Secangkir Kopi dan Tiga Biksu

SECANGKIR KOPI DI SANDEKALA



Kau duduk menghadap meja kerja sederhana yang dipenuhi tumpukan buku, laptop dan catatan-catatan kecilmu. Helaan napas beratmu kerap kau perdengarkan. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali hingga aku merasa terganggu. Kegundahan yang kau pendam itu sepertinya membuat si ide enggan datang dan jemarimu kehilangan tariannya. Sedangkan pekerjaan harus diselesaikan tanpa alasan kebuntuan macam apapun.

Karenanya, aku tetap diam di tempatku, meneruskan bacaanku dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Bahkan jika perlu, menahan napasku. Sebab, jika aku yang kini berada di kursimu itu, gangguan suara sekecil apapun bisa membuatku emosi. 

Hmm, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat. Meskipun sebelumnya sudah kukatakan agar kau tetap fokus pada apa yang sedang kau kerjakan. Hanya saja, helaan napas beratmu itu membuat udara terasa mencekat leher dan aku butuh waktu beberapa detik untuk bisa bernapas lega lagi. 

Sebenarnya, ingin kutawarkan bantuan, tapi aku takut malah akan menambah keruwetanmu. Kau yang lebih tahu apa yang kau butuhkan, termasuk ketika kau memilih untuk tidak membagikan masalah apa yang sedang kau hadapi. Orang-orang di luar dirimu, termasuk aku, hanya bisa menjadi pendengar, penonton, atau bahkan komentator yang kadang malah membuat kepala semakin pusing saja.

Dengan tetap diam di tempat dan meneruskan bacaanku, mungkin akan sedikit membantu. Dengan tidak menimbulkan suara mungkin bisa membuatmu segera menyelesaikan pekerjaanmu. Ya, itu harapanku di tengah udara pengap dan tak nyaman ini. Rupanya, kegundahanmu sungguh berbahaya!

Kuputuskan untuk menutup buku dengan sebelumnya memberi tanda di laman yang kubaca. Kemudian, bersijingkat menuju tempat penyimpanan kopimu. Menyeduh kopi dua cangkir kopi  dan mengirim satu cangkir ke mejamu. Sementara secangkir lagi kubawa keluar. Di luar, lembayung sudah menyemburat. Pergantian waktu siang ke malam akan segera tiba.

Sandekala, begitu orang-orang di kampungku menyebutnya. Di sandekala ini, konon pintu-pintu kegaiban terbuka lebar. Saat ini pula, setan-setan dan bobongkong (hantu) bergentayangan. Karena itu, ada larangan untuk berada di luar jika pergantian waktu seperti ini. Pamali. Tapi, pamali di zaman ini sepertinya tidak berlaku lagi. Aku juga kadang seperti ini, sudah tahu pamali tapi masih kulakukan juga. Dasar aku

Suara pintu dibuka terdengar di sampingku yang duduk di potongan kayu. Kau tampak menyenyum, tanganmu membawa cangkir yang tadi kutaruh di mejamu. Ah, sudah selesai rupanya. Syukurlah.
“Terima kasih, ya...,” ujarmu seraya duduk di sampingku.
“Untuk?” tanyaku.
“Ini,” kau mengacungkan cangkir kopimu. 
“Ooh, iya. Kembali kasih,” kusambut cangkirmu dengan cangkirku.
“Waktunya sembahyang...,” ujarmu mengingatkan saat di kejauhan terdengar suara adzan.
“Iya, waktunya kencan,” jawabku.
[*]


BIKSU DAN JANJI BERTEMU



Api di tungku itu telah unggun. Aku, kau dan tiga orang biksu duduk mengelilinginya. Biksu yang lebih sepuh duduk tak jauh dariku, menyusul dirimu di sampingku, dan kedua biksu di ujung lainnya. Pakaian ketiga alim yang sewarna kunyit itu tampak lebih berkilau tertimpa cahaya api unggun. Entah berapa derajat suhu di malam ini. 

Dengan lembut, bapa biksu itu memberikan banyak sekali petuah, bekal bekal di perjalanan panjang yang berliku ini. Aku, kau dan kedua biksu yang usianya tak terpaut jauh mendengarkan petuah itu dengan takdim.

Bapa Biksu sesekali melirikku dengan penuh kasih. “...syukurlah engkau telah sadar, engkau telah sadar, engkau telah sadar. Semoga kita bisa bertemu...,” ucapnya dengan penuh kebersyukuran setiap kali menatapku layaknya seorang ayah yang mengetahui puterinya telah bangun dan sembuh dari penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Saat itu, aku hanya menangkupkan tangan di dada, mengamininya dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.

Di sisi lain, aku belum begitu paham kesadaran yang dimaksudnya itu kesadaran yang mana? Juga, pertemuan seperti apa yang menanti di hadapan? [*]


*** Dua dari tiga cerita. Satu cerita lagi biarlah saya simpan saja. Semoga kita semua sehat dan bahagia.

You Might Also Like

0 Comments