Sowan ke Kutai Kertanegara


Selamat sore, genk? Apa kabar? Ini adalah tulisan yang terlambat saya posting. Sebenarnya, saya sudah menulis ini sejak di tanah Kalimantan, mohon maaf banget ya, genks. Saya lupa posting. Tapi yang pasti, ini cerita mengenai Temu Karya Taman Budaya se-Indonesia ke-21 yang membawa serta saya sebagai tim 'tukang' (bahasa saya, bahasa kerennya sih salah satu official team UPTD Taman Budaya dan Museum Negeri Banten) dengan tugas utama merekam aktivitas.

Di sela kesibukan mengabarkan hal-hal terkait kegiatan, Selasa (20/09/2022), Kabid Kebudayaan Provinsi Banten, Pak Bara Hudaya mengajak saya naik mini bus entah hendak ke mana. Tim Kebudayaan Banten akan pulang lebih dulu bersama tim kesenian, sedangkan tim UPTD Taman Budaya dan Museum Negeri Banten masih mengurus beberapa hal. Kabarnya, hari ini tim Kebudayaa Banten akan berkunjung ke desa budaya di Kalimantan Timur ini. Tentu saja saya mah gimana diajak saja.

Diajak mah, ya ikutlah. Meskipun hari ini juga ada jadwal kelas. Tapi karena peraturan kampus Universitas Negeri Yogyakarta sangat ramah bagi tukang 'kamehameha' (baca: nggak ikut perkuliahan secara langsung) seperti saya. Asal sinyal provider keren, ya saya bisa ikut kelas daring. Kerjaan kelar, kuliah lancar, bismillah segala sesuatunya dimudahkan dan dilancarkan. Kalau nggak diajak, ya santai saja ikut kuliah sambil 'halo-halo' sama kakang dan mbakyu seniman se-Indonesia yang ikut serta dalam perhelatan Temu Karya Taman Budaya se-Indonesia ke-22 ini. Kalaupun mager (malas gerak), ya mendem di kamar sambil mengerjakan hal-hal yang mesti saya kerjakan. Atau....,

Tapi, kedua pikiran saya itu terpotong teriakan atau lebih tepatnya ajakan untuk naik mini bus yang menjadi alat transportasi selama di Tanah Etam ini. Yah, mau tidak mau saya ikut naik meskipun setelahnya saya sudah sibuk menghubungkan diri dalam kelas daring. Terserah mau dibawa ke mana, mau ke Desa Adat, atau mana pun, saya ikut saja. Dan ketika mini bus berhenti di salah satu gedung, saya langsung ber'oh'. Rupanya tidak jadi ke desa adat, tapi ke Museum Mulawarman. Tapi pengumuman di medsos resminya sedang tutup karena sedang bersiap menyelenggarakan upacara Erau.

"Oalah, kenapa nggak ngomong mau ke sini, kan infonya tutup," Ujar saya sambil menunjukan info dari medsos resminya.
"Yah, kenapa nggak bilang, ute!" Ujar Pak Bara.
"Kan katanya mau ke desa adat, kenapa jadi ke museum?" Jawab saya sambil bersiap turun. Tapi ketika kaki berpijak di tanah basah karena hujan pagi ini, tidak urung saya senang. Oalah, rupanya ini jawaban 'uluk salam' dijawab melalui perantara tim kebudayaan Banten, toh? Batin saya.

Wewangian yang khas menyambut di pintu mini bus, mengiring langkah menuju berbagai area. Hujan yang mengiringi perjalanan Samarinda-Enrekang sudah berhenti. Cuaca berganti seperti cuaca di Serang di waktu yang sama. Yah, panas-panas hangat gimana gitulah. Wewangian nan harum itu masih terus berkitar di indera penciuman saya, silih berganti selama saya mengitari istana yang kini beralihfungsi menjadi kawasan Museum Mulawarman, kantor UPT Museum, Kawasan Ekonomi Kreatif Provinsi Kalimantan Timur dan lainnya. Meskipun pada upacara-upacara sakral kesultanan, jam operasional museum tutup.

Saya dan rombongan terpisah di area makam raja-raja Kerajaan Kutai Kartanegara dan keluarga. Saya memilih duduk di pelatarannya saja untuk sekadar melepas pegal. Sementara rombongan menuju ke arah kedaton dan masjid kuno Aji Amir Hasanuddin. Lumayan jemper tangan iki, rek! Tapi mengeluh bukan bagian saya dalam perjalanan ini, karena memang sejak awal saya sudah memprakirakan akan jemper, mengambil gambar, memotret, mengedit dan mempublikasikan kegiatan-kegiatan selama TKTB ini. Meskipun, sejak awal, Bu Kasi Kesenian dan Bahasa, Bu Nita, secara sukarela sering memotret saya diam-diam sambil berkata; "kasihan teh Uthe nggak ada yang motoin, fotoin melulu," katanya. Padahal, saya sengaja untuk tidak banyak memotret diri saya karena orang-orang di luar akan berpikir hal lain tentang keikutsertaan saya dalam rombongan ini. Malas menambah rasa iri dan dengki di hati orang lain. Heu. 

Sembari bersantai di pelataran makam, saya membaca surah yang biasa saya hapalkan. Yah, hitung-hitung setor hapalan, meskipun sering bolak-balik dan akhirnya menyerah membacanya saja. Ha. Sok-sokan mau setor hapalan, padahal belum hapal. Beberapa peziarah datang dan melewati saya yang terus menunduk pada ponsel.

Btw, ada apa dengan Paser, ya, gaes? Umh, nanti coba kita talungtik, deh. Sepertinya, saya tidak bisa jika harus mengikuti arah angin yang menggiring saya ke sisi lain dari pulau ini. Karena, saya adalah salah satu bagian dari rombongan yang sudah memiliki jadwal yang tetap. Karena itu, saya bisikan kata maaf, mungkin lain waktu dapat berkunjung ke sana. Entah bagaimana lagi cara alam mengiring saya. Apakah akan seunik saat ini, atau cara yang lainnya. Saya akan siap saja. 

Bagaimana pun, ada semacam keterikatan saya dengan tanah ini. Entah di zaman baheula para orang tua saya (kakek, buyut, dan lainnya) pernah berkunjung atau menetap di tanah ini, atau hanya sekadar melancong saja. Wallahualam. Yang pasti, saya senang menemukan perasaan merasa pulang. Dan suatu saat, saya pasti kembali lagi ke sini.





You Might Also Like

0 Comments