Para Pengantar Seribu Peti




Malam telah larut. Kantuk dan dingin sudah membawaku ke balik selimut. Jangkrik, kodok dan binatang malam lainnya menjadi pengantar tidur paling sempurna di bumi Mandala hingga tidur lebih awal adalah niscaya. Di luar, bulan sedang purnama.

Tapi, ada yang kurang ajar mengganggu tidurku. Ketukan di pintu. Sekali, kudiamkan saja. Dua kali, kudiamkan lagi hingga suara ketukan terdengar lebih kuat lagi. Seolah jika tidak segera kubukakan, pintu tua yang sudah keropos itu bisa saja hancur.

Daun pintu terkuak, mulutku tak kuasa menahan desis 'wow'. Jika aku bermimpi, maka ini akan menjadi mimpi indah lainnya. Dan jika ini benar terjadi, maka barangkali inilah yang disebut sorganya para betina.

Bagaimana tidak, ada begitu banyak lelaki tampan dalam antrian yang mengular hingga ke ujung pandangan. Entah berapa ratus orang dalam antrian yang sepertinya masih mengulari jalan itu. Pakaian mereka seragam. Kain putih di bagian bawah dan kain lain untuk menutup bagian dada mereka. Jika ini persoalan rupa atau wajah, insting kebetinaanku mengatakan ketampanan mereka di atas rata-rata. Bintang iklan susu untuk lelaki pun jauh di atasnya. Bagaimana aku tidak mendesiskan kata 'wow', kan? Memang tampan sekali!

Semua lelaki yang tampan itu, terbagi menjadi dua per satu peti yang bobotnya sepertinya berat sekali. Aku tahu peti itu berat dari bulir keringat lelaki di depan pintu. Lelaki yang mengetuk dan membangunkanku itu. Lelaki itu menangkupkan tangan di dada. Memberi salam pembuka. Kujawab salamnya dengan melakukan apa yang ia lakukan. 

Kutanya, apa hal yang membuat mereka datang dan dari mana asal mereka? Bukannya menjawab, lelaki itu malah menunjuk peti, kemudian menunjuk orang-orang yang berjajar itu seolah ingin diketahui jika kedatangan mereka adalah mengantarkan peti-peti itu. Kemudian, ia membuka peti yang ada di depan hadapan kami.

"Silakan..," ujarnya seolah memintaku untuk memeriksanya.

Anehnya lagi, aku tidak merasa isinya sangat penting. Padahal, jika kujabarkan, di dalam peti itu berisi perhiasan yang tak terhitung jumlahnya. Semuanya berkilau! Tapi, dadaku sama sekali tidak berdesir. Aku hanya tahu, aku hanya harus menerimanya. Karena itu, jawaban yang muncul kemudian sangat datar sekali.

"Baik, terima kasih. Letakan saja di sana. Dan silakan beristirahat...," ujarku seraya menunjuk salah satu sudut. Lelaki itu mengangguk dan memberi isyarat pada rekannya sementara aku sibuk mencari apa yang sedang kubutuhkan saat ini. Dan perutku menjawab seloyang martabak durian keju susu. Ah, kenapa tidak sekalian minta martabak saja?


(Mandalawangi, akhir 2018)

You Might Also Like

0 Comments