Suro di Lawu




"Nduk, ditunggu di Lawu sekarang,"

Suara halus itu hinggap di telingamu. Kauiyakan dengan riang tanpa peduli angka 00.00 tertera di ATM. Hanya Tuhan dan semesta alam yang tahu caramu sampai ke tujuan. Sebab, jika hal itu kaupikirkan juga, pada akhirnya hanya akan menjadi pening di kepala saja. Karenanya, tanpa menunggu waktu, segera kuambil carrier yang selalu siap sedia di sudut kamar, menumpahkan beberapa potong pakaian dengan sembarang dan perlengkapan outdoor lainnya termasuk laptop. Asal jejal, asal masuk.

Di kereta itu, kau melihat peta dari ponselmu. Kau tampak sibuk mencocokan jadwal kedatangan kereta dan waktu yang disediakan khusus untukmu di Puncak Lawu. Kau ingat, ada seorang teman yang pernah kau antar ke tanah Tangtu, ia paham betul area itu. Karenanya, tanpa menunggu lama, kau mengirimkan pesan pembuka.

"Halo, selamat siang, mas. Sedang sibukkah?"

"Tidak terlalu. Ada apa?"

"Aku menuju Lawu,"

"Wah! Aku jemput di stasiun?"

Keningmu mengernyit. Tanganmu menggaruknya tanpa terasa gatal sama sekali. Ada senyum yang tersungging di bibirmu. Kau senang.

"Ehe, aku pasti merepotkan. Mohon bimbingannya..,"

"Siap, aku tunggu,"

Seusai mengirim pesan, kau kembalikan ponselmu ke saku. Buku yang selalu kau bawa itu kau buka kembali. Kau membacanya hingga tak sadar matamu memejam. 

*

Kereta api sebentar lagi berhenti di stasiun Balapan, Solo. Telingamu mulai melantur, mendengar suara Didi Kempot menyanyikan lagu yang sering kau curi dengar dari tape tetangga di pagi hari. ...Ning stasiun Balapan....

Kau tatap ponselmu, berharap pesan yang baru kau kirimkan dibalas lelaki yang sebelumnya kau panggil Mas itu. Dadamu mulai sangsi, apakah ia benar-benar akan menyediakan waktunya untukmu? Ah, kau selalu begitu. Memikirkan hal-hal yang sebenarnya hanya perlu kau percayai dia sudah di pintu keluar itu, dia menunggumu. Kau hela napasmu dan menghembuskannya sekaligus. Mencoba mengusir segala kemungkinan yang bermunculan, andai si Mas itu batal menemanimu menuju Lawu. Kau harus pergi ke mana? Sedang arah bagimu selalu menjadi masalah.

Ah, sudahlah. Bismillah saja. Bisikmu menenangkan diri.

Ketika kereta benar-benar memasuki stasiun dan berhenti, di antara penumpang yang berjubel keluar stasiun itu, pupil matamu terkaca-kaca. Mulutmu terus mengucap syukur. Kau merasa ingin segera berlari menujunya dan memeluknya untuk mengucapkan terima kasih tak terhingga. Bagaimana bisa ia menyisihkan waktunya untukmu? Kau tak tahu, kau sungguh tak tahu!

"Halo, mas. Apa kabar?" Sapamu berusaha menyembunyikan rasa bahagiamu. Kau julurkan tanganmu. Seperti kebiasaanmu, kau mengecup punggung tangan siapapun yang kau ajak bersalaman. Kau tak memandangnya muda atau tua, kau hanya melakukannya saja. Sebab bagimu, itu adalah wujud dari rasa syukurmu, rasa terima kasihmu atas segala hal yang sudah seseorang sisihkan untukmu. Bersyukur sudah bertemu, sudah berinteraksi denganmu. Dan mas itu juga sedikit menarik tangannya.

"Baik, dong. Mau istirah dulu atau langsung?" tanyanya.

"Langsung saja, mas," jawabmu sembari tersenyum.

Sepanjang perjalanan, kalian bercakap mengenai berbagai hal. Persoalan yang terjadi di kampung halaman hingga hal-hal terkait tempat yang akan kau datangi. Menurutnya, Karanganyar akan menjadi tujuan saat ini. Pintu Candi Cheto yang terbilang baru itu yang akan kau masuki. Sembari menikmati pemandangan di perjalanan, angin yang menerpa wajah tangan telapak tanganmu, kau bisikan kabar kedatanganmu. Meski kau tahu, mereka pasti sudah tahu kau datang.

Kendaraan itu berhenti di depan sebuah rumah. Basecamp? Taksirmu. Ia mengajakmu memasuki rumah itu, kau diperkenalkan pada orang-orang yang berada di sana sebagai perempuan yang mendadak harus ke puncak. Mereka menyambutku sebagai keluarga baru. Tak ada kecanggungan, kau lekas akrab dan mereka juga. Seusai asyik mengobrol, seorang lelaki menawarimu untuk beristirahat. Katanya, ada tempat yang sudah dipersiapkan untukmu.

"Tenda khusus ini, sudah disiapkan sejak pagi," ujarnya sembari melirik ke arahmu yang sedang berdiri keheranan. Kauucapkan terima kasih padanya sebelum akhirnya ia pamit kembali. Sementara mas yang menjemputmu itu tampak datang menyusul sembari senyum-senyum saja.

"Ada seseorang lagi yang harus kita tunggu. Dia lebih tahu Lawu dibanding aku. Nggak apa-apa, ya?" ujarnya. Kau mengangguk. Meskipun pikiranmu tertuju pada jadwal kedatanganmu yang hanya 3 hari saja.

"Oh, okay, nggak apa-apa," jawabmu akhirnya.

"Bersih-bersih dulu, nanti aku ajak ke suatu tempat yang indah," ujar masmu.

"Asyik! Iya, ini mau bersih-bersih. Lihat, aku buru-buru ke sini, jadi semua asal masuk saja. Lihat, kan?" Celotehmu sembari membuka carier. Lelaki yang kau panggil mas itu tertawa. Tanpa kau ceritakan bagaimana prosesmu, ia pasti sudah tahu betapa kau sangat terburu-buru. Kau kemudian pamit untuk bersih-bersih sekaligus menunaikan salat fardu dan salat sunnah hajat. 

*

Selama dua hari keberadaanmu di area Desa Cheto, kau lebih banyak diajak berkeliling kampung. Sesekali, kau mengunjungi candi. Di hari kedua ini, kau mulai merasa gelisah. Sangat gelisah. Mas yang bersamamu itu tampaknya mengetahui kegelisahanmu.

"Maaf, ya," ujarnya ketika kalian duduk di salah satu sudut candi.

"Santai saja, mas. Toh nanti juga temanmu datang...," jawabmu seolah sedang berusaha menenangkan diri. Meski di sisi lain, kau merasa tanpa temannya itu pun kalian bisa saja sampai di atas sana. Tapi kau enggan mengatakannya. Kau takut perkataanmu menyakitinya yang sudah menyediakan waktu untuk menemanimu dan kau harus berterima kasihnya tanpa memaksanya menuruti keinginanmu. Meski kau tidak bisa menyembunyikan kerutan di keningmu itu. Kau kesal, bukan?

Kau tatap puncak Lawu yang melambai padamu, mengajakmu naik sendirian saja. Tapi, kau ingat pesan leluhurmu untuk tetap mematuhi aturan dimanapun kakimu berpijak. Dan kau, kau tidak tahu aturan apa yang ada di tempatmu berdiri saat ini. Karena itu, kau mencokolkan dirimu pada dia yang lahir di tanah ini. Kesabaran adalah ibu, kesabaran adalah bumi.... Kalimat itu terus kau rapal di dadamu. Kau hela napasmu dan menghembuskannya sepelan mungkin. Kau bahkan takut suara napasmu itu membuatnya mengetahui kekesalanmu?

Matahari sudah hampir di atas kepala, kalian masih duduk saja di sana, sibuk dengan pikiran sendiri. Dari jauh, tampak seseorang datang mendekat. Wajahnya tampak lelah. Tubuh kurusnya terbalut kaos hitam yang dipadu dengan sweeter berwarna senada dan topi serta celana jeans. Tidak ada carrier atau perlengkapan lain yang dibawanya. Ia benar-benar hanya membawa tubuh letihnya saja. Kau menghela napas berat dan menghembuskannya sekaligus seraya melirik mas yang sedari tadi menemanimu. Mas itu pun sepertinya sedang memperhatikanmu.

"Kenalkan, ini temanku yang sedang kita tunggu," ujarnya.

"Hai," kau menjulurkan tangan seraya menyebut nama panggilanmu. "Silakan istirahat. Nanti malam kita selesaikan di sini saja," ujarmu. Lelaki itu menerima tanganmu seraya mengangguk. Ia benar-benar tampak lelah. Seperti sudah berhari-hari belum tidur dan tenaganya hanya tinggal 1% lagi.

Kau hela napasmu lagi dan menghembuskannya sekaligus, lalu melirik ke arah Lawu yang mengundangmu. Maaf, lain waktu aku naik ke sana. Sekarang, kita bertemu di sini dulu.

You Might Also Like

0 Comments