Dalam Secangkir Kopi Pagimu
Ada aku yang selalu mengintip dari balik dedak kopi pagimu. Senyum sapaku mengepul seharum kopi yang kamu sukai itu, kemudian bersanding dengan asap tembakau dari mulut cerobongmu. Cerita hari kemarin yang membosankan, menyedihkan, membahagiakan, diam-diam aku campurkan ke dalam kopimu. Apakah kamu pernah mengalami atau merasa sakit kepala, mulas, ditengah kamu menikmati kopi--atau setelah kopi habis? Ya, itu efek samping dari cerita yang aku campurkan.
Sebab, ada aku yang selalu mengintip dari balik dedak kopi pagimu. Kamu selalu duduk di tepi jendela. Kamu peluk sebelah kaki, sementara kaki yang lain kamu biarkan menggantung. Matamu tertuju pada langit. Ya, langit dengan iringan awan serupa arum manis yang dijual di perempatan jalan menuju ke rumahmu. Kuterka, kamu sedang memperhatikan cuaca. Siang nanti, semesta akan memberimu bahagia, atau cuma mulut rapat dan kerutan di kening. Mungkin saja, kamu sedang merindu hujan, sebab kemarau akhir-akhir ini membuatmu tak ingin lagi memakai baju.
Padahal, ada aku yang selalu mengintip dari balik dedak kopi pagimu. Andai saja kamu tahu, aku bisa membacakan koran semesta, sebelum orang-orang koran menulis berita, sebelum pemuda loper itu melemparkan sebundel koran ke beranda rumahmu. Aku bisa. Tapi, tergantung kamu. Apakah kamu bisa menemukanku, atau tidak. [*]
0 Comments