4 Cerita dari Balik Pintu




Tujuh Malaikat 

Tujuh orang dengan gaun menjuntai dan sayap yang tak direntangkan menunggang awan, turun menuju bukit di sebelah. Malaikat? Kulambaikan tangan pada mereka.

"Hey, di sini!" suaraku bergema di lembah yang hijau itu. 

Lambaianku bersambut senyum dan anggukan kepala mereka. Seseorang di antaranya membalas lambaian tanganku. Ia melambai juga. Tapi, mereka tetap turun ke hutan lebat itu. Tak berbelok ke arahku. Tak apa, mungkin mereka sedang terburu-buru.

Kulangkahkan kembali kakiku menuju perkampungan di puncak bukit. Sembari berjalan, kuterka sendiri mungkin di bukit yang rimbun itu, sedang ada perhelatan sehingga mereka memilih pergi ke sana. Ada perhelatan apa kiranya?

*

Penyerangan

Ruangan itu hanya memiliki satu pintu. Seseorang menahan pintu dengan badannya. Sementara yang lainnya sibuk menutup jendela. Sekilas, aku melihat asap hitam pekat dan kobaran api melintas ke sisi ruangan itu. Sepertinya, berputar dan berkitar-kitar mencari celah untuk masuk. Sementara dua daun pintu yang ditahan itu dan dinding tampak bergetar ditubruk dari luar oleh kekuatan yang besar. Aku semakin merapatkan tubuhku ke dinding.

"Jangan biarkan mereka masuk!" ujar salah seorang di antara mereka.

Dua orang yang mengapitku benar-benar protektif. Mereka berusaha agar aku tidak terlihat dan terus mengarahkan orang-orang lainnya untuk menutup jendela dan lubang angin. Bahkan, celah pun harus ditutup.

"Sabar ya, sebentar lagi mereka pergi," ujar salah seorang di antaranya.

Aku hanya mengangguk. Aku ingin tahu, ada masalah apa hingga penyerangan ini terjadi? Mereka itu siapa?

*

Musyawarah Besar

Saung besar yang tertutup di tepi kali itu dipenuhi orang-orang. Mereka riuh bersuara membahas suatu persoalan yang tak begitu jelas di telingaku. Jukung-jukung kecil tak tertambat itu menunjukan mereka datang dari berbagai daerah di tanah ini. Mereka sepertinya tidak sempat menambatkannya sehingga tampak terombang-ambing dipermainkan arus. Saling membentur, hingga salah satunya membujur searah sungai. 

Satu persatu, jukung terseret. Aku dan seorang penjaga melompat mencegat jukung itu. Tak sempat. Arus terlalu deras. Hanya barang di atasnya saja yang dapat kuraih. 

"Maaf, hanya ini," ujarku sembari menyerahkan tas besar dari jendela yang terbuka, tepat di sisi sungai itu. Seorang tua berjubah putih dengan sorban putih membungkus kepalanya menerima tas yang kusodorkan dan mengucapkan terima kasih. Terdengar riuh rasa syukur dari orang-orang lainnya.

Kuanggukan kepala, pamit. Sepertinya, isi tas itu adalah dokumen berharga. Syukurlah bisa diseamatkan.

*

Lelaki Tampan dan Patung yang Hidup

Pesisir berpasir gemerlap, berombak tenang berarsir perbukitan di sisinya. Posil-posil kerang dan bebaturan berkilauan sudah di tangan. Kutangkup dengan segenap takjub. Sepertinya akan bagus jika diuntai menjadi manik-manik perhiasan.

Aku digiring dua orang, lelaki dan perempuan. Kami berjalan menuju saung yang di dalamnya terdengar orang-orang riuh mengobrol asyik sekali.

Seorang lelaki tampan berpapasan dengan kantung kecil berisi bebatuan di tangan. Ia menuju saung kecil di samping saung tertutup itu. "Bapa, saya pinjam pembakaran!" izinnya pada orang-orang di dalam. Setelah diizinkan, ia mengambil korek api dari saku bajunya. 

Aku hapal wajah itu. Wajah yang terkenal? Atau mungkin wajah yang pasaran?

"Ayo terus ke bukit itu, sudah lama tidak nanjak," ujarku pada dua orang yang mengiringiku. Mereka sebenarnya sudah lebih dulu mengarah ke bukit itu.

Ajakanku itu disambut tawa si pemuda. Ia terdengar menggumamkan kalimat yang kuucapkan.

"Kenapa?" Tanyaku seraya mendekat dan jongkok di sampingnya.

"Nggak, kamu lucu," ujarnya tanpa mengangkat kepala.

"Oh, ya sudah. Kami pergi dulu," ujarku seraya mengikuti dua orang yang sedari tadi bersamaku.

Di atas bukit, ada pelataran dengan bebatuan sebagai lantai dan reruntuhan lainnya serupa pondasi. Ada batu panjang dibelit tanaman liar menyerupai ular bersisik. Jika ini ular, pasti ada kepalanya. Batinku, seraya menatapnya dari bagian yang paling kecil, terus hingga ke bagian kepala.

Benar saja. Kulihat kepala dengan mata yang seolah terbuka itu. Ia menatapku!

"Hey, sini," ujar salah seorang yang pergi bersamaku. Ia berdiri di tepi tebing. Tangannya menunjuk tebing sebelah yang menyerupai kepala bermahkota.

Alarm tanda bahaya bersuara di telingaku. Mengirim gigil dan lemas di waktu yang sama. Dadaku sesak, susah sekali bernapas. Ingin kuajak mereka untuk segera turun, tapi tak ada suara yang keluar. Kulihat, mereka masih asyik menilik dan menyingkirkan tanaman rambat itu.

"Hmm, ayo aku bantu," ujar suara lelaki terdengar dari belakangku. Lelaki yang sama yang kutemui di bawah itu. 

Kutatap wajahnya dengan napas yang tersenggal. Ia tersenyum seperti menenangkanku. Tangannya kemudian mengangkatku seolah tubuhku ringan saja. Alarm di kepalaku mulai sayup. Di kejauhan, kudengar suara seseorang bernyanyi. Entah berasal dari mana.

You Might Also Like

0 Comments