tidak menulis sesuatu untukmu.
Apa kabarmu? Masih semanja dahulu? Atau mungkin, sekarang kamu sudah bisa memanjakan? Baguslah. Selalu senang mendengar kabar apa pun darimu.
    Kay, beberapa hari lalu, aku membereskan hutan di dalam kamarku dan menemukan suatu benda yang menarik; gelang. Kamu ingat? Gelang yang pernah kamu berikan padaku? Ah, iya, maksudku bukan sebenarnya gelang, tapi plastik botol air mineral 100ml yang kamu sarungkan ke pergelangan tanganku. Aku memakainya selama beberapa hari, sebelum akhirnya sedikit demi sedikit plastik itu robek, karena bergesekan dengan lengan baju. Lalu, aku membungkusnya dengan plester dan memamerkannya padamu; "ini gelang darimu, sudah aku selamatkan." Kataku. Kamu tertawa seperti meledekku.
     Mungkin kamu pikir, aku cukup kekanakan menganggap sampah macam itu sebagai benda berharga. Tapi, bagiku, sampah ini lebih berharga dari seribu rayuan. Tidak hanya itu, sampah ini pun pemberian orang lain; kamu. Jadi, aku harus menyimpannya.
     Eh, Kamu pernah dengar ceritaku soal sedus besar nota-nota dari berbagai toko yang akhirnya aku buang? Yah, seperti itulah. Aku tidak sadar mengumpulkan itu semua. Tidak pernah aku bermaksud mengumpulkan kenangan, atau semacamnya. Tapi, sepertinya hal itu masuk ke alam bawah sadarku saja. Waktu aku kecil, misalnya. Aku pulang selalu membawa benda-benda pemberian orang: batu, genteng, kelereng, daun, kayu, dan benda lainnya. Aku menyimpan itu semua, meskipun akhirnya ibuku menyingkirkannya. Mungkin ia pikir putrinya kurang waras menyimpan benda-benda itu. Yah! Seperti tawa meledekmu waktu itu.
     Tapi, aku masih ingat, waktu itu ada orang yang berkata padaku bahwa benda-benda yang diberikan pada kita itu adalah pengganti orang yang memberikannya. Ini bukan berarti kita kesepian atau semacamnya. Tapi, lebih kepada, hargailah pemberian orang lain. Caranya, ya, dengan menyimpannya. Begitulah. Hehe.
   Nah, sekarang, aku cuma ingin mengabarkan; gelang itu selamat, dan akan tetap aku simpan. Hanya saja, aku tidak menemukan bunga kecil yang kamu sebut titisan bintang, dan kamu berikan ketika mood-ku turun drastis. Padahal, tempat penyimpanannya masih ada. Tapi, saat kubuka, bunga itu sudah tidak ada. Apa jangan-jangan bunga itu kembali ke langit? Atau mungkin, menghilang begitu saja karena kita sudah jarang berbincang? Akh, sayang sekali. Padahal itu bunga pertama yang diberikan orang lain padaku.
       Oh, iya, jangan berpikir aku sedang tidak baik saat menulis ini. Atau sedang kangen padamu. Jangan. Aku sedang baik-baik saja. Memang, sih, kepalaku sedikit pusing dengan hal-hal yang seharusnya tidak aku ambil pusing. Mungkin, bila aku ceritakan padamu, kamu akan berkata; udah, sih, nikmati aja. Akh! Aku lupa cara menikmati yang satu itu. Aku lupa cara merasa atau pun menebak rasa. Apa kamu mau mengingatkan? Atau sekadar memberi petunjuk; ini rasa A, B, dan seterusnya? Sudahlah. Aku sudah terlalu banyak bicara. Kamu pasti ikut pusing juga. Sekarang, mari kita lupakan saja, dan mari berbahagia. Eh, kamu bahagia, kan? Aku juga. [*]
  • 0 Comments
Ilustrasi: nonstopnews.id


Malam ini (16/11), langit Serang sangat gelap. Tidak ada setitik bintang, atau pun bulan. Deru kendaraan, klakson, dan peluit polisi terdengar di kejauhan. Saat kaki saya sampai di pinggir jalan, sebuah mobil polisi ‘tumben’ memarkir mobilnya di depan toko retail 24 jam itu. Sebenarnya, malam ini saya sempat menghubungi teman. Semacam menagih janji menutup hari-hari yang padat, dengan minum kopi bersama. Tapi, karena mereka sedang sibuk dengan pikiran ‘kantong yang tak berisi’, pulang, atau pun berkumpul bersama komunitas, akhirnya saya putuskan untuk jalan-jalan sendirian.
Alun-alun Serang menjadi tempat pilihan saya. Tentu saja, karena alun-alun adalah tempat paling ekonomis, dan strategis untuk berjalan-jalan sendirian. Saya menyetop angkot berwarna biru dengan trayek tidak jelas itu. Taksi? Akh! Tidak, terima kasih. Angkot pun bisa memberi tumpangan ‘jalan-jalan’ malam ini. Dalam hati, saya berdoa, angkot ini akan mengambil jalan memutar. Misalnya ke arah Pasar Rau, atau ke Kebon Jahe sebelum akhirnya mengantarkan saya ke Alun-alun. Dan doa saya terjawab ketika sepasang penumpang menyetop angkot ini. Dan mengatakan tujuan hendak ke Pasar Rau.
Gotcha!  Pekikan hati saya. Itu artinya, dengan Rp. 3.000, saya bisa menuntaskan hasrat jalan-jalan malam ini. Di telinga saya, Hajar Aswad mengajak bersenandung; kau tak butuh lagi kamar, sebab cinta mengajarkanmu berpetualang.
Benar, saat ini saya berniat memulai petualangan saya. Menikmati kopi di pinggir jalan, dan menulis laporan perjalanan untuk siapa saja yang ingin membaca.
Hingga akhirnya, angkot yang membawa saya ini memasuki daerah Pasar Royal, kemudian sampai di Pocis, supir angkot memberitahu saya bahwa angkot tidak akan melewati Alun-alun, melainkan berbelok ke arah Pandean. Mau tidak mau, tentu saya harus turun. Tapi, kali ini saya benar-benar ikhlas berjalan kaki sekitar 50 meter ke arah Alun-alun. Saya dapati areal parkir kantor Bupati yang ‘tumben’ padat, mobil Polisi yang parkir di depannya, dan mobil satpol PP yang berjaga dekat perempatan. Di bahu jalan terpasang tali yang ditautkan pada penghalang. Pikir saya, barangkali untuk menjaga agar tak ada pedagang yang berjualan di bahu jalan.
Sementara itu, di dalam alun-alun Barat, sejumlah pedagang; baik pedagang pakaian, aksesoris, makanan, hingga ke perkakas dapur, mengisi tiap sudut. Arena bermain anak-anak pun tidak mau ketinggalan. Balon raksasa, kereta mini, kotak berisi bola, atau arena permainan apa pun yang memiliki hubungan erat dengan anak-anak, ada di sana. Padahal, bila melihat maklumat yang terpasang di pintu masuk—depan kantor Bupati—yang ditancapkan Pemerintah Kota Serang tertulis; Demi terciptanya ketertiban dan keindahan Kota Serang, maka sarana alun-alun barat milik pemerintah kabupaten Serang hanya dipergunakan untuk upacara atau acara kenegaraan dan hari-hari besar lainnya. Akh! Barangkali mereka lupa membubuhkan, bahwa alun-alun Barat juga bisa difungsikan sebagai tempat rekreasi dan berbelanja bagi masyarakat Serang dan sekitarnya.
Saya melangkah memasuki keriuhan di dalam alun-alun Barat. Dan tepat di depan sebuah balon raksasa, saya berhenti. Saya sapa seorang anak yang wajahnya seperti ragu. Entah karena tak punya kawan, atau takut ditinggalkan orang tuanya. Dengan malu-malu, ia menerima ajakan berkenalan. Tidak hanya itu, saya juga mengajak beberapa anak lainnya untuk masuk dalam frame foto. Setelah mengucapkan terima kasih pada mereka, dan pamit, saya pun meneruskan berkeliling. Memotret beberapa keriangan yang lain; keriangan anak-anak di berbagai arena permainan, orang-orang yang mendampingi mereka, memotret sepasang muda-mudi yang bergandengan tangan, atau pun yang lainnya. Sementara itu, di sudut sebelah Timur, orang-orang berkerumun mengelilingi seseorang yang berkoar di toa. Saya kira, lelaki yang berdiri di tengah arena itu menawarkan diri untuk mengilangkan santet, termasuk menghilangkan seseorang yang dikejar hutang ke alam gaib, melalui sebuah kotak bertudung hitam di tengah arena. Barangkali, bila saya meminta dikirimkan kekasih pun sepertinya bisa. Hah! Ada-ada saja.
Setelah lelah berkeliling, saya kembali menuju pintu gerbang yang tadi saya masuki. Saya hampiri seorang penjaja kopi, dan memesan segelas kopi hitam. Sebelum akhirnya memilih duduk di trotoar jalan, dan menulis cerita ini.
Saat saya sedang asyik menulis, para polisi yang memarkir mobil di seberang jalan, atau tepat di depan kantor Bupati itu sedang mengganggu seorang yang tak waras. Sepertinya mereka tengah mengenyahkan kegundahan ‘tak mengapeli pacar’, atau kebosanan menjalankan tugas di malam ini. Seseorang dari mereka menghampiri saya. Maksudnya tak lain, meminjam korek api. Barangkali, ini trik lama yang dilakukan kebanyakan orang untuk menuntaskan rasa ingin tahunya. Sebab, tidak hanya meminjam korek api saja, ia pun bertanya apa yang sedang saya lakukan. Terus terang, saya cenderung tak suka mendapat gangguan saat saya menulis sesuatu. Akhirnya, tanpa mengucap terima kasih, ia berlalu. Saya masih tidak peduli, tentu.
Saat ini, penanda waktu di sudut kanan laptop saya menunjukkan angka 21:56. Mobil polisi yang semula berkeliling entah mengumumkan apa, sudah kembali terparkir di depan kantor Bupati.  Karena penasaran, saya bertanya pada seorang polisi yang berdiri tidak jauh dari tempat duduk saya. Dari tag-name di dadanya, saya tahu ia bernama Ramadhan. Saya taksir, ia seusia dengan saya, atau sedikit lebih tua. Menurutnya, tadi mobil itu mengumumkan mengenai pemberlakuan no parking zone di sekitar Alun-alun setiap Sabtu dan Minggu.
Tapi, buat kamu yang ingin menghabiskan waktu di sana, kendaraanmu bisa diparkir di areal parkir kantor Bupati atau Pendopo Kabupaten, Polwil, Gedung Juang, dan areal parkir Alun-alun Timur.
Saat saya pamit pada polisi yang tidak genit itu, Ebit G Ade bernyanyi keras dari pengeras suara di mobil berwarna hitam milik Polres Serang itu; Aku ingin pulang huhu.. Aku harus pulang huhu... [*]
  • 0 Comments






Niat mengajak menulis bersama dalam satu blog, akhirnya terwujud. Awalnya, saya cuma mengutarakan keinginan saja pada Tria Purtra Kurnia, kemudian melirik ke arah Azis Kurniawan yang sedang menyepi. Lalu, beberapa hari kemudian kami mengajak Na Lesmana. Dan akhirnya, di warung Mang Abdul 9 November 2013, sekitar pukul 22.00, nama untuk wadah menulis bersama ini dicetuskan. Bakaupi. Akronim dari dua hal yang kami sukai, sekaligus dua hal yang mempertemukan kami: tembakau dan kopi. Blog tempat kami bercerita pun segera dibuat; bakaupi.blogspot.com.
    Mungkin, tempatnya kurang bagus, dan kualitas tulisannya pun masih belum sempurna. Tapi, di sanalah kami belajar bersama. Saling mengoreksi, memberi solusi, dan membuat catatan-catatan sederhana mengenai berbagai hal. Kontennya, sih, Sastra (puisi, cerpen, esai, resensi buku, buku baru, dll). Perjalanan (tempat-tempat yang kami kunjungi atau yang kamu kunjungi), Catatan (apa yang kami dan kamu pikirkan saat bersama tembakau dan kopi), Musik (event, album baru, dan lainnya), dan Film (ulasan; film baru, film lama).
     Dan untuk saat ini, kami masih berusaha mengisi semua konten itu. Sebab, meskipun kami menulis mengenai hal yang tidak berarti, tapi barangkali akan menjadi berarti saat kamu membacanya, seperti slogan kami; segala yang tak berarti, sampai akhirnya dibaca. 
     Buat kamu yang hendak berkenalan, membaca tulisan-tulisan, atau pun yang ingin turut mengisi rumah kami ini, baik mengenai catatan perjalanan, atau apa saja yang mungkin mengganggu di pikiranmu, silakan langsung: upibaka@gmail.com. Follow juga twitternya: @bakaupi.
    Dan rasanya ini sangat penting, mengingat semua penulis membutuhkan hal ini. Untuk saat ini, kami hanya memberikan wadah saja. Kami belum bisa memberikan honor, sebab kami pun sama seperti kamu; pencari honor. Hihi. Kami hanya bisa menyediakan secangkir kopi dan beberapa tembakau, saat kami dan kamu bertemu di suatu waktu. Selamat berkarya, semoga kita semua bahagia. :-)

  • 0 Comments





Perjalanan  Pergi


Musim hujan datang, dan keharusan untuk pulang menjadi suatu ke-hulap-an (baca: kemalasan). Barangkali itu yang mendorong rasa malas saya untuk mencium bau rumah, dan merasakan masakan rumah, lebih besar dari musim kemarau. Bukan karena saya tidak ingin pulang, tapi perjalanan menuju rumah itulah yang selalu membuat saya merasa 'hulap' untuk pulang.
     Kamu bayangkan saja, bila musim ini datang, saya harus melewati banjir di tiga titik. Di titik pertama dan kedua, akibat sungai Ciliman meluap, sungai Cipaeh yang awalnya memang seperti paeh (mati) atau tidak mengalir itu dilimpahi air got dan ditambah luapan Ciliman, ketiga air sawah yang meruah ke jalan sementara got tidak bisa menampung air lagi. Belum lagi kondisi jalannya yang mungkin akan disenangi para pecinta motor cross maupun offroad; tanah bercampur batu yang mencipta kembang (bekas ban truk pengangkut hasil bumi, dan ban motor), sangat licin. Jalan alternatifnya tidak lain; masuk ke halaman rumah orang, kebun, hutan, dan ke mana saja asal motor bisa lewat. Memang, orang yang biasa menjemput saya sangat lihai memilih jalan. Dia adalah orang yang selama ini saya percaya tidak akan membuat saya jatuh dari motor.
     Tapi untuk bulan penghujan ini, rasa malas pulang itu bercampur dengan acara yang sebentar lagi akan kami selenggarakan; Ziarah Keabadian ketiga guru saya. Perhitungan saya, bila pulang hanya untuk merasakan masakan rumah barang semalam, sementara kondisi perjalanan macam itu, tubuh ini apa kabar nantinya? Sebetulnya, saya tidak tega juga meminta bertemu bapak di luar rumah. Tapi bapak mengatakan ada keperluan ke Pasar sebab cucu tersayangnya datang. Jadilah, kemarin, Sabtu (16/11) saya janjian bertemu bapak di Pasar Panimbang. Saya menyebut ini sebagai wujud dari; 'saya baik-baik saja, lho'. Karena itu, walaupun belum mandi saya pun memutuskan pergi ke terminal dan naik bus jurusan Labuan.
     Di dalam bus berwarna merah itu, ternyata sudah banyak yang berdiri. Padahal, kondektur berteriak 'kosong' pada setiap orang. Saya pikir, kondektur bus ini sedang mengamalkan perkataan Budha; kosong adalah isi, isi adalah kosong. Jika bukan karena itu, maka pengertian kosong dalam KBBI  harus ditambahi. Bukan hanya; 1) tidak berisi'; 2) 'tidak berpenghuni'; 3) hampa; berongga; 4) tidak mengandung arti; 5) tidak bergairah; 6) tidak ada yang menjabat; terluang; 7) tidak ada sesuatu yang berharga (penting); 8) tidak ada muatannya; 9) ki  tidak pandai; tidak cerdas; 10) cak nol. Tapi kosong pun sama dengan masih ada tempat untuk berdiri, meskipun saling berhimpitan.
     Mengenai 'kekosongan' ini, saya rasa tidak akan menjadi masalah bila kondektur memilah siapa yang harus berdiri di dalam bus. Orang muda macam saya tidak apa-apa. Tapi, nenek, kakek, ibu hamil, ibu yang menggendong anak kecil, rasanya sudah kelewatan bila harus ikut berdiri juga. Jangan salahkan mereka yang akhirnya naik bus 'penuh' macam ini, mungkin mereka pun tertipu dengan kata 'kosong' yang dikoarkan kondektur. Bila sudah begini, seseorang yang sudah duduk harus memiliki kesadaran untuk memberikan tempat duduknya pada mereka. Tapi, saya tidak melihat hal ini. Saya jadi berpikir; jangan-jangan, budaya 'silakan duduk, nek, kek, bu (ibu hamil/bawa anak kecil), sudah tidak ada lagi?' Di saat seperti itu, saya hanya bisa menyilakan tempat berdiri 'nyaman' saya pada seorang nenek. Meskipun sudah berusaha menyilakannya duduk, saat seorang bapak di kursi depan saya berdiri, tapi kemudian direbut seorang pemuda. Akh! Kamu tampan, sih. Tapi impoten soal ini.
      Hingga akhirnya, satu persatu turun dari bus. Dan hampir semua orang yang semula berdiri mengisi kekosongan tempat duduk itu. Termasuk saya, tentu saja. Saya menggunakannya untuk tidur. Lumayan, meskipun sebenarnya, bus sebentar lagi sampai di terminal. Hanya saja, kantuk sudah mengajak saya terlelap.
     Saya sadar ketika seseorang menepuk bahu, dan langsung mendapati wajah-wajah pencari penumpang; tukang ojek, calo angkot. Saya gelengkan kepala untuk menjawab mereka, sekaligus mengenyahkan kantuk. Tidur sebentar rupanya membuat mata kanan saya terasa perih dan berair. Linglung bangun tidur, mata perih, dan pertanyaan-pertanyaan 'hendak ke mana' yang sangat memaksa itu bikin emosi saya sedikit naik.
     Hingga kaki saya menjejak tanah, pertanyaan itu terus saja ditanyakan seorang pemuda tukang ojek yang semula mengira saya lelaki. Mungkin ia melihat saya tidur dengan menutup wajah dengan kupluk sweater yang kebesaran itu. Dari pertama ia menawari, saya sudah menolaknya dengan halus (gelengan kepala, dan ucapan 'tidak'). Tapi, ia tetap berisik. Dan akhirnya; "Kyaa! Gandeng dia anying! Ja ku aing geus dijawab 'moal', teu ngadenge dia?! Koplok," (Berisik! Sudah saya jawab 'tidak mau', kau tidak dengar? Brengsek!). Ucapan saya itu langsung dijawab; "Beuh! galak amat, neng..." dari orang-orang yang seprofesi dengan pemuda yang kena bentak saya. Sebenarnya, saya pun kaget dengan ucapan saya itu. Kok saya bisa seemosi itu? Bwehehe. Tapi, mungkin itu pelajaran juga untuk mereka. Harus tahu psikologis orang-orang yang mereka tawari jasa. Baru bangun tidur dan diberisiki dengan pertanyaan yang sama itu sangat menyebalkan.
      Dari terminal Tarogong, saya mampir dulu di warung makan untuk mengisi tenaga yang tadi sedikit terkuras oleh emosi. Warung Padang di dekat pertigaan itu jadi pilihan saya. Di dalamnya sudah ada beberapa orang yang menjajah meja. Ada yang sendiri, ada yang berdua. Salah satu yang menarik perhatian saya (karena cukup berisik), adalah meja kedua dari pintu. Di sana ada seorang perempuan dengan kerudung tersampir di kepala, dan seorang lelaki berjaket hitam yang sedang makan. Perempuan itu sibuk membincangkan masalah pemerintahan. Barangkali ia bekerja di pemerintahan, atau minimal, ia dekat dengan orang pemerintahan. Karena itu, ia semangat membincangkan masalah yang ada di dalamnya. Sementara lawan bicaranya mendengarkan, atau mungkin memilih menikmati ikan bakar di piringnya itu. Saya tidak ingin menguping, karena itu, saya tutup telinga dengan earphone. Suara Natasha Bedingfield tentu saja lebih merdu dari suara gusar perempuan itu; my skin is like a map of where my heart has been and I cant hide the marks its not a negative thing so I let down my guard drop my defences down by my clothes i'm learning to fall with no safety net to cushion the blow.
      Sedang asyik mendengarkan lagu sembari menunggu ikan bakar pesanan saya datang, bapak menghubungi. Seperti biasa, ia menanyakan 'sudah sampai mana', saya jawab Tarogong, dan menanya balik. Rupanya bapak ingin memastikan saya sudah sampai Panimbang atau belum, sebab ia sendiri masih di rumah. Sementara jarak dari rumah saya ke Panimbang membutuhkan waktu minimal satu jam. Itu pun sudah termasuk dengan kondisi jalan seperti yang sudah saya ceritakan itu. Bila sudah diperbaiki atau musim kemarau, waktu tempuh biasanya hanya 30 menit. Atau malah 20 menit, sebab saat melihat jalan 'bagus', orang-orang sana sangat bernafsu untuk menginjak gas. Heuheu
       Selesai makan, ritual mengisi paru-paru, dan membayar makanan, saya pun melanjutkan perjalanan. Saya sengaja berjalan cukup jauh, dari pemberhentian angkot yang akan membawa saya ke Panimbang. Sebab, bila langsung masuk angkot, sama saja dengan satu jam berada dalam oven. Hanya saja, saya ternyata tertipu juga. Saya kira angkot yang mendekati saya itu langsung jalan, tapi ternyata mundur lagi. Hih! Hingga akhirnya memaksa saya turun lagi, dan menghampiri warung kopi untuk mencomot pisang goreng. Satu pisang goreng saya lahap, angkot mengajak jalan. Sialan.
      Sesampainya di Panimbang, saya langsung menghampiri tempat bapak. Di sana, ada mamang saya yang rupanya mengantar bapak. Sedangkan bapak sedang mencari sesuatu untuk menantu dan cucunya. Tidak lama kemudian, bapak datang dengan sekantung mentimun. Nggak berkualitas memang jajanan bapak ini. Tapi dari rautnya terlihat senang saya datang. Tidak banyak yang kami bicarakan, selain kabar bahwa cucu dan menantunya datang, dan petuah untuk terus belajar agar bisa mengajar. Pertemuan ini pun tidak lama, sebab cuaca yang tidak bisa diperkirakan ini bisa menghambat kepulangan bapak, dan kepulangan saya juga. Bapak menyuruh saya segera berangkat; 'hati-hati di jalan, bulan depan harus pulang,' adalah kalimat yang saya dengar sebelum saya membalikkan badan. Saya membalasnya; 'Bapak juga hati-hati. Jaga kesehatan, dan salam buat mamah.'
     Dalam hati, saya berdoa; semoga jalan pulang bulan depan sudah semulus muka ibu gubernur atau paha JKT48-lah. Kata bapak, sih, jalan pulang sudah diperbaiki. Tapi..., cuma sepotong. Itu pun bapak sudah mengajak saya mengucap syukur berulang kali. Dan barangkali akan lebih bersyukur lagi bila perbaikan jalan sampai ke depan rumah, sudut-sudut kampung, hingga jalan ke desa ini bisa ditempuh dari keempat arah; Patia, Perdana, Picung, dan Munjul. Amin, dong, ya. ^,^
*
Perjalanan Pulang
    
Sebelum menyetop angkot menuju terminal, saya putuskan untuk jalan kaki dahulu. Jembatan Panimbang yang kokoh saya jejaki; kapal-kapal nelayan, laut yang melambai di ujung muara, anak-anak sekolah yang baru pulang, penjaga bengkel dekat jembatan yang bersiul, saya lewati dengan sepercik senyum dan anggukkan kepala. Udara berdebu, keringat mulai mencucur. Matahari memang tidak menampakkan diri, tapi panasnya terhantar sempurna. Tenggorokan saya kering, dan saat itulah rasanya saya butuh sekali mandi. Minimal mandi kepala alias keramas. Mencari salon kecantikan adalah hal pertama yang muncul di kepala. Saya akan merelakan kepala saya 'diemek-emek' lelaki lembut, asal saya merasa segar. Tapi, ternyata mata saya tidak menemukannya. Jadinya saya mampir ke warung yang diapit butik, dan toko parfum yang berplang 'tutup'.
     Srikandi nama tempat itu. Tempatnya kecil, dan sedikit berdebu. Hanya ada tiga meja kayu di tempat ini. Kursi rusak dan galon kosong berada di sudut dekat westafel, di atas kepala ada kipas angin besar dan berdebu, replika kapal ditempatkan di etalase dekat dapur atau di belakang meja kasir, ada plang bertuliskan menu mengelilingi seperempat pinggir ruangan itu, ada surat peringatan dari pihak pemerintah yang ditempel di jalan masuk dari sebelah dalam, dan tulisan besar "dilarang membawa minuman di atas 5%" terpampang di kaca tangga, atau di atas dua replika patung Budha. Sementara di setiap meja, ada vas berbunga plastik dengan banyak debu yang menempel, dan asbak. Tiga colokan menggantung pasrah di samping kiri meja yang saya jajah. Tapi terus terang saya tidak sedang bergairah membuka laptop.
    Pada pemuda berkaos kuning dan berwajah oriental yang mendekat, saya meminta kopi dan air mineral dingin. Sementara pemuda berkaos hitam, dan saya pikir dia 'lembut', langsung menuju dapur. Setelah air mineral dibawakan dalam gelas merek bir, langsung saja saya tegak. Saya rasa dari gelasnya, ia seperti menawari saya untuk mencicip bir. Tapi, cuaca sedang tidak bagus untuk ngebir.
     Selesai meneguk habis air mineral, keringat bebas mengucur dari dahi, tangan, dan mencipta pola di basah di kaos putih saya. "Tempat ini asyik," pikir saya. Saya ingat-ingat kembali bentuk tempat ini beberapa waktu lalu, sebelum ada dua toko di depan itu. Sedang asyik mengingat-ingat, seorang gadis berwajah 'tebal' (bedaknya) datang. Ia bicara dengan pemuda berkaos hitam. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi mereka langsung menuju lantai dua. Sementara di telinga saya, My Chemical Romance menjerit; Welcome to the Black Parade.
      Setelah keringat kering, saya pun melanjutkan perjalanan. Angkot kembali saya pilih, meskipun ada angkutan yang langsung menuju Serang. Sesampainya di terminal, seperti biasa saya mampir di warung Emak. Di sana banyak supir bus, kernet, dan kondektur yang sedang makan sembari berbincang seru perihal kemacetan di Tol Jakarta-Merak.
        "Kecelakaan," kata Mamang bertubuh gempal dan memakai kaos berwana merah.
        "Iya, ikh, menyeramkan. Mobil segitu gedenya sampe ringsek, dan orang-orang yang evakuasi sampe ngambilin daging dengan sumpit," timpal mamang yang telanjang dengan kaos tersampir di bahu, ia seolah tidak sadar bahwa tangannya sedang sibuk mencomot nasi seperti yang dilakukan lawan bicaranya.
     Sedang asyik mendengarkan celotehan mereka, seorang nenek memanggil saya dan meminta rokok. Emak bilang, nenek itu orang gila. Tapi, dari caranya meminta saya putuskan untuk menyebutnya 'kurang bisa mengontrol emosi'. Nenek itu mengambil dua batang rokok. Satu batang ia simpan di sela telinga, satu lagi ia sulut. Ia kembali duduk di depan warung Emak, dan mulai berkoar tak jelas lagi. Hampir 10 menit saya duduk di warung itu. Akhirnya, bus merah keluar dari terminal yang tampaknya sedang diperbaiki bagian atapnya. Saya tahu, bus ini akan membawa 'lari' saya lagi seperti saat perjalanan pergi. Tapi, karena ingin buru-buru sampai di kostan, saya memilihnya lagi. 70-80 KM/jam ditempuh dari terminal hingga ke Menes. Pasrah. Cuma itu saja yang saya lakukan dan rasakan. Memasrahkan nasib pada yang Maha, dan kehati-hatian mengendara pada supir bus, yang sepertinya pernah memiliki cita-cita menjadi pembalap itu.
     Perjalanan mulai terhambat ketika memasuki Saketi, sistem buka tutup akibat perbaikan jalan yang tak kunjung selesai itu membuat antrian hingga ke Sodong. Sebenarnya, bus ini pun sudah terhambat di Sodong, tapi karena kegesitan kernet yang mencari celah, akhirnya sampai juga kami di Saketi. Tugas kernet bertambah lagi di sini. Supir kemudian membanting stir ke arah kanan. Sementara di depan, bus lain yang berwarna biru (Asli), tampak ikut mengantri. Balapan, dimulai dari tempat ini; balap keluar dari antrian macet, sekaligus balap mencari penumpang. Jika sudah begini, saya mulai mendengar jerit penumpang, termasuk saya, yang merasa seram, dan melihat wajah bernafsu supir bus. Siapa pun yang mengganggu jalan, akan terkena dampratan supir. Makian supir, teriakan kernet depan yang menjadi navigator, menjadi bumbu balapan.
     Pengamen hampir luput dari pengamatan saya. Hanya ketika bus sampai di Pandeglang (Pabrik), saat bus lama beristirahat, saya melihat beberapa pemuda dengan peralatan musik lengkap naik ke bus. Terlepas dari lagu yang mereka bawakan, saya menyukai mereka. Hal pertama yang saya sukai; peralatan bermusik yang mereka bawa cukup lengkap; Keyboard (atau apalah itu namanya) yang besar dan pasti berat, gitar, kentungan (apa namanya, ya?), dan lainnya. Benar-benar membuat imej mereka 'pengamen serius', ada di kepala saya. Saya rasa, kalau pengamennya model begini, siapa pun akan dengan senang hati memberikan persenan.
     Ucapan terima kasih, anggukkan kepala, senyum tulus, saat mereka turun dari bus melalui pintu depan, menjadi akhir perjumpaan saya dengan mereka. Semoga saja mereka menjadi pemusik yang andal di masa mendatang. Semoga para pengelola angkutan umum lebih mementingkan 'kenyamanan' penumpang. Semoga kita semua sukses. [*]

Catatan: 
Ongkos Bus Serang-Labuan (Mahasiswa) Rp. 7000,- | Umum: Rp. 17.000 (?)
Ongkos angkot Tarogong (terminal)-Pasar Panimbang Rp. 7000
Ikan bakar di warung Padang Rp. 12.000
Pisang goreng/potong Rp. 1000
Kopi di Srikandi Rp. 5000

  • 0 Comments
    


 Setelah beberapa kehilangan, saya kembali diingatkan seseorang mengenai cerita ini. Awalnya hanya percakapan mengenai 'who are you', dan ternyata seseorang mengenal saya sebagai salah satu bagian dari cerita ini. Meskipun saat ia menanyakan nama, saya lupa. Duh! Maaf.
      Sebenarnya cerita ini sudah saya tulis di 'Agatis', laptop pertama saya yang sudah tidak ingin hidup. Mungkin kuburannya ada di Buah Batu, Bandung. Lalu saya coba buat cerita lagi di 'Kuya', tapi sepertinya nasibnya sama saja. Belum sempat ke bab lima, laptop kedua itu mangkat ke lemari. Mati.
       Jadi, mari kita sederhanakan saja di sini. Dan semoga versi lengkapnya nanti bisa saya dapatkan setelah acara 'pemanggilan arwah' di dukun elektronik.
       Alkisah, tiga sahabat; saya, Ayu, dan Nadjela hidup rukun meski tidak tinggal di satu kawasan. Dan suatu hari, setelah kekenyangan makan 'mie gitting'  hasil kreasi bersama, Ayu mengusulkan membuat grup band. Hayalan kami pergi ke mana-mana saat itu. Tapi, masalah hadir ketika, Nadjela dan saya tidak pandai memainkan alat musik. Apalagi saya, stick drum saja belum pernah pegang. "Ayo, sebagai unjuk gigi, bahwa sedekil apa pun kita, tapi kita bisa tampil. Bisalah, nyet, bisa." Ujar Ayu saat itu. "Mungkin dengan membuat band kita bisa dapat cowok?" Sambungnya lagi.
      Memang, saat itu kami sangat dekil, dan lebih nyaman dengan kedekilan itu hingga tidak sadar bila kami masih jomblo. Di sini kami sepakat memilih 'Still Dekil' sebagai nama band. When mojang nyari lanang, itu tag-line yang kami celetukkan, mungkin semacam niatnya begitu, atau apalah. Akhirnya 'ayo' pun keluar dari mulut saya dan Nadjela. Dan Creed-nya Radio Head dipilih untuk menunjukkan ketidak-weirdo-an kami itu.
     Hal pertama dilakukan tentu saja belajar. Nadjela yang memegang posisi bass, langsung diajari Ayu. Sedang saya, menurut Ayu dan sudah disanggupi Ketua UKM Klasik saat itu, akan ditutori oleh salah seorang drummer Klasik. Tapi masalahnya adalah waktu. Drummer Klasik saat itu sedang banyak kegiatan. Jadi, saya hanya diminta mendengar ketukan saja. Dan dengan kepercayaan diri tingkat dewa, Ayu mengajak menggunakan studio Klasik untuk latihan bersama. Padahal saya masih belum pede sekali. Takut salah, dan lainnya. Tapi, Ayu dengan superiornya menarik saya untuk duduk di kursi drum. Pertamanya asyik, masih bisa ikut. Larik kedua, sudah mulai kacau. Dan ketiga, saya berhenti menggebuk. Hingga akhirnya saat kami hendak mencoba lagi, seorang penyelamat datang. Drummer Klasik yang kemudian 'mau' menjadi guru saya. Tentu saja dengan rayuan maut dari kami. Yah, tentu dengan kekuatan sabar yang teramat, dia menjadi guru saya.
     Mungkin jika saat itu saya tidak berbelok ke jalan lain; memenuhi panggilan jiwa kembali ke dunia broadcast (radio), mungkin sekarang saya sudah mahir menggebuk drum. Mungkin, saya juga ikut di panggung pertama kami, begitu pula di acara-acara lainnya. Entah ini egois, atau wujud dari ketahudirian. Karena jalan kembali ke radio teramat lurus, saya kemudian menyerahkan posisi drum ke orang yang lebih mampu. Sementara saya mundur ke manager mereka. Walaupun, ya, saya bagi-bagi waktu dengan siaran juga.
    Dan sekarang, saya kangen mereka berdua. Melihat update-nya, hingga kini sepertinya Still Dekil tetap eksis. Saya bersyukur bila Still Dekil itu yang saya kenal. Sebab itu pula yang dikatakan Ayu saat satu persatu dari kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia yang akan membawa nama itu ke mana pun. Istilahnya kutukan. Dan sepertinya, kutukannya terbukti. Bahwa di mana pun kami berada, terpisah satu sama lain, akan ada saja yang mengingatkan kami pada Still Dekil.
     Selamat. Semoga lain waktu bisa bertemu. Bisa melepas beban masing-masing dengan bercerita. Dan tentu, akan selalu ada maaf di sela-sela obrolan itu. Maaf saya kangen. Maaf, resep mie gitting itu apa, ya? Sukses untuk kita semua. :-)
  • 0 Comments

CATATAN DEWAN JURI
SAYEMBARA CERPEN BELISTRA 2013

Hal pertama yang membuat Dewan Juri tersintak adalah surat pengantar dari Panitia: “Naskah yang kami terima lebih dari 500 (lima ratus) naskah. Namun, setelah kami jaring, naskah yang diikutsertakan dalam penjurian sebanyak 431 (Empat Ratus Tiga Puluh Satu).” Kami tersintak lantaran gembira, di samping tak memungkiri terbayang kerja keras yang menanti. Apalagi dalam lomba macam ini, Dewan Juri akan berhadapan langsung dengan layar komputer atau laptop, karena naskah tidak diprint atau dicetak. Saat begini rupa, kami teringat sayembara sejenis yang diadakan ketika meja penulis masih diramaikan tak-tik-treeeng mesin ketik, dan tukang pos masih menjadi orang tersibuk di dunia. Pada masa itu, sebuah lomba sastra mesti menggerakkan penulisnya ke kantor pos, membeli perangko dan lain-lain, sehingga naskah yang terkirim diasumsikan lebih “matang”, setidaknya dari sisi teknis, seorang penulis mesti benar-benar paham soal spasi, margin, hvs-folio, dan seterusnya. Disadari atau tidak, proses demikian kadang menjauhkan diri dari sikap instan dan spekulasi, dibanding zaman tekan “send” maka semua beres terkirim.
Menarik mencermati 431 cerpen BELISTRA 2013. Betapa sastra masih ditulis. Sastra masih memberi harapan, setidaknya itulah yang terpancang dengan cergas di mata dewan juri. Sastra sesungguhnya tidak pernah “mengemis” memelihara generasi. Sastra tetap ditulis, diminati, walau jelas tidak menguntungkan secara finansial. Inilah yang membuat kami gembira bersama. Ya, sayembara sastra, khususnya cerita pendek, di kalangan mahasiswa masih terus diminati, bahkan boleh dikatakan meningkat dari tahun ke tahun. Dibanding Sayembara Cerpen Belistra tahun-tahun sebelumnya pun, jumlah cerpen yang ikut bertarung tahun ini naik dua atau tiga kali lipat. Dari sebelumnya hanya berkisar antara 150-225 cerpen, kini 500 cerpen!
Akan tetapi apakah kuantitas berbanding lurus dengan kualitas? Ternyata tidak. Buktinya, setelah membaca layar demi layar, banyak sekali cerpen yang rasanya sudah tak perlu lagi lanjut dibaca. Cerpen yang baik, bagaimanapun tercermin dari paragraf pertama, bahkan kalimat pertama, termasuk juga judulnya. Jika paragraf pertama sudah meringkas plot dan meringkus tokoh seperti anak TK bercerita, bukankah ia tak akan menjanjikan apa-apa? Seringkali pula alur cerita tidak masuk akal. Berbelit-belit. Peserta kurang memahami teknik menuliskan gagasan ke dalam sebuah kalimat. Ending cerita juga jadi aneh dan kelihatan “sangat” dipaksakan. Padahal ada beberapa yang cukup mahir merangkai cerita, namun kedodoran di klimaks. Terasa, banyak sekali cerita dibuat terburu-buru oleh peserta. Mungkin tenggat dari panitia pendek, atau efek “kutukan” kantor pos yang dilupakan, entahlah. Yang paling parah, banyak peserta tidak menguasai teknis penggunaan tanda baca, sehingga menimbulkan “kekacauan” luar biasa di dalam naskah. Jika itu “kekacauan” kreatif, tentu lain cerita. Tapi ini kekacauan teknis. Padahal, untuk menjadi penulis hal teknis ini harus dikuasai (kami pikir perlu soal-soal EYD dibaca kembali). Begitu pula judul, sering dimaknai sebatas “kepala karangan” secara wadag. Padahal judul menyiratkan tema dan persfektif seorang pengarang. Nah, judul yang dibuat peserta sering tidak masuk akal, aneh, dan bombastis. Misalnya, “Persoalan Tranportasi Massal Masyarakat Ibukota: Tinjauan Kependudukan”, sudah jelas pengarangnya tak dapat membedakan ia ikut sayembara esei atau cerpen, bukan? Boleh saja ada kilah bahwa bercerita dengan naif seperti anak TK bisa jadi sebuah gaya sebagaimana dalam seni rupa, dan cerpen dan esei pun bisa diaduk sebagai gaya baru.
*
Berdasarkan pengalaman membaca dan berbagai pertimbangan di atas, maka kami memutuskan 20 Nomine Sayembara cerpen Belistra 2013 (sesuai abjad):
  1. Dengkerit dan Orang Lembah Batur karya Irfan M. Nugroho-Universitas Muhammadiyah Purwokerto 
  2. Dua Mayat karya Irsyad (Salimun Abenanza)-STT Nuklir Batan Yogyakarta 
  3. H i t a m karya Lelita Primadani-Universitas Diponegoro 
  4. Kabut Sungai karya Dwi S. Wibowo-Universitas Negeri Yogyakarta 
  5.  Kematian Istriku karya Wishu Muhamad-Universitas Pendidikan Indonesia 
  6. Kembalinya Kapal Dapunta Hyang karya Wendy Fermana-Universitas Sriwijaya 
  7. M a l a b a r karya Fatih Muftih-Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang
  8. Mangsen karya Dwi Ratih Ramadhany-Universitas Negeri Malang 
  9. Nu-Ra-Ni karya Hendra Purnama-Universitas Terbuka Bogor 
  10. Nyala Menyala Nyala karya Dina Amalia Puspa-Universitas Indonesia 
  11. Pada Suatu Hari yang Fiksi karya Gatot Zakaria Manta-Politeknik Negeri Semarang 
  12. Penyadap Nira karya Ilyas Tanbeg-Universitas Muhammadiyah Makassar  
  13. Pohon Keresahan karya Marsten L. Tarigan-  
  14. Pohon Sedarah karya Muhammad Qadhafi-Universitas Negeri Yogyakarta  
  15. Satu Episode, Recehan si Cacing Jalanan karya Novi Adriyanti-UIN Sunan Gunung Djati Bandung  
  16.  Sepotong Kelabu Dua Wanita karya Haeruddin-Universitas Swadaya Gunung Jati  
  17. Suatu Hari Ada Hujan Bir karya Olwin Aldila Perry-Universitas Udayana  
  18. Tanah Terlarang karya Septiana Jaya Mustika-Universitas Gajah Mada  
  19. Tongkonan Sunyi karya Ahmad Ijazi H.-Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau 
  20. Trome L’oeil (Kidung Cinta Mahadewi) karya Sulfiza Ariska-Universitas Terbuka UPBJJ Yogyakarta
Demikian, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
8 November 2013
Dewan Juri,
Chavchay Syaefullah-Oka Rusmini-Raudal Tanjung Banua

*) Catatan Juri hanya kami tampilkan sebagian.
Catatan:
1.       Kepada para nomine diharapkan menghubungi panitia via sms untuk konfirmasi kekutsertaan pada malam anugerah.
2.       malam anugerah dilaksanakan pada tanggal 20 s.d. 22 Nopember 2013
  
     Sumber: ukmbelistra.blogspot.com
S
Sampai jumpa di Serang, kawan-kawan. \(^,^)/
  • 0 Comments

Kau ingin kusebut apa?
Pahlawan yang lupa membawa baju zirah,
pedang, dan tameng. Atau tukang dongeng
yang berkeliling dunia menceritakan bau
busuk di tubuh orang lain, menertawakannya
dengan segala isi mulut tumpah ke mana-mana,
tanpa memberi solusi apa-apa.
Oh-ho!
Aku tak ingin melakukan banding
atas segala yang kau tuding
sebab kau lebih dulu mengetukkan palu
dan aku sudah cukup ragu
: kau itu benar manusia biasa, atau
iblis yang menyaru?

(November 2013)
  • 0 Comments
"Seberapa pantaskah aku hidup?
Seberapa tebal batas hidup dan mati?
Serasa ingin mati saja.
Di mana kamu?"
            [message send to 0856934xxxxx]
 [1 message]
"Nyantai dong. Menjalani kutukan hidup ini dengan riang
 adalah kemenangan. Karena bunuh diri itu absurd, dan
berarti kita kalah. Aku di Jogja. :p"
*
"Aku sudah kalah, telak. Rasanya tak ada kemenangan
yang akan dan bisa kukecap. Aku hanya ingin pergi ke tempat
di mana tak ada sakit, cemooh, dan dusta. Aku muak berada di sini."
                [message send to 0856934xxxxx]
[1 message]
"Pergilah..."




  • 0 Comments

Ketika kamu berkunjung ke mimpiku;
Satu lembar bulu matamu jatuh di bantalku. Di samping remasan kertas bertuliskan: kita belum berkenalan. Kukatupkan mata kembali untuk mencarimu.

Aku menemukanmu di warung kopi. Kamu lebih dulu menghampiri, menggenggam tanganku dan mengajakku ke sisi paling sepi. Di meja telah tersedia dua gelas kopi, dan dua tangkup roti. Sementara kamu menarik kursi untukku, kepalaku sibuk mencari jawab dari tanya; ini nyata, atau sekadar mimpi?

Kita tidak bicara dalam lima jam ini. Kamu masih membaca buku, dan aku menulis puisi. Mata kita sesekali beradu. Kamu tersenyum pun aku. Tapi kita seperti tak mengenal bahasa, selain; 'aku suka' yang terpancar di mata

Di jam ke enam, kamu mendorong kursi dan berdiri. kamu mengeliat sebentar, lalu memberi isyarat untuk pergi. Ingin kutanya hendak ke mana, dan apa yang dicari dari kios-kios yang penuh manusia bergaun hitam ini. Tapi, garis wajahmu seperti memberiku perintah untuk diam saja.

Tiba di persimpangan jalan yang cukup sepi kamu menghentikan langkah, dan berbalik padaku. Raut wajahmu sudah teduh kembali, meski ada sepi menari di ujung matamu. Sementara nyeri tiba di dadaku tepat waktu. Kuterka, perpisahan pastilah akan menjadi akhir dari cerita. Tapi, bibirmu seperti mengucap kekata yang tidak aku mengerti. 
: aku-tak-mampu-temukan-alasan-mencintai-selain-aku-mencintaimu


Hah?!
Benar itu kamu?
  • 0 Comments




KOMPETISI MENULIS TULIS NUSANTARA 2013

Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia bekerjasama dengan NulisBuku.com menyelenggarakan Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 dengan tema:
“Merayakan Warna-warni Indonesia” serta Workshop Menulis - 12 Kota di Indonesia.

Kategori penulisan: Novel | Cerpen Fiksi | Cerpen Non-Fiksi | Puisi

Cara Berpartisipasi:

Ketentuan:
A. Menulis sesuai tema 'Merayakan Warna-Warni Indonesia' dalam bentuk Novel  (Fiksi), Cerpen (Fiksi), Cerita nyata (Non-Fiksi), dan Puisi yang memotivasi pembaca untuk mengetahui lebih banyak tentang keragaman di Indonesia dan mempromosikan Indonesia baik ke dalam maupun luar negeri.

B. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia. Diketik rapi dengan komputer dengan format file Microsoft Word (.doc). Terdapat 4 Kategori Karya:

  • Kategori Novel: panjang antara 100-150 halaman A4, spasi 1, font: Times News Roman 12. Sertakan sinopsis lengkap maksimal 2 (halaman A4), margin by default.
  • Kategori Cerpen (fiksi) dan cerita nyata (Non-Fiksi): panjang tulisan 5-10 halaman A4 dengan spasi 1, Font Times New Roman, ukuran 12 pt, margin by default.
  • Kategori Puisi: panjang tulisan 1-5 halaman A4 dengan spasi 1, Font: Times New Roman, ukuran 12 pt, margin by default.

C. Dalam pengiriman naskah, mohon memperhatikan ketentuan berikut:
  • Email berisi 2 lampiran file (Khusus untuk kategori novel ada 3 lampiran, plus file sinopsis naskah), diantaranya: a. Formulir Pendaftaran dan surat pernyataan (Download di sini: http://goo.gl/jKGQiW     ; b. Naskah Lomba; c. Sinopsis Naskah (Khusus kategori Novel)
  • Pada judul email diisi dengan format: [Kategori] - [Judul tulisan] - [Nama Lengkap Peserta]; Contoh: Non-Fiksi - Cerita dari Banyuwangi - Ananda Bayu Satriani. Perhatikan: Satu email hanya untuk satu kategori naskah.
  • Pada bagian isi email diisi dengan judul naskah.
  • Dikirim via email ke: tulisnusantara@gmail.com.

D. Follow Twitter @tulisnusantara. Kemudian mention @tulisnusantara serta twit sinopsis naskah Anda yang telah dikirim dengan menggunakan tagar (hashtag): #TulisNusantara (Jumlah twit bebas)*

E. Periode lomba: mulai hari Sabtu, 5 Oktober hingga Jumat, 15 November 2013, naskah diterima paling lambat jam 23:59 WIB pada hari Jumat, tanggal 15 November 2013.

F. Untuk mengikuti kompetisi ini tidak dipungut biaya, GRATIS!

G. Pengumuman pemenang & penyerahan hadiah, akan dilakukan pada acara 'Awarding Night' pada hari Sabtu, 30 November 2013 di Jakarta.

SYARAT UMUM:
  • A. Peserta adalah warga negara Indonesia
  • B. Usia peserta dibatasi minimal 17 tahun ke atas sesuai dengan identitas di Kartu Tanda Penduduk (KTP)
  • C. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia
  • D. Naskah harus karya asli (sebagian atau seluruhnya), juga bukan terjemahan atau saduran
  • E. Naskah belum pernah dipublikasikan di media cetak, elektronik dan online dan tidak sedang diikutsertakan sayembara lain.
  • F. Peserta diperbolehkan mengirimkan maksimal 1 naskah terbaiknya untuk setiap kategori.
  • G. Naskah yang dikirim menjadi milik panitia penyelenggara, dengan hak cipta tetap pada penulis.
  • H. Hak untuk mempublikasi tulisan ada di penyelenggara kompetisi.
  • I. Naskah yang tidak sesuai dengan persyaratan tidak akan disertakan dalam proses penjurian.
  • J. Dewan juri akan memilih naskah terbaik untuk masing-masing kategori yang akan dibukukan dalam buku antologi pemenang.
  • K. Penyelenggara kompetisi berhak mengganti judul dan menyunting, tanpa mengubah isi.
  • L. Keputusan juri mengikat, tidak dapat diganggu gugat, dan tidak ada surat menyurat.
HADIAH LOMBA:
A. Novel:  Juara I: Rp 20.000.000; Juara II: Rp 17.500.000; Juara III: Rp  15.000.000.
B. Fiksi (Cerpen): Juara I: Rp 15.000.000; Juara II: Rp 12.500.000; Juara III: Rp 10.000.000.
C. Non-Fiksi (Cerpen): Juara I: Rp 15.000.000; Juara II: Rp 12.500.000; Juara III: Rp 10.000.000.
D. Fiksi Puisi:  Juara I: Rp 10.000.000, Juara II Rp 7.500.000; Juara III: Rp 5.000.000.

- Publikasi 1 buku Novel terbaik pada penerbit terkemuka
- Publikasi 1 buku kumpulan cerpen pada penerbit terkemuka
- Publikasi Koran bagi para pemenang puisi
- Kep. Seribu Writing Getaway bagi Juara Pertama di untuk setiap kategori (4)
- Mengikuti Ubud Writer Festival 2014 untuk kategori Novel dan Cerpen Fiksi
- Mengikuti Borrobudur Writer Festival 2014 untuk kategori Cerpen Nonfiksi dan Puisi
Untuk informasi: Follow: @nulisbuku dan @tulisnusantara atau kunjungi: tulis-nusantara.com

------------------------------

Sebagai pre-event, ada workshop menulis di 12 kota juga.
Lokasi Workshop Menulis Tulis Nusantara 2013:
  1. Jakarta - Sabtu, 5 Oktober 2013 (SUDAH SELESAI)
  2. Solo - Minggu, 6 Oktober 2013 (SUDAH SELESAI)
  3. Lampung - Selasa, 8 Oktober 2013 (SUDAH SELESAI)
  4. Banjarmasin - Kamis, 10 Oktober 2013 (SUDAH SELESAI)
  5. Kupang - Jum'at, 11 Oktober 2013 (SUDAH SELESAI) 
  6. Purwokerto - Minggu, 13 Oktober  2013 (SUDAH SELESAI)
  7. Ambon - Senin, 14 Oktober  2013 (SUDAH SELESAI)
  8. Pontianak - Kamis, 17 Oktober  2013 (SUDAH SELESAI)
  9. Manado - Sabtu, 19 Oktober  2013 (SUDAH SELESAI)
  10. Padang - Minggu, 20 Oktober  2013 (SUDAH SELESAI)
  11. Aceh - Selasa, 22 Oktober  2013 (SUDAH SELESAI)
  12. Malang - Rabu, 23 Oktober 2013 (SUDAH SELESAI)
Untuk mengikuti kompetisi dan Workshop menulis Tulis Nusantara 2013 tidak dipungut biaya, GRATIS!

Mari Berkarya untuk Indonesia yang lebih baik!

Nulisbuku.com
  • 0 Comments


barangkali kau menerka: benar gambar punggung di kertas itu kau punya, karena
barangkali kau mengira: benar adanya punggungmu di kertas itu, karena
barangkali kau bertanya; kenapa punggungmu digambar di kertas itu, karena

barangkali kau menduga: punggung di kertas itu cuma, karena
barangkali kau simpulkan: bukan punggungmu di kertas itu, pada akhirnya
barangkali,
kau tidak tahu,
itu gambar punggung milikmu
sebab ada aku di belakangmu

  • 0 Comments




"Ada yang tidak beres dengan matamu," bisik seseorang di kepalaku, saat kulihat kamu berjalan beriringan dengan seorang perempuan. "Wahahaha... Dia bawa perempuan, mampus! Sakit hati, kan, kau?" Ujarnya lagi.
Sebentar. Aku harus mencari tahu apa yang kurasakan. Diam dulu di sana, biar aku memikirkannya.
Satu: Rasanya tidak ada yang aneh.
Dua: Agak mengganggu mata, sih.
Tiga: Hmm...
Empat: Aku tidak cemburu.
Lima: Apa ini? Kenapa orang-orang itu lebih sibuk dariku? Mereka merasakan patah hati? Atau cuma menggodaku?
Enam: Yahahaha... Mereka bilang aku cemburu?
Tujuh: Baiklah, aku sedikit terganggu, tapi tidak cemburu, atau kecewa. Oke?
Delapan: Apa? Kamu bilang aku melarikan diri? Menyembunyikan apa yang seharusnya tidak disembunyikan? Kamu sok mengenal diriku. Sudah kukatakan aku baik-baik saja.
Sembilan: Terganggu karena apa? Terganggu karena aku tidak khusyuk menggambarnya dari meja ini. Tapi, sudahlah, toh aku bisa menggambarnya kapan saja.
Sepuluh: Haha... Iya, sih. Kami belum berkenalan. Bahkan dalam mimpiku pun kami belum berkenalan. Dan karena itu pula, aku baik-baik saja. Ini bisa aku ibaratkan seperti menggambar objek dari jarak aman.

"Oke, terus kenapa kamu lemas, gitu?"
"Belum makan!"
"Tadi kan sudah makan ketoprak."
"Lapar lagi."
"Kamu selalu banyak makan kalau sedang patah hati, kan?"
"Gimana mau banyak makan, orang lagi sakit tenggorokan..."
"Alah! Alasan saja kamu... Bilang saja patah hati."
"Stop! Keluar dari kepalaku sekarang!"
"Hahaha... Tuh, kan, kamu marah padaku..."
"Marah karena kamu melulu mengatakan aku patah hati. Apa kamu akan senang bilang aku mengiyakan padahal aku sendiri tidak merasa demikian?"
"Oke, oke, aku tidak akan mengatakannya lagi. Hahahaha... Tapi.. Apa benar kamu tidak merasa patah hati?"
"Sundal, kau! Keluar!"
  • 0 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top