Kau Temui Aku


i/
Pada malam, entah malam apa pada penamaan hari, dan angka ke berapa pada tanggal, kamu menemuiku ketika lelah menggantung di pelupuk mataku. Tersenyum seperti sedia kala, dan kita duduk berdua dalam diam seperti biasanya. Kita hanya duduk saja dengan pikiran masing-masing, dan mata yang meneropong ke arah lalu lalang orang-orang. Kita, tidak sendiri. Ada setengah gelas kopi, dan lagu Hujan Bulan Juni bersenandung dalam deret lagu musikalisasi favorit kita. Dan, entah bagaimana, aku begitu saja terbangun dengan sekali hentak, seolah ada tangan gaib yang mencabutku dari sisimu, kala itu.
Nafasku tersenggal kemudian, dan mataku terbuka. Aku di kamarku, sendirian. 

ii/

Pada malam berikutnya, saat aku terhuyung dalam kantuk luar biasa, dan entah bagaimana kemudian aku terlempar pada suatu peristiwa, di mana bau kayu yang terbakar, dan hangat api unggun menyelimutiku yang duduk di dekatnya. Mataku semakin mengatup, kantuk yang ada pada mata sebelumnya, masih menyisa hingga di sana. Kusandarkan tubuhku pada sosok yang berdiri di belakangku; celana pendek berwarna coklat, sandal jepit berwarna hitam, hingga bulu kaki, aku mengenal sosok yang berdiri itu. Kamu. Tanpa ragu, semakin kusandarkan tubuhku, dan semakin lena saja aku ketika tanganmu terbuka meraih kepalaku, dengan usapan halus dalam ritme yang membuai.
Aduhai!
Kurasa ini adalah mimpi. Meski terasa betul lekuk tangan beserta elusanmu. Hanya saja, lorong yang kulalui kemudian semakin pekat. Pekat yang sangat menawan, nyaman.
Namun, pada saat yang lain--hanya seper-sekian menit-- kemudian, tangan gaib meraih, dan menarikku beserta hentak, juga senggal nafasku.
"AKU TAHU ITU MIMPI! Kenapa menarikku sedemikian keras?!" Lolongku dalam diam.

iii/

Pada malam lainnya, kita kembali berhadapan dalam suasana yang sungguh aneh. Kau berpakaian agak aneh, juga perempuan yang menggelantung dengan posisi aneh di lenganmu. Di kepalaku saat itu; 'rasanya aku kenal be-ha yang dipakainya', karena bagian dada perempuan itu terbuka, sehingga bebas betul mataku menatapnya. Dan seperti tersadar aku tengah memperhatikan, kau segera menepis perempuan itu, lalu melambaikan tangan dengan senyuman. Aku membalasmu dengan seringai, dan lipatan di bibir, mengejekmu. Kemudian bergegas masuk ke suatu gedung yang sangat dipercaya keangkerannya, dan katanya di sana sering membuat orang lupa. Tapi karena aku merasa mempunyai kepentingan di dalam gedung itu, aku tetap masuk dan mengidahkan peringatan orang-orang untuk tidak membawa barang-barangku ke dalam. Beberapa jenak aku di sana, aku kembali ke luar, tempat yang tak jauh dari awal kita bertemu. Senyummu tampak berkembang lagi, meskipun saat itu perempuan yang tadi menggelantung aneh itu sudah tidak ada di sana. Aku menghampirimu. Sementara di sekitar mulai terdengar bisik-bisik yang membuatku mengedar pandang ke arah tubuhku. BARANG-BARANGKU! Tas berisi laptop, buku, note book bertuliskan 'Novel by UT (Kenapa note book yang aku dan Pak Arip Senjaya bicarakan bisa kubawa juga?), sepatu, juga ponselku, sudah tidak ada. 'Tertinggal di dalam', begitu kata mereka berulang. Aku menatapmu dengan raut memelas, sementara kau mengerutkan dahi. Aku menggelengkan kepala sembari berbalik ke gedung di belakangku yang tadi kumasuki. Benar saja. Barang-barangku ada di sana, tergeletak seperti ketika aku membukanya. Bergegas aku membereskannya, dan kubawa serta ke luar dari gedung itu lagi.
Bisik-bisik yang sama terdengar lagi.
Kali ini satu barangku tertinggal; sepatu. Aku tidak memakai sepatu!
Aku menatapmu sekilas. Kau masih menunggu di tempatmu. Aku kembali berbalik ke dalam gedung lagi. Sepatuku benar-benar di sana. Segera kupakai, dan kembali ke luar.
Bisik-bisik yang sama mulai berganti riuh. Kupandangi diriku dan mencari benda apa lagi yang tertinggal itu. Laptop. Menyusul kemudian ponsel, note book, dan terus berulang seperti itu hingga aku berteriak memohon padamu untuk ikut mencari ke dalam bersamaku. Kau bergeming ke arahku yang mulai terisak, kesal.
'Yuk kita cari bareng,' katamu sembari menggandengku dengan bebas. Kuusap mata dan mulai berjalan dengan riang seperti sedia kala.
Memasuki gedung serupa gedung theater itu yang awalnya-meskipun angker katanya-tidak membuatku merinding, kali itu suasananya agak lain. Kau seperti membawa pasukan gaib dalam langkahmu yang kemudian menyerbu segala penjuru. Kulihat, satu barang yang tertinggal itu tergeletak di sana. Aku segera menyerbunya, begitu pun dirimu yang seperti hendak mencegahku meraihnya. Tanganmu dan tanganku sama-sama terjulur ke arah benda itu. 1, 2, 3, aku menyentuhnya. Matamu terbeliak, dengan mulut yang bergerak-gerak seolah hendak mengucap suatu kata.
Terlambat!
Kabut entah datang dari mana tiba-tiba menyelimut, beserta tangan gaib yang menghentakku. Nafasku tersenggal, bersamaan dengan terbukanya mata.
Astaga... Apa itu tadi? Gumamku lirih sambil mengatur nafas, dan mengusap kening yang basah.

iv/
'Sudah 3 malam aku mimpi tentang kamu. Apa kamu baik-baik saja?' Kalimat itu aku tulis di pesan pendek, dan segera mengirimnya padamu pada pagi itu.
Siangnya, aku kembali ke kampus. Putik mataku melebar. 'Kamu memang baik-baik saja. Kita juga akan baik-baik saja, iya kan?'

You Might Also Like

0 Comments