Ratusan Jarum dan Perusuh

Ilustrasi: pixabay.com


Menjelang sandekala, tubuhku seperti memiliki tombol yang bisa mengeluarkan jarum dan paku secara otomatis. Ini aneh sekaligus lucu. "Lihat! Lelucon macam apa ini?" Tanyaku pada lelaki yang menemaniku duduk di dalam pondok. Kucabut jarum itu dan menaruhnya di mangkuk kecil. Kami tertawa dan terus tertawa seiring jarum-jarum yang muncul-kutarik-dan muncul lagi. Terus begitu hingga jarum-jarum menggunung di mangkuk.

Di tempat lain di tubuhku, paku-paku bermunculan seperti halnya jarum. Sedang asyik mencabuti jarum dan paku itu sembari bercanda, pintu depan pondok digedor keras sekali. Suara marah terdengar mengiringi. Teriakan kalap dari seorang lelaki. Kulirik lelaki yang menemaniku seraya memberinya isyarat untuk mencari tahu siapa si perusuh yang sepertinya tak sendiri itu. Ia mengangguk, lalu pergi membuka pintu. Meski tidak kulihat ia kembali lagi.

Sementara di pintu yang terbuka itu kulihat orang-orang yang tadi menggedor pintu. Ada 4 orang lelaki dan seorang perempuan. Kutaksir, lelaki yang berdiri paling besar dan berperawakan agak gempal itulah pemimpinnya.

"Ada apa?" Tanyaku tanpa beranjak dari dudukku. Tanganku berhenti mencabuti jarum-jarum itu.
"Si brengsek itu mana?" Tanyanya setengah membentak dengan kearoganan maksimalnya.
"Eiy, santai. Dia sudah pergi tadi sore...," jawabku tenang sembari melanjutkan 'panen'. Tidak percaya dengan jawabanku, lelaki itu menyuruh rombongannya untuk menggeledah pondok.
"Bendanya masih di sini! Cari!" Ujarnya pada kawan-kawannya yang masuk ke dalam pondok. Sudut mataku melihat mereka berpencar memasuki ruangan-ruangan di pondok itu.
"Ya, cari aja. Tapi, jangan diacak-acak dan jangan ada yang pecah," ujarku tanpa menatap mereka dan tetap fokus pada panenanku ini.

Kudengar, mereka mulai mencari, riuh sekali. Dari riuhnya benda pecah belah yang diangkat dan dikembalikan ke tempat semula. Aku menyeringai. Setidaknya mereka patuhi syaratku. Toh, jika yang mereka cari adalah benda, mereka tidak akan mungkin menemukan benda apapun selain piring dan hiasan keramik.

"Sedang apa?" Tanya suara perempuan. Ah, aku lupa pada perempuan ini. Rupanya dia tidak ikut mencari dan malah mendekatiku.
"Biasa. Panen," Jawabku sembari nyengir.
"Payah. Lemah," ledeknya.
"Alhamdulillah, bisa berhemat beli jarum." ujarku sembari terus mencabut jarum yang muncul di bahuku. "Mau? Sok ambil aja," sambungku sembari mencabut jarum terakhir yang muncul.

Dan kecerobohanku pun dimulai. Ketika hendak menyatukan jarum yang kucabut itu dengan kawan-kawannya sesama jarum, ia terlepas dan jatuh ke lantai.  Kutundukan kepala untuk mencari jarum yang jatuh. Tapi di lantai itu, ada begitu banyak jarum, paku dan debu-debu yang entah sejak kapan ada di sana. Padahal, setiap hari seluruh lantai ini selalu kubersihkan.

"Hoalah, yang mana ini, teh?" Gumanku.
Perempuan itu turut menunduk dan langsung menunjuk dekat kakiku.
"Yang itu," ujarnya. Segera kuambil jarum yang ditunjukannya. Kulihat sebentar, lalu menyeringai.
"Ah, iya. Nuhun, ya," balasku senang.

Berbarengan dengan selesainya kegiatan panenku, sepertinya keempat orang lelaki itu juga selesai mencari pun rombongan lainnya di luar sana. Mereka berlima kemudian berkumpul di dekat pintu dan bicara agak berbisik. Mungkin takut kudengar. Tapi masih bisa kudengar jelas apa yang mereka ucapkan. Padahal, aku tak pernah mempelajari ilmu mendengar bisik-bisi tetangga.

"Dia memang sudah pergi, tapi aku yakin dia tidak membawanya. Apa kau yakin perempuan itu tidak tahu?" Tanya lelaki berjubah putih anggota rombongan itu.
"Ya, dia tidak tahu, yai. Aku yakin itu," jawab perempuan yang membantuku memungut jarum.
"Bagaimana, ki? Apa kita pulang atau kita kejar dia?" Lelaki berjubah itu berkata lagi.

Aku pura-pura tidak mendengar perbincangan mereka. Kurasa, mereka menatap ke arahku. Tapi, aku enggan berurusan dengan mereka, karenanya aku terus berpura-pura saja. Dan sepertinya, mereka juga sama denganku. Enggan berurusan denganku. Entah kasihan karena aku sedang ripuh dengan 'panen-panen' ini, atau karena hal lainnya. 

"Paman!" seruku memanggil lelaki yang semula menemaniku seraya membereskan jarum-jarum yang sepertinya sudah selesai kupanen. Terdengar suara langkah kaki mendekati pintu belakang. "Dari mana, hmm?" tanyaku. Tapi ia tidak menjawab.

You Might Also Like

0 Comments