Nobar Kinipan dan Kabar Gunung Liman










Sejak Sore, Direktur Eksekutif Rekonvasi Bhumi sekaligus bapak semang kami, Om Nana, sudah bersiap bersama Nuril dan Aji. Sementara saya masih sibuk berdandan seusai mandi yang buru-buru tadi. Hari ini, kami akan pergi ke acara Buka Bersama dan Nonton Bareng Film "Kinipan" karya Watchdoc yang diselenggarakan oleh Laboratorium Banten Girang dan didukung oleh Padepokan Kupi, Pena Masyarakat, Hajirocker Foundation dan Rekonvasi Bhumi. 
Karena sudah hampir waktu yang disebarkan di undangan, Om Nana, Mang Nuril dan Aji langsung pergi duluan, meninggalkan saya yang masih berdandan, mesti beri makan ikan-ikan yang garangan kalau sudah mendekati waktu mereka berbuka versi mereka. Di mulut, Al-Mulk terus berputar mencari ayat terakhir.

Sampai di Padepokan Kupi, Om Nana, Ka Haji Asep, Bang Ali Soero, Kak Rena Yulia, Om Iwan, dan tentu saja Mang Aliyth sudah menjajah kursi panjang di saung. Sementara Omen, Nanda, dan para ranger Lab. Banten Girang lainnya sibuk menyiapkan white screen, sound dan makanan untuk buka bersama. Di depan Padepokan, seorang Driver Gojek menyeru bahwa ada kiriman untuk Padepokan Kupi dari Biem.co. Kami langsung berseru; Selamat Ulang Tahun, Biem.co! Terima kasih, Kang Irvan!

Seusai berbuka dengan menu segala macam makanan dari makanan yang hanya ada di bulan Ramadan, otak-otak, sate, kolak luar biasa, kurma dari Kang Irvan maupun gorengan, masing-masing bergantian salat maghrib. Acara Nonton Bareng dibuka oleh dua ranger, Omen dan Ifan, yang mendadak nge-MC.

Kinipan, Film Horor Lainnya dari Watchdoc

Seperti film dokumenter sebelumnya, film produksi Watchdoc kali ini pun menyuguhkan kesan yang mendalam. Sejak bab pertama film produksi Watchdoc ini diputar, kesenduan sudah sangat terasa. Ada kesedihan yang asing seiring scene film "Kinipan" itu berganti. Wajah-wajah yang ditampilkan itu, Pak Basuki,forester yang menjadi tokoh utama film ini dan aktivitasnya dalam menjaga dan memelihara hutan, wajah-wajah masyarakat adat Kinipan dan masyarakat adat lainnya yang berjuang menjaga wilayah hutan mereka dari pembukaan lahan oleh perusahaan. 

Belum lagi soal para penghuni hutan yang terus tersisih seiring hilangnya habitat mereka, pohon-pohon yang usianya ratusan tahun ditumbangkan hanya dalam waktu sepersekian menit. Hasilnya, balok-balok kayu maupun kayu gelondongan baik yang teronggok di tengah hutan, maupun yang dibawa oleh truk-truk pengangkut.

Film ini menghadirkan 7 bab yang masing-masing babnya menampilkan persoalan. Saya nggak akan mengulas per-babnya, karena masing-masing bab memiliki kehororannya sendiri dan saya tidak sekuat itu untuk menyaksikannya.

Hutan yang lebat bersisian dengan lahan hasil pembabatan. Horor banget! 

Pada sesi diskusi, kedua pembicara baik perwakilan dari Pena Masyarakat maupun perwakilan dari Rekonvasi Bhumi bersepakat bila peringatan Hari Bumi ini tidak hanya menjadi acara charity semata, namun ada aksi nyata yang dapat dirasakan masyarakat di kemudian hari. Masing-masing pembicara mengomentari juga mengenai kerusakan lingkungan yang terjadi cukup massive di Indonesia, baik yang ditunjukan dalam film karya Watchdoc itu, maupun yang terjadi di sekeliling kami. 

Para pembicara menyoroti pemerintah sebagai pemegang 'aturan main' dalam  tidak membuat landasan kajian sebelum membuat kebijakan mengenai lingkungan. Undang-undang Omnibuslaw juga disinggung dalam sesi diskusi yang berlangsung selama 1 jam itu. Tidak hanya itu, kontribusi perusahaan dalam menjaga lingkungan juga dipertanyakan. Masyarakat adat di Indonesia sepertinya menghadapi persoalan yang sama. Perusahaan yang didukung pemerintah beradu tanduk dengan masyarakat adat yang telah memiliki pengetahuan dari para leluhurnya mengenai menjaga alam. Perang wacana mengenai restorasi hutan antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat terus terjadi. Di sisi lain, eksploitasi atas segala sumber daya alam terus terjadi.

Menurut Om Nana, tidak perlu di Kalimantan, tidak perlu di Sumatera. Di daerah kita, Banten, juga sama. Salah satu contohnya, ketika gunung-gunung di Bojonegara, Pulo Ampel habis. Ada izin dari menteri KLHK untuk pertambangan masuk ke tanah negara.

"Sampai saya bilang ke teman-teman pemerintah Kota Serang, emang kita tidak punya, ya, design yang menyelamatkan sumber daya kita, yang menyelamatkan air, yang menyelamatkan oksigen, yang menyelamatkan keanegarakaman hayati kita? Karena jika Pulo Ampel, Bojonegara tidak lagi punya gunung, maka ketika terjadi angin seperti di NTT, misalnya. Ketika terjadi tsunami, kita tidak punya barrier lagi." ujarnya.

Kejadian yang disampaikan dalam film Kinipan ini menurut Om Nana merupakan bagian dari sejarah panjang ketika kita memasuki dunia modernisasi di Indonesia. Kalau kita terbang atau jalan dari Balikpapan ke Samarinda, kita melewati bukit Suharto. Kiri dan kanannya masih hutan, tapi 100 meter dari hutan itu, hutannya udah nggak ada. Itu kondisi yang kita hadapi. Prihatin memang, kita nggak tahu harus komplainnya ke siapa, karena undang-undang misalkan terkait ruang terbuka hijau harus 30% terkait tata ruang.

"Seperti yang dibilang Pak Feri tadi, yang bikin kebijakan pemerintah, yang ngizinin pemerintah, yang melanggar kebijakannya juga pemerintah." ujarnya.

Lebih lanjut, Om Nana mengatakan bahwa ketika ada kebijakan dan koorporasi bekerja sama, maka sumber daya alam kita habis. Dan masyarakat, apakah itu masyarakat adat atau bukan adat, yang selalu jadi korban. Apakah karena ruangnya berebut, dirampas atau karena dampaknya. Entah banjir atau longsor, mereka yang terus merasakan. Begitu terus yang terjadi di kita.

"Sebenarnya, ketika Pak Jokowi jadi presiden, ada harapan besar kami dari aktivis lingkungan. Bahwa Pak Jokowi akan berpihak pada lingkungan karena Pak Jokowi alumni UGM, Kehutanan. Tapi ternyata juga kondisi yang sama. Apalagi ketika ada UU Cipta Kerja tentang food estate." ujarnya.

Kalau kita lihat di film Kinipan, hutan menjadi tempat masyarakat di dalam hutan itu mencari makan. Tidak perlu ada food estate. Karena pada dasarnya, pengetahuan mengenai ketahanan pangan itu sudah lekat dalam kehidupan mereka. Seperti halnya di Baduy yang meskipun ladang mereka rusak atau gagal panen, mereka masih bisa bertahan puluhan tahun dengan padi-padi yang ada di lumbung mereka. Tidak hanya di Baduy, namun di Suku Anak Dalam atau di masyarakat adat lainnya, mereka pasti punya manajemen mengenai ketahanan pangan. 

"Dan lagi-lagi kebijakan pemerintah kita yang merusak mungkin menghancurkan kearifan-kearifan lokal sehingga mereka kehilangan ruang, kehilangan kesempatan yang membuat mereka bersaing dengan lawan yang bukan lawannya. Itu yang berat." ujarnya.

Lebih lanjut, Om Nana mengatakan bahwa management kolaborasi untuk persoalan-persoalan terkait lingkungan menjadi sesuatu yang penting. Sebab, jika kita bicara lingkungan, kita akan berpikir, kita akan mempertimbangkan, apa yang kita lakukan itu punya dampak nggak bagi orang lain.

"Jika Allah menurunkan agama baru, maka agama baru itu namanya lingkungan, kalau kita sadar dengan lingkungan, kita akan sadar betul dengan apa yang kita perbuat. Kita akan sadar betul dengan dampaknya yang kita perbuat. Saya harap film ini memicu kita untuk mensetup ulang mengenai cara berpikir, yang kita break down, untuk menjadi perilaku kita sehari-hari," pungkasnya.


Kabar dari Gunung Liman, Banten

Lalu bagaimana dengan Banten? Apakah Banten aman? Tidak. Selain yang sudah disampaikan Om Nana mengenai kondisi Pulo Ampel dan Bojonegara, labar terbaru, Gunung Liman sekarang dihuni para gurandil yang melubangi wilayah itu. Baris Kolot Baduy, Ayah Pulung bahkan menangis melihat keadaan itu. Bagaimana tidak, gunung dan lembah yang mereka jaga ternyata dimasuki orang-orang biadab, para tukang keruk ilegal, untuk segala kepentingan perut mereka sendiri. Jika melihat lokasi, Gunung Liman memang tidak berada di tanah ulayat Baduy. Namun, bagi orang Baduy, Gunung Liman masih kawasan titipan dan buyut yang tidak dapat diubah. Bukan hanya Gunung Liman, namun gunung-gunung lain di tanah ini. 

Orang-orang yang berani melebur gunung, merusak alam, mereka mungkin tidak memikirkan dampak dari apa yang mereka lakukan. Meski banyak bencana yang menerjang diakibatkan oleh apa yang mereka lakukan. Sebut saja banjir bandang yang menerjang Cipanas dan sekitarnya. Apa karena mereka bukan warga masyarakat adat Baduy sehingga mereka merasa tidak punya kewajiban mematuhi pikukuh yang dipegang teguh oleh masyarakat adat Baduy?

Jujur saja, saya ngeri bila mata ini menyaksikan banjir bandang Cipanas versi kesekian dengan debit air yang ratusan kali lipat itu senyatanya terjadi. Apa harus terjadi bencana besar dulu, baru semuanya sadar bahwa apa yang dilakukan segelintir begundal itu membawa akibat untuk seluruh orang? Apa harus ada Pamarayan bakal malik, ngan kari tapakna

Iyes, kalimat itu hanya kiasan apabila kita tidak mawas diri. Tidak hanya sebagai pribadi, namun pemerintah Kabupaten Lebak juga musti lebih awas dan waspada dari segala kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. Jangan sampai, ulah segelintir orang ini merugikan banyak orang. Mencegah itu lebih baik, bukan? Tidak hanya pemerintah Lebak, tapi pemerintah Kabupaten Pandeglang, Pemerintah Kabupaten Serang juga musti melakukan hal yang sama. Kenapa? Karena bencana selalu datang tiba-tiba, kalau datangnya dengan pemberitahuan itu namanya kunjungan pejabat, genks. Karena pasti ada ninu-ninu-nya. Wuh! 

Dahlah, kami mau ngapain aja setelah ini. Mau ikut?

You Might Also Like

0 Comments