Menyapamu Sekali Lagi



Sekali lagi, aku tak berhasil menulis kata apapun untuk menyapamu. Tanganku mendadak tremor, dan kepalaku turut diserang migrain, adalah alasan lain untuk tidak melanjutkan. Entah berapa kali tanganku menghapus kalimat di layar ponsel dan membuat kalimat lain lagi yang terasa pantas, untuk kemudian kuhapus lagi. Hingga hanya tersisa kedip garis hitam di layar yang seolah bertanya: "kalimat apa lagi yang akan kau buat? Berapa lama aku harus menunggu?" Dan sialnya, aku selalu mengakhirinya dengan menghempaskan ponsel ke tempat tidur.
         Dahulu, saat-saat seperti ini--berhenti sebelum menyapamu, adalah bagian dari 'kesadaran diri'. Sebab apa aku harus menyapa? Demikian pertanyaan yang menghentikanku. Tapi, saat ini, aku rasa itu konyol. Bukankah saling sapa bisa dilakukan siapa saja? Diacuhkan atau tidak, tak jadi soal. Hanya saja, saat ini atau dahulu, perasaan menjadi bagian paling memusingkan. Perasaan ingin dipedulikan, ingin dibalas dengan kadar rasa yang sama dan lainnya.
      Setiap orang pasti pernah berharap demikian, bukan? Maksudku, mendapat balasan atas apa yang dirasakan. Jujur saja, aku pun masih sering membungkam diri untuk hal itu. Meski keinginan menemukan saat yang tepat untuk berkata: 'oh, aku selesai untuk persoalan yang menyangkut perasaan', masih menyala di sini.
   Kadang, bahkan setiap letupan-letupan macam ini terjadi, kita diserang ketidaksabaran untuk mengatakannya sehingga ketika pada akhirnya tak ada yang tepat--seperti dalam bayangan, kita kecewa. 
    Pada tahap ini, aku rasa, kita memang tidak bisa terlalu mengharapkan apapun. Berharap bertemu seseorang yang kita rindu, misalnya. Belum tentu ia memiliki banyak waktu untuk bertemu. Bahkan mungkin saja, waktu untuk merindukanmu juga tidak ada. Bahkan, memikirkanmu saja, hanya memikirkanmu, ia tidak memiliki waktu. Kau tahu maksudku, bukan? 
     Kepergian? Setiap orang memiliki alasannya masing-masing. Aku percaya itu. Bahkan kepergian tanpa sebab sekalipun. Aku dan mungkin kamu dan banyak orang lainnya, sering menginginkan alasan itu untuk mematenkan diri bahwa tidak ada kesalahan apapun yang membuatnya seperti itu. Tapi, percaya atau tidak, sesuatu seperti itu akan berulang. Entah menimpa aku, atau dirimu.
       Aku sedang memilih nada tawa sekarang. Bukan untuk menertawakanmu atau siapapun. Aku sedang sibuk menertawakan diriku dan semua keputusan-keputusanku. Sebab aku tetap merasa tidak perlu menyakiti siapapun. Bahkan orang yang telah menyakitiku sekalipun.
      Malam ini, di bawah padang bintang, aku menyapamu sekali lagi. Bukan sebagai kenangan yang selalu mereka katakan, bukan pula sebagai luka dari banyak kehidupan. Tapi sebagai salah satu cahaya yang jatuh di tempat yang sesungguhnya. Jadi, selamat pagi. Semoga kebahagiaan selalu bersama seluruh makhluk di semesta, niscaya.


You Might Also Like

0 Comments