Kolam Lumpur Semerah Darah




Panggung utama yang kutaksir berukuran panjang 10 dan lebar 8 meter berdiri di ujung kubangan lumpur itu. Para lelaki tampak sibuk memasang rigging, lampu dan memasang sound serta bagian panggung utama lainnya. Sedang di depan panggung para lelaki berseragam dari satuan organisasi keagamaan tertentu tampak sibuk menyulap kubangan lumpur menjadi sewarna darah.

“Ayo campurkan! Jangan sampai tidak rata! Usapkan tanda merah dan hitam di wajah kalian!” teriak seorang lelaki yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya, ia adalah pemimpinnya. Orang-orang terus berdatangan untuk membantu menyepuh lumpur, memasang kursi dan balok-balok yang digunakan sebagai jalan menuju panggung utama.

“Ayo kita pergi...,” panggilmu sembari memegang lenganku. Rautmu tampak khawatir. Kutaruh jari telunjuk di mulutku agar kau bersikap biasa saja. Sebenarnya, dadaku sudah bertalu sedari tadi. Aku juga khawatir. Ini acara apa? Kenapa mesti diadakan di kubangan lumpur yang disepuh dengan warna merah? Kuberanikan diri untuk mendekati lelaki yang tadi berteriak dan memberinya salam.

“Maaf, pak. Ada acara apa, ya?” tanyaku sembari menangkupkan tangan di dada.
“Konser,” pendeknya.
“Konser di atas lumpur? Wah, konsep yang keren!” seruku. 
“Iya, konser solidaritas. Lihatlah, area ini berada di pertemuan berbagai aliran sungai. Kau tahu, pertemuan aliran air biasa digunakan untuk penyembuhan penyakit?" tanyanya. Kugelengkan kepala. Lantas, ia menjelaskan panjang lebar. Perihal aliran air, lumpur, dan mereka yang akan mengisi panggung besar itu. Aku ber-oh sembari mengangguk-angguk, berusaha memahami ke mana arah pembicaraannya. Jika tentang penyembuhan, tapi kenapa terasa seperti akan terjadi perang?

Kualihkan pandanganku ke arah lain. Ada seseorang yang kukenal di antara yang sibuk itu. Kuhampiri ia. Kami mengobrol sembari berjalan menuju ke arah kerumunan sembari membicarakan karma yang sedang dan mesti dijalani setiap manusia, termasuk aku dan dirinya. Sedang asyik ngobrol, kau datang. 

“Ayo pergi...,” kau berbisik. Kuanggukan kepala seraya pamit pada teman ngobrolku itu. Sementara kau terus menarik lenganku, menyeretku pergi, seolah lambat sedikit saja menghindar dari tempat itu, nyawa kita akan melayang.

Sementara aku terus memikirkan, siapa yang akan mengisi panggung megah itu? Apakah para alim langitan? Jika iya, maka apapun yang aku dan kamu khawatirkan ini, tidak akan terjadi di depan mata mereka. Aku yakin, mereka yang penuh kasih dan selalu menebarkan kedamaian itu akan mencegah keributan macam apapun. Bahkan dengan nyawa mereka sendiri seperti para leluhur mereka yang mempertahankan negara ini. Tapi bila ternyata terjadi juga, harus ada seseorang yang bisa mencegahnya.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tolong jangan kembali ke sana...,” ujarmu saat kita sudah memasuki ladang penduduk dan terus berjalan memasuki area perkebunan warga.

“Nggak, nggak bakal balik ke sana kok,” ujarku mencoba menenangkanmu yang terus menyeretku.


You Might Also Like

0 Comments