Pertemuan Kecil di Keraton Kaibon




Ketegangan benar-benar menyergap saya. Bagaimana segala sesuatu yang mestinya dipersiapkan dengan baik, apik dan teliti tidak begitu mendapat perhatian. Alih-alih perhatian, malah semuanya asyik sendiri. Tugas dan kewajiban yang sudah jauh-jauh hari dibicarakan dan terus diingatkan, seperti tidak dilakukan. Gogodan! Ingin memaki, tapi malas gosok gigi! 

Seusai mengerjakan apa yang mesti dikerjakan di kedai kopi yang saya jajah, saya mengajak seorang kawan yang datang menyusul untuk pergi menepi sejenak. Meskipun ia agak enggan, tapi saya paksa saja karena kepala dan dada saya rasanya hampir meledak. Sebelumnya, tentu saja saya mengajaknya mampir ke tukang kelapa muda di Pasar Lama, Royal. Kemarin, sebenarnya saya ingin menikmati air kelapa muda karena tubuh saya rasanya mulai tidak karuan. Dan air kelapa muda biasanya bisa menetralkan segala ketidaknyamanan di tubuh saya.

Setelahnya, kami menempuh perjalanan 10 kilometer menuju tepian Keraton Kaibon atau Keraton Kaibuan yang berarti bersifat seperti ibu yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Keraton ini dibangun pada tahun 1815 pada masa Kesultanan Banten periode Islam. Keraton ini dibangun untuk ibunda Sultan ke-21, Sultan Syafiudin yang memerintah sekitar tahun 1809-1815. Setelah wafat, kedudukannya digantikan oleh putranya yang berusia lima tahun. Karena itu, untuk sementara pemerintahan diambil alih oleh ibunya, Ratu Aisyah. Konon, setelah Kesultanan Banten dihapuskan pada tahun 1816, keraton ini masih digunakan pada masa pemerintahan Bupati Banten pertama yang didukung Belanda yaitu Aria Adi Santika. Pada tahun 1832, Keraton Kaibon dibongkar oleh Pemerintahan Hindia Belanda dan disisakan berupa pondasi, tembok-tembok bangunan dan gapura keraton saja.

Perjalanan dadakan malam ini berjalan mulus. Di langit, bulan juga sedang bagus. Ada lingkaran 'kuwung-kuwung' yang memudar seiring kendaraan memasuki area Keraton Kaibon. Lampu-lampu yang biasanya menerangi reruntuhan dan taman-tamannya tampak mati. Hanya beberapa lampu saja yang menyala. Selanjutnya, dari keterangan Pak Satpam yang berjaga malam ini, saya tahu bila lampu-lampu itu mati karena konsleting listrik yang terjadi saat air menggenangi area keraton.

Di puing-puing keraton ini, pulang mendapat pengertian lainnya. Perasaan nyaman, aman dan tentram selalu menjegal niat untuk tidak berlama-lama. Tahu-tahu sudah berjam-jam saja berada di area ini. Entah saking asyiknya mengobrol dengan Pak Satpam, atau sekadar duduk di area reruntuhan sembari menatap bulan paro terang di langit sembari melangitkan doa-doa dan menyerahkan segala urusan pada-Nya.

Ah, tentu, maksud dan tujuan kedatangan setiap orang ke tempat ini berbeda-beda. Niat saya saat ini hanya menepi dan menyepi agar segala hal yang membuat kepala dan dada saya seperti mau meledak ini mereda. Tidak ada sakit kepala atau sesak napas. Kenapa sih harus datang malam-malam? kayak nggak ada siang aja. Karena kalau datang ke Kaibonnya siang, judulnya pasti ngumpulin bahan kerjaan. Bukan menepi atau menyepi, cuk.

Begini, setiap orang punya cara sendiri untuk mengurai keruwetan di pikirannya. Baik yang menyangkut urusan pekerjaan, percintaan, maupun persoalan-persoalan hidup lainnya. Tentu saja, cara saya dan caramu berbeda. Bagi saya, menepi dan menepi di tempat yang memiliki vibrasi menenangkan seperti ini adalah salah satu caranya. Karena saya bisa berbincang dengan diri saya sendiri mengenai keruwetan yang terjadi. Ini juga menjadi sesi melepaskan apa-apa yang tidak bisa saya handle. Termasuk mengusir seseorang yang sedang hilir-mudik di kepala dengan kalimat; permisi, saya mau mengerjakan PR, bisa pindah ke hati saya saja? Betah geura.

Karena, jika semuanya bertumpuk di kepala, keruwetan itu pasti akan mengakibatkan sesuatu yang tidak bagus. Persoalan komentar orang lain mengenai apa yang saya lakukan ini, sebenarnya saya malas meladeni. Karena  saat meladeni dengan memberitahunya bahwa anggapannya itu keliru, pasti akan muncul label baru. Entah itu saya terlalu serius, padahal dia bercanda, atau lainnya. Padahal, kalau dipikir ulang lagi, saya rasa dia pun menbutuhkan cara untuk menyembuhkan diri atau melihat ujung pangkal dari keruwetannnya. Hanya caranya saja yang berbeda.

Ah, anggapan orang mah memang seram. Apalagi jika sudah diberi bumbu ini dan itu. Kalau dibandingkan dengan keseraman tempat yang dipercaya teramat seram, seperti di area ini, bagi saya lebih seram anggapan-anggapan liar orang-orang macam itu. Kalau tempat yang katanya sangat seram mah paling apes ya lihat makhluk ciptaan-Nya yang lain. Sementara anggapan orang dengan segala penghakiman yang maha benarnya itu mah bisa membuat seseorang melepaskan nyawa ke alam lain. 

Di Kaibon ini, keseraman itu tidak ada. Hanya ada rasa nyaman, aman dan tentram. Entah kalau siang hari, ya. Dinding-dinding yang terbuat dari batu bata, pasir dan kapur itu tidak mendadak menjelma menjadi Lee Min Ho atau Gumiho*. Semuanya biasa saja. Bahkan, bayangan keseraman yang diceritakan orang-orang itu juga tidak saya temukan. Boro-boro seram, rasanya ingin bawa sleeping bag dan tenda saja untuk rebahan sampai subuh. Tentu saja, itu cuma ingin-inginnya saya doang. Tidak terpikir juga cara untuk mewujudkannya. Bagaimanapun, di lokasi ini ada aturan baku dan tidak bakunya. Karena itu, saya coba mengikuti saja alur yang ada.

Justru lebih aneh lagi kita yang selalu saja mengomentari hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dikomentari. Kita yang tidak pandai mensyukuri apa-apa yang kita miliki saat ini, termasuk memiliki tempat indah yang diwariskan para pendahulu ini. 

Iya, kita; kamu, saya dan mereka. Perjalanan masih panjang dan kita masih diberi waktu untuk memperbaiki apa-apa yang belum baik pada diri kita, pada sekeliling kita, pada Banten. Ah, entahlah. Saya tidak bisa menerka apa yang terjadi esok hari. Walaupun bisa, saya enggan melakukannya juga. Biar saja. Toh, semesta selalu punya kejutan sempurna untuk saya dan kamu, untuk kita.



LOKASI



You Might Also Like

0 Comments