Bulan Terang di Guna Tiga





Tan hana, anaking...
Tan hana...,
Tan hana wighna tan sirna.


Kabar baik-kabar buruk serupa kunang-kunang yang hinggap di jendela. Serangga golongan Lampyridae dari famili dalam ordo kumbang Coleoptera itu kadang menemanimu hingga pagi, atau hingga kau mengantuk di dini hari. Saat kecil dahulu, saat seekor kunang-kunang menembus lubang angin dan hinggap di kelambu tempat kau dan nenekmu berbaring. Nenekmu selalu mengatakan bahwa kunang-kunang adalah kuku orang yang telah meninggal. Ada pamali untuk menangkapnya. Ada pantangan untuk mengusiknya. 

"Biarkan saja menjadi teman dalam perjalanan menuju ke dunia mimpi." Kata nenek sembari terus mengusap-usap punggungmu.

Seiring berjalannya waktu, dan nenekmu kini sudah pulang ke sisi-Nya, kunang-kunang seperti pemberi kabar baik dan buruk bagimu. Cahaya yang dihasilkan dari sinar dingin di bagian ekornya itu adalah kabar baik. Kabar buruknya adalah bila ia tidak mengedipkan cahayanya, seolah ia kehabisan tenaga untuk menghidupkan cahayanya.

Dan kabar buruk itu, sudah datang lebih dulu bersama pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Hingga hari ini, jutaan orang telah terpapar dan korbannya tak bisa kau jabarkan. Kau enggan menghitung, bahkan kau menolak untuk mengetahui angka-angka kematian itu. Bukan tidak berempati pada korban dan keluarganya, bukan pula ingin mengabaikannya.

Malam ini, kunang-kunang hinggap di tiang saung dekat tenda yang sengaja kaudirikan. Sementara di langit timur, bulan besar muncul dengan gaun merahnya. Pendaran cahayanya malam ini membuatmu kembali mengajukan pertanyaan yang sama entah untuk siapa; purnama ini kau di mana?

Meskipun, kau juga sempat mengkhawatirkan satu hal, namun kau merasa yakin bila hal itu masih jauh di depan. Karenanya, sore tadi kau datang ke Panyaungan tempat keluarga yang kau sebagai keluargamu tinggal. Kedatanganmu disambut hujan poyan. Hujan ngajuru maung, begitu sebutan para orang tua dahulu. Tak hanya sekali atau dua kali, berbagai peristiwa di dalam hidupmu diawali dengan sambutan hujan poyan. Kadang, peristiwa selanjutnya membuatmu terkejut dan tersuruk dalam kebingungan, tangisan dan kekecewaan. Kadang pula, membuatmu merasakan kebahagiaan yang samar. Tapi kau masih belum menjadikannya sebagai patokan pertanda apapun. Meski semesta sudah memberitahumu mengenainya.

Sebelum ke Panyaungan, kau mampir ke warung untuk membeli berbagai keperluan. Terutama makanan untuk berbuka dan sahur. Kau belum menentukan berapa lama kau akan berada di sana, hanya saja biasanya 3 hari 2 malam atau lebih lama 4 hari 3 malam tergantung situasi dan kondisi saja.

"Kamu mah ya, udah keluyuran aja...,"
Sebuah pesan pendek melalui Whatsapp kau terima.
"Iya, nggak tahu, nih. Kayaknya harus segera selesai aja urusan yang di sini,"
"Urusan apa? Bertapa?"
"Nggak kok nggak bertapa. Sinilah susul, sekalian ngopi di bawah terang bulan,"
"Engga, ah. Lain waktu saja,"
"Baiklah...,"

Urusan yang kau maksud itu tidak hanya urusan duniawi saja. Ini melampaui akal dan logikamu sendiri. Meski pernah berulang kali kau menolaknya, tapi akhirnya kau merasa tidak tenang dan selalu dihantui hal-hal yang tidak masuk akal hingga kau bertemu seorang tua dan dituakan di kampung yang memberi penjelasan; nu kitu mah (perjalanan) teu bisa dihayang-hayang, teu bisa diengke-engke, mun geus ninggang ka wanci kudu miang, bral geura miang. Sabab jawaban tina pertanyaan eta bakal katimu di jalan atawa di tempat tujuan. (yang seperti itu (perjalanan) tidak bisa diinginkan, tidak bisa ditunda, bila sudah sampai waktunya pergi, lekas pergi. Sebab jawaban dari pertanyaan itu akan ditemukan di jalan atau di tempat tujuan).

Karenanya, sebagai pemegang kendali, kau pastikan dirimu memegang pedoman seperti yang diajarkan para leluhurmu. Bagimu, kebijaksaan-kebijaksanaan yang muncul dan sedang coba kau jalani itu adalah untuk dirimu sendiri dan bukan tugasmu untuk meyakinkan orang lain atas segala pembelajaran di perjalanan ini.

Dan malam ini, satu hal lain harus kau pelajari. Hal yang belum kau pahami arahnya, meski tujuannya bisa kau raba dan kau bayangkan juga. Setidaknya, kau tahu, kau harus menjalaninya dengan caramu sendiri.

You Might Also Like

0 Comments