Ziarah Karanghantu




Apa engkau akan membaca tulisan ini? Semoga.

Sekali saya pernah berkata, bahwa menziarahi rumah barumu itu akan saya lakukan nanti; saat nama saya satu-satunya yang tertulis di sampul buku. Tapi, tentu tak jadi soal bila saya menziarahi tempat yang pernah engkau tapaki, duduki, atau (barangkali) kencingi. Seperti Minggu (03/11) dini hari lalu. Saya dan dua orang pemuda tampan--yang belum engkau kenal--berkunjung ke Karangantu. Niat kami memang hanya menikmati pagi yang terlalu dini sembari duduk di dermaga, melihat taman bintang di temani riak ombak yang kadang memancarkan warna hijau. Katanya, sih, karena banyak udang yang menari di permukaan laut. Tapi, entahlah.
      Dua tahun lalu, sewaktu melamar menjadi pegiat di komunitas yang engkau bangun, saya pun pernah datang ke Karangantu. Menikmati bandeng lumpur di Eco Village, bercanda dengan kawan. Mencoba membuat puisi, tapi tentu saja saya tidak ahli. Tapi, saat itu, saya merasa tidak sesakral kunjungan malam ini. Padahal, udara di sini masih menguarkan bau yang sama: bau laut, dan bau prasangka. Dan bila boleh, kali ini pun saya berprasangka, bahwa engkau baik-baik saja di sana. Sebab menurutmu, maut memang bukan sesuatu yang harus ditakuti, sebab engkau dapat kekal di setiap jiwa. 
    Mungkin kesakralan ini hanya perasaan saya saja, sebab kepala saya seperti mengajak mengingatmu; apa yang dulu pernah engkau pikirkan saat berada di sini? Saya menggumamkan pertanyaan itu. Mungkin kedua pemuda yang baru menjadi keluarga kita mendengarnya juga. Pertanyaan yang sebetulnya sudah engkau jawab di beberapa sajakmu. Lalu, saya bertanya pula, semacam memberi pengandaian; andai kami bertiga tiba-tiba kembali ke 100 tahun yang lalu. Atau ke masa di mana Sultan Ageng Tirtayasa masih berjaya, kalimat apa yang akan kami katakan saat punggawanya menyeret kami ke hadapannya.
     Saat mereka menjawab pertanyaan itu, saya membayangkan engkau berada di antara kami bertiga; tertawa mendengar jawaban-jawaban konyol kami. Ikut bernyanyi mengikuti lagu di mp3, walaupun saya tahu, suaramu sama tidak bagusnya dengan suara saya; tapi pede saja. Juga, ikut menghitung bintang jatuh bersama kami.
    Andai saat itu engkau benar-benar bersama kami, apa yang akan engkau petuahkan pada kami? [*]

You Might Also Like

0 Comments