Pengembara Yang Selalu Pulang





Tidur berbantalkan pahamu membuat air mataku luruh seketika. Jangan tanya kenapa aku bisa tidur di pahamu, atau alasan aku menangis. Sebab, sikap tak biasa ini juga terasa aneh bagiku. Meskipun kau tampak biasa saja. Tanganmu tetap mengelus kepalaku yang semakin dielus, semakin deras pula air mataku. Seolah tanganmu itu sudah membuka kran di mataku. Kau bahkan tidak peduli pada sepasang mata cemburu atau siapapun yang melewati pondokan dan melayangkan pandangan dari pintu yang terbuka itu.

Ini sungguh memalukan. Bagaimana bisa, aku memunculkan sisi lainku di hadapanmu? Rasanya, aku tidak sanggup mengangkat wajahku! Ah, aku menangis saja. Mumpung ada dirimu yang selalu memperingatkanku agar tidak menangis sendirian.

Ya, aku menangis saja hingga aku tidak memiliki alasan untuk tidur berbantal pahamu. Karena setelah itu, aku bisa bangun dan bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Meskipun, saat hal itu terjadi, aku harus berusaha mengalihkan padangan agar tidak beradu tatap denganmu. Malu!

"Duduklah di hadapanku dan punggungi aku," kau tersenyum simpul sembari menepuk lantai kayu yang kita duduki. 

Aku segera beringsut, patuh. Tanganmu kemudian menempel di punggungku. Tak lama berselang, aliran hangat yang tipis mulai terasa menembus celah pakaian dan menelusup masuk pori-poriku. Semakin lama, kehangatan itu mulai terasa semakin memanas. Ada dorongan kuat untuk memuntahkan seluruh isi perutku. Sekali kucoba memuntahkannya, tapi hanya muntahan kosong saja.

Kehangatan itu mulai menipis dan menipis kemudian hilang saat tepukan halus terasa di pundakku.
"Berbalik," ujarmu. Kubalikan badan tanpa membuka mata. "Buka mata dan perhatikan," ujarmu lagi.
Kubuka mata pelan-pelan. Kulihat tanganmu tampak terjulur beberapa centi saja dari dadaku.

"Lihat baik-baik," ujarmu sembari menatap telapak tangan. Ada 3 sulur cahaya serupa benang keluar dari telapak tanganmu dan saling berkejaran menembus dadaku. Ada rasa tertusuk jarum di tempat sulur cahaya itu masuk. Benang-benang cahaya itu masuk, seperti hendak menjahit luka-luka sebelumnya. 

Kau menyelesaikannya dengan memberi simpul di akhir prosesi itu. "Tidak perlu heran," ujarmu seraya mengerling. "Sudah aku ingatkan untuk lebih berhati-hati, kan?" Aku hanya bisa menyeringai saja. Bagaimana bisa lupa? Kau selalu mengulang kalimat yang sama di setiap akhir perbincangan kita.

"Sini, aku beri obat paling mujarab," ujarmu seraya merentangkan tangan mengajakku masuk ke pelukanmu. Tanpa diminta dua kali, aku masuk ke dalam dekapanmu. Kau menggumamkan kalimat yang tak begitu jelas di telingaku. 

Barangkali mantera pelipur lara?

Setelahnya, kita beranjak dan beriringan keluar. Di luar, matahari sudah mulai condong ke Barat. Seseorang mendekat dengan membawa tas dan perlengkapanmu.

"Aku pergi dulu, ya." Pamitmu. 

Aku mengangguk, meski rasanya sulit untuk berpisah. Apalagi kepergianmu ini pasti tidak hanya sebentar. Entah kapan akan bertemu lagi. Tapi, aku yakin, jika sudah waktunya bertemu, pasti bertemu lagi. Toh, kau akan selalu kembali, bukan?

"Hati-hati di jalan," ujarku.
"Ingat, jangan menangis sendirian...," Matamu mengerling.
"Eiy! Sana pergi! Nanti keburu sore," Elakku di antara rasa malu.
"Hahaha. Iya. Hati-hati di rumah, ya." pungkasmu seraya menjulurkan tangan. Kucium punggung tanganmu sejenak, sebelum kau menarikku ke pelukanmu dan membubuhkan kecupan di pucuk kepalaku.

You Might Also Like

0 Comments