utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact

* Catatan Dewan Juri


Kami menerima 220 cerpen. Sebagian besar cerpen tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Bahasa Indonesia sebagai media penulisan sastra belum sepenuhnya didayagunakan. Di sana-sini masih kami temukan kesalahan penulisan ejaan, pemilihan kata, logika kalimat, hingga struktur kalimat yang kendor dan berbelit-belit. Masalah ini tentu saja masalah yang bisa diatasi oleh mereka yang telah paham tata bahasa, dan lebih dari itu, mereka yang percaya bahwa bahasa Indonesia bisa menjadi media terbaik untuk penulisan sastra.
Tetapi itu barulah separuh kebenaran. Separuhnya lagi adalah keterampilan menulis sastra itu sendiri. Keterampilan ini mungkin dipengaruhi oleh bakat, tetapi kami lebih yakin lagi bahwa semua ini dipengaruhi oleh disiplin membaca dan kemampuan memperluas wawasan kesusastraan. Tentu saja Indonesia adalah sumber yang melimpah untuk penulisan sastra, sebagaimana negeri-negeri lain yang tak kalah menggoda. Tetapi itu hanya berguna bagi mereka yang benar-benar paham dan mengetahui bagaimana mengolah kekayaan sumber daya itu.
Kedua keterampilan ini pada akhirnya mesti dikuasai oleh para penulis sastra kita. Sebab jika tidak, mereka hanya akan mengandalkan bakat alam yang pada akhirnya akan aus dan habis karena dieksploitasi terus-menerus tanpa mencari cadangan pengetahuan atau wawasan di luar dirinya. Memang, kami rasakan betapa kuatnya hasrat untuk mengandalkan bakat alam semata. Tindakan ini sama dengan mengambil begitu saja bahan cerita dari sumber ciptaan tanpa melakukan pencanggihan atau mengerjakan keterampilan untuk bahan tersebut.
Banyak kami jumpai, misalnya, penulis yang mencoba menulis cerita horor dan melodrama dari kehidupan kita sehari-hari. Tetapi mereka kerap kali tidak bisa mengontrol bentuk yang sudah mereka pilih, sehingga bentuk itu berkembang tanpa kendali dan menjadikan cerita yang jauh dari harapan. Jika tokohnya tidak realistis, lantaran hanya menjadi corong si pengarang, pasti dunia rekaan itu dijejali dengan aneka keajaiban peristiwa tanpa mampu mendudukan keajaiban itu pada tempat yang wajar.
Banyak pula cerpen yang mengambil latar dan tokoh yang unik. Misalnya,  ada tokoh yang bertenaga kinestetik dan mengidap skizofernia. Sementara di cerpen lain ada kyai yang bertemu Nabi Khidir, di samping tokoh yang berupa dinding dan api. Yang sureal dan absurd  memang banyak digarap dalam lomba ini. Seakan-akan si pengarang percaya bahwa Indonesia adalah lahan subur surealisme dan absurditas, yang berbeda dari jenis yang digarap para pengarang di Eropa pada dasawarsa awal abad ke-20. Sayangnya, keganjilan atau keajaiban yang sudah dipilih ini tidak dirawat dengan telaten, dengan kepiawaian yang membuat pembaca menerimanya. Cacat-cacat pengisahan ini akhirnya membuat cerita tersebut “batal demi hukum” dan hanya jatuh pada keanehan dan keganjilan yang dibuat-buat.
Sebagian besar cerita juga masih berupa kerangka cerita yang lebih panjang. Sang pengarang hanya memadatkan struktur yang mestinya bisa diurai lebih luas dan panjang lagi demi mendapatkan cerita yang rinci dan masuk akal. Di sana-sini banyak plot yang renggang dengan kisah yang terjebak pada stereotipe dan kisah romansa remaja.
Kelemahan-kelemahan ini bisa diatasi dan kami berharap masih ada peluang untuk memperbaikinya. Tetapi, bukanlah tugas perlombaan ini untuk memperbaiki mereka. Mungkin perbaikan ini bisa dilakukan pada sebuah lokakarya atau workshop dalam jangka waktu tertentu. Sebab sejatinya, sebuah perlombaan hanya menerima karya yang sudah dianggap selesai dan penjurian bukanlah forum untuk membereskan ketidaksempurnaan sebuah karya. Yang bisa dilakukan oleh proses penjurian adalah memberikan catatan kritis atas hasil karya yang masuk, dengan harapan catatan itu menjadi bahan pertimbangan si pengarang. Tetapi itu tidak wajib hukumnya, semuanya kembali kepada si pengarang: Apakah ia akan menjadikan catatan penjurian sebagai cermin yang merefleksikan keterampilannya dalam menulis sastra ataukah itu hanya sebentuk seruan tukang obat pinggir jalan.
Di antara banyaknya masalah yang merundung penulisan cerpen peserta lomba, kami menemukan satu-dua penulis yang cukup berbakat. Memang bahasa Indonesia yang mereka gunakan belumlah sempurna, tetapi tampak dari cerita itu potensi yang besar, yang jika dengan ketekukan akan terlihat hasilnya di masa datang. Kami juga menemukan cerpen-cerpen yang cukup kuat untuk menjadi cerita dan bisa membetahkan kami dalam menjuri mereka. *)
Dengan berbagai pertimbangan di atas, kami akhirnya mengambil keputusan sebagai berikut (urutan sesuai abjad):
1.      A’yat Khalili ♦ “Nemorkara” (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Madura)
2.      Ai El Afif  ♦ “Masappa Tappa” (Universitas Muhammadiyah Malang)
3.      Ari Mami ♦ “Manusia Sayap ke-222” (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
4.      Ashari Ratnasari ♦ “Waktu untuk Menerima” (Universitas Airlangga Surabaya)
5.      Gilang Satria Perdana ♦ “Khafilah Kanaan” (Universitas Indonesia Depok)
6.      Hana Eka Ferayyana ♦ “Senja yang Terluka” (Universitas Diponegoro Semarang)
7.      Ilham Mahendra ♦ “Balonku Ada Lima” (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
8.      Ismailia Jenie ♦ “Barongsai” (Universitas Padjadjaran Bandung)
9.      Larno ♦ “Panggil Aku Gemblak” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
10.  Lelita Primadani ♦ “The Owl Promise” (Universitas Diponegoro Semarang)
11.  Mawaidi D Mas ♦ “Angin Kematian” (Universitas Negeri Yogyakarta)
12.  Mirani Dyah Claresti ♦ “Pada Pinggang Bajumu” (Politeknik Manufaktur Negeri Bandung)
13.  Nafi Nayka ♦ “Bon Blangtelon” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
14.  Nurul Maria Sisilia ♦ “Kucing-kucing dalam Karung” (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)
15.  Rahmadyah Kusuma Putri ♦ “Beli Mimpi”  (Universitas Negeri Medan)
16.  Royyan Juliani ♦ “Perjamuan Sunyi” (Universitas Negeri Malang)
17.  Salimun Abenanza ♦ “Seikat Benang” (Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN Yogyakarta)
18.  Septantya Chandra Pamungkas ♦ “Denting yang Meninggalkan Gelas-gelas Sirup pada Suatu Malam ketika Mereka Terbunuh” (Universitas Brawijaya Malang)
19.  Sulfiza Ariska ♦ "Sarkovagus” (Universitas Terbuka, Yogyakarta)
20.  Teguh Afandi ♦ “Dari Tenggara Juana” (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)


Ditetapkan di Jakarta, 09 Oktober 2012


Dewan Juri


Nenden Lilis Aisyah
Raudal Tanjung Banua
Zen Hae


*) Keterangan: Catatan dewan juri ini tidak kami (panitia) tayangkan secara utuh. Untuk informasi pengumuman pemenang, 20 nomine akan dihubungi langsung oleh panitia baik lewat e-mail maupun telepon.

Sumber: http://ukmbelistra.blogspot.com/2012/10/pengumuman-nomine-sayembara-menulis.html
  • 0 Comments



Telah lama kutelisik sutra pada tubuhmu yang lunta.
Menerka tiap jengkal benang jingga yang kau kusut.
"Adakah atau tiadakah?"
"Tiadakah atau adakah?"
Hingga pada akhirnya bibirmu mengucap nama,
mencurah kisah yang membakar semua tanya.
 "Tak ada!"

Kini, pada matamu yang serupa malam,
kuterka, kuncup asing menjelma cahaya 
yang semikan kembali ruas-ruas harapku
O' Akankah,
akankah pucukpucuknya menuai bimbang pada hati yang tiga?
"Ah, Cinta!"

05:30 Pagi, Serang-Pandeglang 09-04-2012
  • 0 Comments


adakah yang lebih sakit dari pada tatap berbalas paling?
mata mengatup redup seperti putri malu 

terinjak gembala bertelanjang dada yang menyusul matahari pulang ke kandang
—bayangan berlompatan ke sudut terjauh matamu
adakah yang lebih sakit dari pada kasih hanyalah angan?
satu, dua, daun lepaskan diri dari reranting, melayang gontai
menetap di tanah bertelapak jejak kaki yang sisakan apatah
: sampaikah resah ini pada laju pungungmu yang menjauh?

Adakah yang Lebih Sakit. (Kabel, September 2012)
  • 0 Comments



Barangkali, pada akhirnya semua yang dirasa, dan yang terasa, akan tetap menjadi percuma. Jika tak ada kata yang jelas mengenai apa yang dirasa, dan yang terasa dari orang yang bersangkutan, dan bukan kata dari orang yang tidak bersangkutan. Kata. Adalah hal mutlak. Semacam hukum yang tak bisa diganggu gugat lagi. Sekali lagi, dari orang yang bersangkutan, bukan dari orang yang tidak bersangkutan sama sekali. Meskipun, beberapa kali, aku menyangkal jika kata adalah hal yang sangat penting untuk menyatakan apa yang dirasa, dan terasa. Karena menurutku, hal-hal semacam itu bisa tampak dari sikap dan laku seseorang. Dan anggapanku itu mungkin salah. Karena aku hanya bertindak jadi cenayang dengan bantuan kartu 'kemungkinan'. Namun, aku senang dengan getaran-getaran yang menyertainya, ya, terkadang membuatku pening sendiri juga. Aku senang dengan hal-hal yang tidak langsung.
Dan ketika aku menulis ini, signal kamu di kepalaku betul-betul sedang full. Dan ini membikin sakit di kepalaku (aku sudah minum obat, terima kasih).
  • 0 Comments





Sudah hampir pukul 17.00 WIB ketika aku melirik penanda waktu di sudut kanan laptopku. Mataku kemudian beralih ke dua benda yang masih terbuka di atas kertas pembungkus, beserta secarik kertas yang belum kutulisi. Kuhela nafas yang tiba-tiba terasa sesak. Apa yang akan terjadi? Bagaimana reaksinya nanti? Pertanyaan itu berkali-kali mendengung di pikiranku yang kemudian diberikan jawaban oleh hatiku dengan beberapa poin penilaian; terburuk, dan terbaik. Terburuk, dia membuangnya, meletakannya begitu saja tanpa disentuh sedikit pun, atau mengembalikannya padaku. Terbaik, dia tersenyum padaku meskipun di sana aku tak menyertakan namaku, langsung memakainya dan mengirimiku sms mengucapkan; 'terima kasih'. Ah, ah. Bila itu terlampau muluk, dengan hanya memakainya saja sudah cukup.
Kuhembuskan nafas beberapa kali, kemudian merentangkan tangan, dan mengeliatkan badan. Sedari pagi hanya duduk saja di depan laptop, rasanya tubuh ini protes. Segera kubungkus benda itu. Tak berapa lama, aku pun sudah siap mengunci pintu kamarku dan pergi ke agen pengiriman barang tercepat. Barangkali, itulah barang tercepat yang akan kukirimkan padamu, Kay. Karena ketika aku bersitatap dengan petugas di tempat itu, dan menjelaskan inginku, ia pun tampak bengong menatapku. Barangkali di kepalanya ia mengatakan: 'Perempuan gila, tempat pengiriman di samping kantorku juga. Kenapa harus memakai jasa kantorku. Selain itu, harus jam ini pula dikirimkan.'
Namun, karena ia melihat wajahku yang memelas, juga tatapan Shinchan yang kutampakkan, akhirnya ia menyetujui sembari mengatakan: "Oke, tapi ini tidak masuk ke list barang yang dikirim hari ini, ya. Ini personal saja. Silakan berikan paketnya ke mas yang di sana, dan bayar dia saja."
Haha.. Hal gila lainnya yang aku lakukan untukmu, Kay... Tolong diingat.
  • 0 Comments



Tontonan langit saat senja baru saja usai. Aku masih duduk diam di atas balkon kontrakanku. Tak hirau apa pun. Bahkan secangkir kopi yang semenjak tadi menemaniku pun ku biarkan saja mendingin. Mataku kosong menatap gelap dengan tangan memeluk lutut. Dari sudut mataku terasa ada air yang menganak di kedua pipiku. Aku tak tahu apakah air itu masih bening atau telah berubah merah karena hatiku terasa berdarah.
“Sepi itu teman kamu, Sya. Ayolah bangun! kamu pasti bisa hidup sendiri, biasanya juga bisa, kan?” rintihku.
Hari ini tepat tanggal 5 Agustus. Kembali aku mengucapkan kata yang sama setelah sekian lama aku tidak mengucapkannya. Tepatnya sejak sebulan lalu tatkala bang Davi tiba-tiba mengunjungiku, dan membawa kabar tentang Randy yang membuat seluruh ragaku berubah warna.
Adalah Rendy, seorang lelaki yang sangat aku banggakan, yang membuatku seperti saat ini. Ia kekasihku. Ah, patutkah aku menyebutnya kekasih? Bila ternyata ia telah menorehkan luka pada seluruh bagian tubuhku, hingga luka itu terasa menembus tulangku?
Air mata terus mengalir dari bibir sumur mataku. Namun tak menghalangi ingatanku pada saat ketika pertama kali bang Davi mengunjungiku, tepatnya tanggal 5 Juli lalu pada suasana sore seperti saat ini. Tidak biasa, itulah tanggapanku ketika kulihat Honda Civic abu-abu miliknya memasuki pelataran rumah kontrakanku. Ia turun dari mobilnya dengan pakaian yang tidak biasa pula, baju batik coklat dipadu celana katun hitam terlihat sangat pantas di tubuh jangkungnya. Kunjungannya ke kontrakanku pun tidak biasa, mengingat selama ini aku hanya mengenalnya di tempat biasa Rendy dan teman-temannya menghabiskan waktu bersama. Walau sudah dekat, namun ia belum pernah sekalipun mampir ke kontrakanku ini.
“Hallo, bang! Apa kabar?” sambutku.
Bang Davi tersenyum.
“Emh, baik. Oh, ya, bisa ngobrol bentar, Sya? Kamu libur kerja, kan?” ujar bang Davi dengan raut setengah dipaksakan.
Aku mencoba tersenyum untuk mengalihkan perasaan tak enak yang tiba-tiba saja menggantung di ulu hatiku. “Tentu saja boleh, bang? Kebetulan lagi suntuk juga, nih! Yuk, ikut ke atas,” ajakku.
Tanpa menjawab bang Davi mengikutiku, dan balkon inilah yang menjadi tempat pilihanku.
“Jangan repot-repot, Sya! Keluarin aja yang ada,” seloroh bang Davi ketika aku sibuk mengambilkannya minuman.
Aku tertawa saja saat itu, tapi tetap saja perasaan tak enak itu masih ada dalam benakku. Ada apa? Pertanyaan itu pun terus menguntitku.
“Dari mana, bang? Tumben banget rapi? Emang ga’ kerja hari ini?” tanyaku sambil meletakan gelas berisi air putih di meja. Bang Davi tertawa mendengar pertanyaanku yang bertubi-tubi itu. Aku pun tertawa.
“Udah mirip wartawan, ya?” komentar bang Davi sesaat setelah tawanya reda. Aku diam, bang Davi pun diam. Aku merasa suasana saat itu benar-benar tidak enak, walaupun bang Davi mencoba membuat suasananya seperti biasa.
“Oh, iya, bang. Aku mau tanya boleh ngga?” tanyaku.
Bang Davi terlihat menganggukan kepala.
“Bang Rendy pindah tugas, ya? Kok, akhir-akhir ini sulit banget di hubungi?” tanyaku. Bang Davi menatapku dengan tatapan yang sulit kutebak maknanya. Tiba-tiba tangannya terjulur ke arah kepalaku. Di elusnya rambut sebahuku itu, aku diam sambil menatap wajahnya.
Aku dan Rendy berkenalan di sebuah seminar yang diadakan PWI di Anyer, lima bulan lalu. Kedekatan yang benar-benar dekat, atau istilah kerennya sih cinta pada pandangan pertama. Kami memutuskan untuk berpacaran saat itu juga. Dan akhir-akhir ini dia susah untuk dihubungi, aku mengerti, pekerjaannya sebagai redaktur salah satu koran nasional pasti telah menyita waktunya. Tapi, apakah wajar jika ponselnya juga selalu tidak aktif?
“Emh, ada kok, ini aku baru nemuin dia. Tapi…….” Bang Davi tidak meneruskan ucapannya. Aku menunggu kelanjutan ucapannya dengan perasaan tak menentu. “Sya, kamu ingat kata-kataku dua minggu yang lalu di café Fun? Aku berkata seperti ini; jangan pernah lari dari takdir, walau apapun yang menimpa hidupmu. Hadapi saja dengan senyuman termanis yang kamu punya,” sambungnya. Aku semakin tidak mengerti maksud ucapannya itu, rasa penasaran pun semakin besar saja. Namun aku terus mencoba diam, untuk mencerna semua ucapannya.
“Mungkin takdir itu saat ini mengarah pada kamu, tapi tenang saja jalan kamu masih panjang, Sya! Kamu masih punya banyak waktu untuk menemukan hari dan hati yang akan membuatmu selalu tersenyum,” bang Davi diam sejenak. Ia terlihat menelan ludah. Aku masih diam, tapi aku tahu sesuatu yang sedari tadi kurasakan tak enak itu adalah hal yang belum kuketahui.
“Rendy itu sosok lelaki yang baik, namun di luaran sana masih ada lagi Rendy yang lain yang jauh lebih baik dari Rendy yang kamu kenal saat ini….”
“Langsung ke pokok permasalahannya aja, bang!” potongku dengan sedikit keras. Terus terang aku pun kaget dengan ucapanku itu.
“Rendy, dia…. Dia akan menikah bulan depan, aku, aku baru saja menghadiri acara pertunangannya,” ujar bang Davi setengah bergumam.
Aku langsung menutup mata, tanpa sadar aku menjambak rambukku sendiri. Tubuhku terasa lemas. Ini jawaban perasaan tak enakku? Inikah? erang bathinku. Bang Davi meremas pundakku dan untuk pertama kalinya aku menangis di hadapannya. Bang Davi memelukku tanpa bersuara, hanya hembusan nafas beratnya saja yang terdengar.
“Kenapa? Kenapa dia tidak memberi tahu langsung? Kenapa dia langsung pergi? Kenapa, kenapa?” erangku di sela isak.
Pertanyaan itulah yang sampai detik ini menggantung di dinding hatiku. Sebentar lagi bang Davi menjemputku untuk pergi ke resepsi pernikahan Rendy. Aku belum menemukan jawabannya. Aku memang sedikit memaksa bang Davi agar ia mau mengajakku ke resepsi itu, karena sebenarnya aku memang tidak diundang.
“Salsya? Kamu di sini?” sebuah suara milik bang Davi tiba-tiba terdengar di belakangku. Bersamaan dengan suara langkah yang mendekat, kusapu air mata di pipi yang terasa mulai tirus ini. Bang Davi langsung menghadiahiku belaian pada rambut kusut yang tak lagi mengenal sisir itu, air mataku kembali luruh. Tangan kekarnya terus mengelus kepalaku dengan lembut. Tak ada suara lain selain isakku.
“Lebih baik, kamu jangan ikut aku, ya?” bang Davi kembali melarangku untuk tidak ikut dengannya, ketika aku sudah mulai tenang. Kutepis tangannya yang masih mengelus kepalaku.
“Tidak! Aku harus ikut, kalau memang abang tidak mau melihatku sedih, biarkan aku ikut!” ujarku sinis.
“Tapi, sya, badan kamu itu butuh istirahat! Lihat lingkaran hitam di mata kamu itu, kamu pasti selalu begadang. Lihat, betapa kurusnya badan kamu!” ujar bang Davi memberi alasan.
“Tidak, pokoknya aku harus ikut! Aku ingin tahu reaksi dia bila melihatku di sana. Aku ingin dia tahu, betapa sakitnya aku karena dia! Aku ingin menghukum dia dengan kedatanganku, aku ingin…….”
Aku tak kuasa berkata lagi, karena dadaku begitu sesak menahan isak. Bang Davi memelukku, tangan kekarnya lalu membantuku bangun, dan menuntunku ke arah kamar tidur.
“Gaun kamu di mana?”tanya bang Davi setelah kami sampai di kamar. Aku menunjuk lemari berpintu tiga. Beberapa kali bang Davi menunjukan gaun pestaku. Namun aku menggeleng, dan tepat pada gaun kelima aku baru mengangguk. Gaun berwarna hitam pemberian Rendy, itulah yang aku pilih. Tak lama kemudian, kami pun keluar.
“Kita ke salon dulu, ya? Biar wajah kamu tidak pucat seperti ini,” ujar bang Davi sambil menancap gas. Aku tahu perasaan bang Davi pasti tidak enak, karena telah mengijinkanku pergi. Tapi, aku benar-benar ingin tahu reaksi Randy saat melihat kedatanganku.
“Sya? Yuk!” ajak bang Davi sambil membuka pintu mobil. Aku tak ingat kapan bang Davi memarkir mobilnya di depan Dev’ Salon.
“Tunggu sebentar,” ujar bang Davi setelah kami masuk ke salon itu. Ia lalu pergi menghampiri seorang wanita dengan rompi hitam di atas kemeja putihnya itu. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas setelah bercakap-cakap dengan bang Davi wanita itu menghampiriku lalu membawaku ke sebuah ruangan yang penuh peralatan rias. Beberapa menit kemudian aku pun dibawanya kembali ke ruang tunggu, di mana bang Davi menungguku.
“Seperti ini, kan?” ujar wanita itu sambil tersenyum. Bang Davi mengangguk, lalu setelah mengucapkan terimakasih kepada wanita itu kami pun pergi.
“Senyum dong! Biar kamu tambah cantik,” ujar bang Davi di setengah perjalanan kami. Aku mencoba tersenyum untuk menyenangkan bang Davi. Dan ia meremas jemariku ketika kami sampai di gedung tempat resepsi berlangsung.
“Bang, aku harus bagaimana?” tanyaku setengah berbisik.
“Senyum, tersenyumlah,” jawab bang Davi setengah berbisik pula.
Kedatangan kami disambut tatapan mata seluruh tamu. Bahkan di beberapa sudut terdengar bisik-bisik tidak jelas. Aku tahu mereka membicarakanku. Aku tahu mereka itu adalah orang-orang yang tahu bagaimana hubunganku dengan Rendy. Mungkin ada di antara mereka yang tengah mengasihaniku.
Bang Davi langsung menggandengku menuju tempat di mana kedua mempelai berada, diiringi tatap ratusan tamu.
Adalah di sana, di atas pelaminan Rendy berada dan bersanding dengan wanita yang kini telah memilikinya. Ia terlihat begitu tampan dengan balutan jas hitam bertahtakan sejumput kembang didada kirinya, sedangkan pengantin wanita terlihat anggun memakai gaun putih dengan hiasan manik-manik menyerupai mutiara di sekujur tubuhnya, dan mahkota kecil yang bertengger manis di atas kepalanya. Seharusnya yang memakai gaun itu, aku! jerit bathinku. Bang Davi meremas tanganku yang dingin. Aku menatapnya sejenak. Ia mengangguk untuk meyakinkanku. Randy sepertinya tidak melihat kedatangan kami, ia terlihat tengah bercanda dengan pasangannya. Akh! Ada larva panas menjalar ke jantungku yang koyak. pedih!
“Hai, Bro! Selamat, ya!” terdengar bang Davi menyapa Rendy yang masih belum sadar atas keberadaan kami.
“Oooow! Haiii, Dav! Akhirnya tamu agung datang juga, sama sia….”
Rendy tak kuasa meneruskan kata-katanya tatkala matanya menubruk sosokku. Tawa bahagianya seketika hilang. Rautnya seketika memucat, jelas kulihat Rendy terkejut melihat kedatangan kami. Mulutnya terlihat komat-kamit hendak mengucap kata, tapi tak satupun kata itu keluar dari kerongkongannya. Berkali-kali kulihat ia menelan ludah, bintik-bintik keringat jelas di dahinya. Padahal ruangan saat itu terasa dingin olehku, bahkan suasananya pun terasa dingin. Dari sorot matanya aku tahu ia hendak mengucap maaf, maaf untuk apa? Terlambat! Tak kau lihatkah tubuhku yang compang-camping akibat luka yang kamu torehkan?
Aku tersenyum semanis biasa saat bersalaman dengannya. Seperti senyuman yang kuberikan saat aku menjawab ‘ya’ atas ungkapan cintanya. Dan kini, senyuman itu pun aku berikan padanya walau camping hatiku olehnya.
“Terimakasih atas semuanya. Semoga kebahagiaan selalu menyertai harimu,” bisikku dengan nada sedikit gemetar sambil mencium pipinya. Aku tersenyum dalam gelap yang tiba-tiba menyentuh jarak pandangku. Aku tersenyum dengan air dari sumur mataku yang membuncah tanpa mampu aku cegah. Aku tersenyum, gelap, dan roboh. (*)


*Harian Umum Radar Banten: cerpen pertama yang nangkring di sana. :D*
http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=18222
  • 0 Comments


Benarkah ikan mas bisa berbicara pada manusia? Rasanya itu mustahil. Hanya burung beo yang aku tahu bisa berbicara, itu pun biasanya mengulang kata-kata yang diajarkan oleh si empunya beo. Namun, suamiku mengaku bisa mendengar, dan berbicara dengan si ikan mas di akuarium kami. Ketidakbiasaan itu bermula ketika ia terserang sakit panas, dan sembuh setelah meminum ramuan rendaman nasi dicampur gula buatan mertuaku.
Awalnya aku kira itu hanya halusinasi dia saja yang terbawa dari sakit panasnya. Namun, ritual berbincang dengan si ikan mas itu terus saja ia lakoni hingga sekarang. Aku sering melihatnya duduk-duduk dekat akuarium, berbincang, dan tertawa sendiri. Setelah kudekati, ia mengaku sedang berbincang dengan si ikan mas.
 Hebat? Tapi, tidak masuk akal. Coba saja pikir, ini bukan jaman Prabu Angling Darma yang katanya bisa mendengar perbincangan cicak saat ia sedang berbaring bersama Permaisurinya. Lalu, apa yang terjadi jika aku terus mendesak suamiku untuk mengetahui semua ucapan ikan itu? Apa aku harus terjun ke dalam api seperti si Permaisuri, karena katanya, ia terus memaksa Sang Prabu memberitahunya perkataan cicak itu, dan hal itu melanggar aturan dewa?
Ah! Tentu saja itu hanya dongeng.
* * *
Sudah hampir tiga bulan suamiku berkelakuan seperti itu. Sebelum sakit panas, ia memang di PHK, dan hingga kini belum mendapat pekerjaan lain, selain duduk-duduk dan berbincang dengan si ikan itu. Bahkan, menurut laporan pembantuku, Mbok Rah, suamiku juga ngendika dengan tembelek, alias berbicara dengan kotoran!
Selain itu, ia juga mulai meracau bahwa selama ini aku selingkuh dengan bosku. Ia tahu semua itu dari si ikan, pohon-pohon, rumput, dan juga angin yang mengabarkan.
Sialan!
Setelah kuceritakan pada rekan sekantorku, Tari, dia malah tertawa terbahak-bahak. Dengan sangat enteng, ia malah menganjurkanku menggoreng ikan itu saja. Meskipun dengan nada bercanda, aku rasa dia ada benarnya juga.
Dan akhirnya, malam itu tanpa pikir panjang atau bahkan mempedulikan perasaan suamiku lagi yang tampak sudah terlelap, aku bersijingkat mendekati akuarium. Dengan pelan, kukeluarkan ikan mas itu dari sana, lalu membawanya ke dapur.
Kutatap ikan yang mulai lemas itu, mulutnya tampak megap-megap tanda ia nyawanya belum hilang. Kau tentu bukan kembaran ikan mas dalam cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, kan? Gumamku sembari meniliknya. Ikan itu megap-megap, dan tidak mengatakan apa-apa. Kuambil pisau untuk merajahnya, ia tetap tidak berkata ‘ampun’ maupun kata lainnya. Hingga akhirnya matang pun, ikan itu tetap tampak seperti ikan biasa.
Ah! Suamiku saja yang gila. Pikirku.
* * *
Inez! Inez!
Teriakan seseorang yang memanggil namaku itu membangunkanku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Suamiku tampak hilir mudik tak jauh dariku. Pakaiannya tampak lain dari biasanya, lebih terlihat rapi seperti hendak ke kantor. Mungkin tanpa sepengetahuanku, suamiku telah mencari pekerjaan baru selain berbincang dengan ikan masnya. Aha! Tentu saja ia akan melakukannya, toh, ikannya sekarang sudah menjadi pengisi perutku.
Namun, kenapa sekelilingku terasa asing, dan tubuhku terasa lain? Duh! Kenapa ini? Aku bahkan tidak bisa melihat kaki, tangan, dan rambutku yang selalu kuurai.  Belum habis keherananku, terdengar suara perempuan asing di dekatku. Suara yang mengatakan bahwa suamiku itu tampan, dan betapa beruntungnya perempuan yang menjadi istrinya. 
Seekor ikan hias tampak anggun berada tak jauh dariku. Aku mundur seketika. Ikan? Bisa berbicara? Jadi benar apa yang selama ini diucapkan suamiku?
“Krrk...nyssssttt...blzzzzz...glup..glup..ssszzzttt...”
Ikan itu terus saja mengajak bicara. Ia mengatakan bahwa ia baru kemarin dipindahkan ke sini oleh lelaki yang hilir mudik itu, suamiku. Dan berbagai hal lain. Termasuk, cerita seorang istri yang mengambil ikan mas kesayangan suaminya, lalu memasaknya di dapur. Hingga akhirnya ia dikutuk menjadi pengganti ikan mas yang telah mati itu.
Gusti!
Aku meratap seketika. Kupanggil suamiku yang masih hilir mudik mencari sesuatu. Mas, aku di sini, mas! Ratapku. Namun, suamiku tetap acuh, bahkan kini ia berjalan memasuki kamar Tri, anak kami, yang terdengar menangis.
“Krrk...nyssssttt...blzzzzz...glup..glup..ssszzzttt...”
Ia tidak mendengar? Tidak bisa mendengar suaraku, dan berbicara denganku?
Aku terus meratap. Baru kali ini aku sangat mengharap ketidakwarasan suamiku itu. Baru kali ini aku sangat berharap ia bisa berbicara dengan ikan. Denganku! *

*** Tafsir bebas dari cerpen Dua Telinga Saya, Rasanya Cukup, Yanusa Nugroho. Tugas Mata Kuliah Menulis Kreatif. Dosen: Ade Khusnul. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2011.
  • 0 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top