Pesan Kelinci Paskah



Kelinci itu lebih besar dari ukuran kelinci pada umumnya, bulunya juga super tebal. Ia melompat ke pangkuanku seperti kucing yang meminta dimanja. Aku yang sedang berbincang serius dengan rekan kerjaku, bahkan sedang terjadi perdebatan sengit, mesti menggantung punch line dari topik yang sedang kami perdebatkan. Sebab, tanganku reflek mengelus-elus tubuh dan kepala kelinci itu. 

Sementara rekan-rekanku tampak mulai terusik ketika aku tak kunjung bicara lagi. Mereka menatapku dan kelinci itu secara bergantian. Tanpa sadar, perdebatan sengit nan serius itu mulai mencair.

Kelinci gemuk yang menggemaskan itu tampak senang dengan segala perlakuanku. Tapi tak lama, ia kemudian memutar badannya dan melompat ke meja. Ia berdiri di atas dua kakinya. Dengan mimiknya yang lucu namun terasa sangat santun, ia kemudian berkata.

"Kuberikan anugerahku, nona...," ujarnya. Mataku mendelik lalu menatap orangorang di sekitarku yang tampak biasa saja melihat itu. "Ingatlah pesan yang disampaikan Laozi langsung padamu, nona..," ujarnya.

"Laozi? Kapan?" Tanyaku. 

Laozi atau Lao Tzu, seorang filsuf pendiri ajaran Taoisme dari Tiongkok itu kitab-kitabnya masuk daftar bacaanku beberapa tahun lalu. Saat itu, pemikirannya menjadi bahan materi overthinking-ku. Kelinci itu menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Hmm, sudah kuduga kau lupa. Sudahlah, aku harus pergi ke perayaan. Sampai jumpa...," ujarnya sembari melompat dari meja dan pergi entah ke mana.

"Sampai jumpa...," ujarku tak sadar. "Hey, selamat Paskah," seruku kemudian.

You Might Also Like

0 Comments