3 Perempuan yang Berdoa

 


Gunung itu berdiri gagah tidak begitu jauh dari warung tempat saya duduk dan ngopi. Puncak gunung itu tampak memiliki belahan dengan kontur pasir. Jalan yang ada di pinggir warung ini langsung terhubung ke jalan di lereng gunung itu. Saya masih duduk di dalam warung, menikmati kopi dan pisang goreng sembari mengobrol dengan kedua teman saya dan pemilik warung. Entah bagaimana, perasaan saya mendadak tidak karuan. Dada terasa pengap tanpa sebab. Karena itu, saya pamit keluar dari warung dan menatap gunung yang bagian puncaknya seperti berparis itu. Tak lama berdiri, terdengar suara gemuruh yang dahsyat diiringi gempa. Refleks, tangan saya memegang tiang warung itu tanpa melepaskan mata dari puncak gunung.

Suasana di sekitar saya jangan ditanya. Semua orang kalut dan keluar dari rumah-rumah mereka. Dari tempat saya, saya melihat puncak gunung itu tampak bergerak dengan kepulan debu yang sangat tebal ditambah dengan batu-batu yang meluncur bebas. Dari sebalik debu itu, tampak sebuah mobil berwarna hitam bergerak cepat mencoba menghindari longsoran. Semua orang yang melihat hal itu langsung berteriak menyuruh menghindar. Saya juga tidak ketinggalan langsung berlari ke tanah yang lebih lapang dan melambai-lambaikan tangan sembari berteriak.

Menghindar!

Awas batu!

Dan teriakan lainnya yang sahut menyahut. Meskipun kendaraan itu terus melaju turun ke arah kami. Begitu pula ketika saya melihat angkutan umum berwarna merah dengan plat kuning di bagian bawahnya. Dari kejauhan, saya melihat angkutan umum itu dipenuhi penumpang. Kembali, suara teriakan terdengar sahut menyahut. Kali ini seolah menuntun angkutan umum itu untuk menghindari bebatuan dan longsoran lain yang berjatuhan dari atas gunung itu. Saat angkutan umum sampai di dekat saya, anehnya para penumpang itu tampak biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.

Saya kembali mengarahkan pandangan ke arah gunung itu. Kali ini, saya melihat kendaraan bermotor yang berusaha melewati rintangan itu. Entah bagaimana, saya langsung melesat ke arah kendaraan yang masih berusaha menghindar itu. Mulut saya terus mengarahkan ke mana ia harus menghindar. Belok kanan, kiri, awas belakang!

Ya, seperti itulah teriakan saya. Hingga sebuah bongkahan batu tampak melayang ke arah pengendara itu!

"Lemparkan dirimu! Biarkan kendaraan itu!" Teriak saya sembari berusaha menangkap bongkahan batu itu. Lelaki itu, si pengendara, mematuhi arahan saya. Ia menjatuhkan diri dari motor dan berguling ke arah belakang saya. Hanya saja, ia tampak linglung saat bangun. Ia berusaha kembali ke arah motornya lagi.

Sial. Gerutu saya.

Lari! Sigap tangan saya menarik lengannya dan menyeretnya ke belakang sebuah batu yang menjorok di pinggir jalan. Terdengar suara bedebum yang keras. Motor yang dikendarai lelaki itu ringsek di bawah bongkahan batu yang tadi hendak saya tangkap.

Setelah saya menghitung hingga tiga, lari ke arah bawah. Bisik saya ke arah lelaki itu. Baru saya bisiki demikian, lelaki itu langsung berlari ke arah bawah atau ke tempat saya ngopi tadi. Buset?

* * *

Setelah memastikan lelaki itu selamat hingga perkampungan di bawah, saya berdiri di antara kepulan debu yang pekat. Lho? Kok saya masih bisa baik-baik saja? Sejujurnya, entah bagaimana dan kapan, mata saya ini sudah tertutupi oleh kaca mata dengan hidung dan mulut yang tertutup masker. Sementara mata saya memandang ke arah puncak gunung, sebuah tangan menarik saya berlari. Entah bagaimana kami berlari, hanya saja ketika sampai di jalan datar, saya memintanya menghentikan pelarian kami. Ia memelankan tempo kami berlari dan perlahan menghentikan langkah.

Ya, layaknya rem yang tidak diinjak sekaligus. Seperti itulah ia menghentikan pelarian kami.

Saya baru mengetahui sosoknya ketika kami benar-benar sudah berdiri di antara pepohonan yang tak lagi berdebu. Ia seorang perempuan.

"Ya elah, kukira siapa, ni!" seru saya sembari merentangkan tangan hendak merangkulnya. Namun, tangannya segera menghadang tubuh saya.

"Kau seperti patung hidup. Ayo, cari tempat untukmu membersihkan diri," ujarnya seraya berbalik dan berjalan mendahului saya.

"Kau lihat peristiwa tadi, bukan? Apa tidak ada yang bisa kita lakukan?" Celoteh saya sembari mengekorinya. Ia tidak menjawab. Melainkan terus berjalan.

Sudah kami lewati pepohonan rimbun yang saya taksir kebun hutan pemerintah itu. Kami mulai melihat rumah, ah, bukan. Warung di pinggir jalan itu. Perempuan yang berjalan di depan saya langsung berbelok ke arah warung itu. Tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu. Saya yang masih culang-cileung--menengok ke kiri, ke kanan--untuk mengetahui lokasi persis kami, langsung menghentikan langkah dan menghela napas sebelum akhirnya mengekorinya lagi.

"Kau dari mana saja?" Tanya seseorang yang menyambut saya. Ekspresinya tampak khawatir sekaligus geli melihat penampilan saya yang penuh debu. "Uh, sana bersihkan dirimu dulu!" Sambungnya sembari menunjuk arah kamar mandi. Tanpa banyak bicara, saya langsung mengikuti arah telunjuknya. Masuk kamar mandi, mandi dan mengganti pakaian yang sudah disiapkan di sana. Entah bagaimana, pakaian itu pas di tubuh saya.

"Ayo lekas sini," ucap perempuan yang tadi menyuruh saya membersihkan diri seraya menepuk amben di sebelahnya. "Ah, aku selalu tahu pakaian itu cocok untukmu," sambungnya seraya menyenyum. Saya melirik tubuh saya yang dibalut pakaian asing ini. Warnanya yang biru langit, memang sangat kusuka. Tapi modelnya bukankah terlalu kolosal?

"Sudah, pakaian itu cocok untukmu. Lihat, aku pun pakai," ujar perempuan itu seraya mengibaskan tangan. Dan benar saja, pakaiannya hampir sama dengan model pakaian saya. Sementara perempuan yang tadi menyambar saya yang memang sudah memakai pakaian model itu--kau bayangkan saja pakaian di film-film kolosal, ya itu pakaian kami--tampak masih acuh tak acuh.

"Hey, ayo kita mulai," ajak perempuan yang tadi mengajak saya duduk di sebelahnya. "Tangkupkan tanganmu seperti ini," ujarnya seraya memberi contoh tangkupan tangan yang harus saya lakukan. Perempuan yang tadi diajaknya mendekat dan langsung menangkupkan kedua tangannya, disusul dengan tangan perempuan yang tadi mengajarkan saya. "Lekas tempatkan tanganmu itu di atas tangan kami dan arahkan ke gunung itu," ujarnya.

Saya mengikuti arahannya. Meskipun terus ia komentari baik dari posisi tangan saya. Sementara di jauh, suara gemuruh semakin terdengar. Gemuruh itu datang dari gunung yang hendak kami nina-bobokan kembali.

"Bismillah," gumam perempuan itu ke arah saya sembari menganggukan kepala. Mata kami saling bertatapan seolah saling memahami apa yang sedang kami lakukan.

You Might Also Like

0 Comments