Siapa Pengirim Peti Ini?






Rumah besar itu berbentuk persegi dan tak memiliki pintu depan. Ada jendela tinggi dan besar, dan tanaman gantung di beberapa sisinya. Juga taman dengan air mancur di sisi halaman sebelah kiri dari pintu masuk. Untuk memasuki rumah itu, aku harus memutar ke kiri hingga mencapai bagian belakang. Iya, pintunya hanya ada di bagian belakang!
Aneh sekali arsitek rumah ini? Ya, aku juga merasa begitu dan aku sempat mendumelinya sembari mencari jalan masuk itu.

Kuketuk pintu dan mengucap salam. Saat pintu terbuka, rupanya ada beberapa orang perempuan dengan gaun putih menjuntai dan mereka seolah penasaran dengan apa yang kulakukan di rumah ini. Kau tahu siapa mereka, kan? Jangan disebut, biarkan saja. Mereka juga makhluk ciptaan Tuhan.

"Maaf, saya hendak ke ruang tamu, saya harus pergi ke mana ya?" tanyaku pada mereka yang tampak saling pandang. Bingung. Seseorang di antara mereka menunjukan arah ruang tamu. Kuanggukan kepala sebagai tanda rasa terima kasihku, lalu pergi ke arah yang ditunjukannya.

Ruangan yang kumasuki ini berbentuk segi empat, besar sekali. Ada sofa besar yang terbuat dari kulit berwarna coklat. Sofa itu menghadap ke jendela besar yang di sebaliknya ada taman berair mancur yang tadi sempat kulewati. Tak ada sesiapa lagi di sana. Hanya aku. Dan sofa itulah yang kutuju.

Setelah duduk, kutaruh totebag di pangkuan, membuka resletingnya, dan mengambil novel dari dalamnya. Tak lama, seseorang datang membawakan minuman yang sebenarnya tidak kupesan, tapi kubiarkan saja ia meletakannya di meja.

Sedang asyik membaca, seorang lelaki berjaket ojek online datang. Aku menyadarinya ketika seseorang mencolekku untuk melihat ke jendela. Lelaki itu sudah berusia kira-kira 40 tahunan dan tampak kurus. Ia tertawa bahagia sembari menunjukku. Seolah, ia sangat lega, sangat bahagia telah berhasil menemukanku. Meski aku tidak tahu dengan jelas apa yang ia rasa, kujawab saja dengan senyuman dan lambaian tangan. Kuberikan isyarat untuk memutar ke pintu belakang, pintu yang tadi kulewati.

Saat ia sudah berada di hadapan, lelaki itu sepertinya memang benar-benar merasa bahagia sekaligus lega. Senyumnya juga tak pernah ia lepas dari wajahnya yang tampak tirus itu.

"Syukurlah, bu. Syukurlah," ujarnya seraya menyerahkan plastik putih berisi peti kecil yang terbuat dari kayu yang mengkilat. Ukurannya tidak terlalu besar, tidak lebih besar dari kotak martabak anak presiden dan tidak lebih kecil dari kotak nasi padang untuk makan malam. Kuterima peti ittu dan bertanya siapa pengirimnya dan dari mana asalnya.

Namun, alih-alih menjawab, lelaki itu malah menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuterka. "Ibu, jaga kesehatan, ya," ujarnya seolah itu adalah pesan yang lainnya. Ia mengucapkannya dengan seluruh perasaan.

Ibu? Agak kikuk rasanya mendengarnya. Karenanya, kuanggukkan kepala saja. Meski keningku kemudian mengerut. Mungkin panggilan itu adalah bentuk profesionalitasnya saja ataukah itu yang diucapkan si pemakai jasanya?

"Ah, iya. Terima kasih, pak," ujarku.
Kubolak-balik peti kecil di tanganku. Ada suara benda yang beradu dengan sisinya. Sepertinya benda padat. "Kenapa tidak diantar sendiri saja?" Gumamku seraya menaruhnya di sofa sebelahku. 
Sementara lelaki yang mengantarkannya sudah pergi dari tadi.

You Might Also Like

0 Comments