Tak Ada Waktu untuk Menunggu



Ada yang menetas dari perut waktu. Dua jenis makhluk berlainan jenis dengan satu warna badan. Putih. Mereka menempati area serupa kandang dengan dinding kaca besar dan tebal. Kutaksir, ketebalannya mampu menahan benturan macam apapun. Hanya saja, rasa kasihan dan ingin memberi mereka makan menyerangku. 

Karenanya, kubuka saja pintu itu. Tidak peduli pada peringatan seseorang di belakangku yang melarangku untuk berdekat-dekat dengan mereka. Tapi, karena aku tidak ada tanda bahaya di kepalaku, maka aku anteng saja. Menyodorkan roti yang kuambil dari tas punggungku ke keduanya. Alih-alih berbahaya, kedua makhluk itu sangat jinak. Naga putih kecil yang lucu dan kera kecil yang perkasa. Mereka masih teramat kecil untuk bisa dikatakan 'berbahaya'.

"Ayo keluar," ajak penjaga.
"Sebentar, foto dulu, hehe..." ujarku sembari menyeringai geli sendiri dengan kebiasaan baru ini.

Belum selesai mengambil gambar, sesuatu menarik kemejaku hingga aku terjatuh. Kepalaku membentur lantai batu. Mataku terus kupicing-picingkan untuk mengusir rasa pusing sekaligus ingin melihat yang terjadi. Samar dalam penglihatanku, ia besar sangat besar dan ia sedang memasang badannya untuk menghalangiku dari serangan tak terduga. Induk anak-anak itu? Sementara di hadapannya, induk lainnya sedang bergumul dengan sesuatu yang entah. Samar sekali. Dari area kandang, mereka terus keluar ke arah lembah. Suara ranting patah ditimpa tubuh-tubuh itu menggema.

"Lari! Kembali ke tempatmu!" suara itu menggema dikepalaku, di luar gemuruh pertarungan masih berlangsung di antara cericit dan geram kemarahan .

Benturan-benturan keras terdengar. Bumi terasa bergetar. Di sampingku tak ada siapapun. Induk naga itu entah kemana, pun anaknya yang lucu itu. Kepalaku masih merasakan kepusingan. Sungguh, bila batok kepala ini terbuat dari kaca, mungkin sudah pecah saat tubuhku ditarik tadi.

"Lari!" Terdengar suara itu di kepalaku. Siapa?
"Lari ke tempat tinggi!" Suara itu terdengar lebih kecil.

Segera kuangkat badanku, pening itu masih ada di sana. Tapi, aku harus menuruti perkataan mereka. Terseok, aku berlari ke arah gunung di belakang kandang besar itu. Gunung yang tidak berpepohonan. Sungguh gersang dan terjal. Kurutuki diriku yang tidak pernah ikut organisasi pecinta alam. Bagaimana bisa aku melupakan hal penting itu? Rumput-rumput berakar serabut dengan daun runcing itu jadi satu-satunya alat bantuku untuk naik dan terus naik. Ingin sekali aku melirik ke lembah itu. Tapi, aku tidak berani mengambil resiko aku tidak bisa sampai di puncak itu. Aku takut ketinggian!

"Lekas!" Suara itu terdengar lagi.

"Aku sedang berusaha!" Geramku seraya menjangkau rumput belulang yang kutaksir berakar kuat untuk bisa menjadi pegangan. "Kau di mana?" Gumamku lagi ketika kakiku sudah mencapai puncak bukit dan melongok ke arah lembah di bawahku. Suara-suara itu masih terdengar. Dari pepohonan yang tampak bergetar di kejauhan, kutaksir itulah tempat pertarungan itu.

Entah bagaimana, kepalaku tersentak seperti terkena setrum tegangan tinggi saat seseorang menekan tombol menyala pada televisi. Layar lebar terbuka di depan mata. Kulihat, seorang lelaki duduk terpekur di kedai kopi. Ada laptop di hadapannya, ada kopi dan penganan. Roti bakar? Kejunya kurang banyak itu... Wuh! 

Ia terus menatap laptop itu tanpa melakukan apapun. Napasnya terdengar sangat berat. Ada rindu, ada juga marah dan sedih terpancar dari tubuhnya.

Hey! Sepertinya aku mengenalmu. Sebentar kuingat-ingat. Di mana aku pernah melihatmu? Apakah itu kau? Okay, sebentar, izinkan aku mencerna apa yang sedang terjadi ini.

"Kuberi sedikit lagi waktu," Gumam lelaki itu.

Mendadak, perasaanku bergejolak. Kesal. Sangat kesal.

"Bagaimana bisa kau memberi sedikit waktu, bila kau yang berjanji akan datang menjemput? Kepalamu terbentur batu meteor? Tidak tahu apa aku sedang ribet? Lihat, mereka sedang bertengkar! Bajingan kau!" Gerutuanku terus berlanjut seperti pertarungan dua makhluk itu. "Woy! Udahan dong berantemnya! Sial, bikin kesal saja..."




You Might Also Like

0 Comments