Air Mata Hari Selasa
Kabar meninggalnya Abah Abuya Uci Thurtusi dan Penyair Umbu Landu Paranggi sontak membuat perasaan saya tidak karuan. Kesedihan terasa teronggok di tenggorokan. Keduanya punya jalan hidup berlainan tapi keduanya memiliki tempat khusus. Setidaknya bagi saya.
Karenanya, saat mengerjakan poster-poster belasungkawa untuk beberapa instansi, air mata saya tidak bisa dibendung lagi. Lebay? Iya, saya tahu ini lebay. Karena saya juga tidak tahu untuk siapa air mata ini. Padahal, sejak jauh-jauh hari saya sudah diperingatkan untuk menerima kematian sebagaimana menerima apapun yang datang maupun yang pergi. Tanpa tangis. Hanya saja, semua kesedihan mereka yang ditinggalkan terasa berkumpul di sini. Suara musik up beat dengan volume tinggi dan nyanyian para pelanggan kedai kopi yang ramai sekali tidak mampu mengenyahkan kesedihan itu.
Kalau tidak kuat, ya keluarkan saja. Karena itu, saya segera meraih tissue dan menelepon ceuceu.
"Ke Bandung saja," katanya.
Waktu terasa lebih lambat dari biasanya.
Selamat jalan, Paku Banten, Abuya Uci.
Selamat Jalan, Penyair Umbu.
0 Comments