Jayamanahen Itu Siapa? Ini Jawabannya




Sudah hampir tengah malam ketika saya diturunkan di seberang terminal Sukabumi. Semenjak kaki menjejak tanah, beberapa nama sudah menghampiri benak saya. Seolah meminta diingat. Ingatan yang pendek, sementara nama sebanyak dan sepanjang itu. Saya tidak hapal dan tidak ingat siapa saja namanya. Hanya saja, ada satu nama yang benar-benar tercokol di benak saya. Bahkan, menjadi serupa mantera yang terus saya rapalkan. Jayamanahen.

"Ingat, akulah Jayamanahen..."

Jika dikonversi ke dalam ucapan langsung, maka kalimatnya serupa itu. Dan saya yang bodoh ini tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu siapa sebenarnya empunya nama itu, apa maksud dan tujuannya memberitahu namanya dan pesan apa yang ingin disampaikannya? Saya hanya terus mengulang-ulang namanya saja seperti sedang menghapal karena besok akan ada ujian.

Beberapa orang yang duduk di sebelah saya, tentu saja sempat melirik dan bertanya "apa?". Barangkali mereka menyangka saya sedang berbicara pada mereka dan langsung saya jawab "tidak, tidak apa-apa..." Sempat pula saya bertanya pada seseorang, kenal tidak dengan nama Jayamanahen saat kami menuju lokasi acara dan ia jawab tidak. Setelahnya, saya tidak bertanya lagi. Tapi terus mencari nama di daftar ingatan. Siapa sebenarnya dia ini? Dan kenapa saya terus mengingatnya?

Saat di perjalanan pulang, nama itu juga masih tetap ada. Bahkan ada yang lebih menakjubkan di perjalanan pulang. Tapi sepertinya itu tidak usah diceritakan dengan detail, hanya saja intinya ada satu kalimat yang menyusul nama itu. Dan sekali lagi, saya tidak punya keinginan menelusuri apa arti dari kalimat itu.

Sesampainya di Rangkasbitung, nama itu terus ada dan saya rapal juga. Saking aneh sendiri, saya mulai iseng mencari siapa sih Jayamanahen itu? Dan..., mulut saya langsung mendesiskan makian untuk diri saya sendiri. Betapa bodohnya tidak segera mencari nama itu sebelumnya.

Setelah melakukan pencarian, saya menemukan informasi pendek ini. Nama gelar lengkapnya adalah Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramotunggadewa. Beliau adalah anak dari raja Sunda Prabu Sanghyang Ageung.

Dalam naskah Pustaka Nusantara, Parwa III sagra 1, Sri Jayabupati berkuasa selama 12 tahun pada 952-964 saka atau tahun 1030-1042 Masehi. Sedangkan dalam naskah Carita Parahyangan, Sri Jayabupati disebut sebagai Prabu Detya Maharaja yang bertahta selama tujuh tahun. Berikut cuplikannya:

Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu tujuh taun, lantaran polahna hanteu didasarkeun kana adat kabiasaan anu bener. Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun. Rakeanta Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun. Rakean Wuwus lilana jadi ratu tujuhpuluh dua taun. Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah,daek ngala awewe ku awewe. Rakean Gendang lilana jadi ratu tilulikur taun. Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun. Prabu Sanghyang lilana jadi ratu sawelas taun. Prabu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh taun.

Sri Jayabupati sendiri adalah penganut Hindu aliran Waisnawa sama seperti Raja Airlangga yang berkuasa di Jawa Timur pada abad yang sama. Eits, ada juga catatan mengenai hubungan keduanya ini. Sri Jayabupati ini memperisteri Dewi Wulansari puterinya Prabu Darmawangsa dari Jawa Timur atau adiknya Dewi Laksmi isterinya Prabu Airlangga. Gelar Sri Jayabhupati sendiri didapat dari mertuanya, Prabu Darmawangsa. Sementara isterinya yang lain yaitu Dewi Suddhiswari puteri dari Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Bhatari Dewi Perthiwi (Batari Pertiwi) puteri dari Kerajaan Galuh.

Nama Sri Jayabupati Jayamahen tertera dalam Prasasti Sanghyang Tapak atau dikenal juga sebagai Prasasti Cicatih atau Prasasti Jayabhupati. Prasasti kuno ini konon sebagai tanda penobatannya yang dibuat tahun 952 saka atau 1030 masehi. Ada 4 lempeng batu yang memiliki 40 baris yang ditulis dalam huruf Jawa Kawi. Tiap lempeng prasasti ini memiliki tinggi 82-93 cm, lebar 61-73 cm; tebal 12-23 cm dan dicatat dengan nomor inventaris D. 73, D. 96, D. 97, dan D. 98 di Museum Nasional Indonesia.

Berdasarkan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1890 dan 1891, prasasti D. 73 ditemukan di tepi sungai Cicatih, dekat stasiun Kereta Api Cibadak, Sukabumi. Dan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1897, 1898, dan 1899 mengungkapkan bahwa prasasti D. 96, D. 97 dan D. 98 ditemukan di bukit Pangcalikan, Bantarmuncang, Sukabumi.  Prasasti dengan nomor D. 96, D. 97 dan D. 98 itu merupakan prasasti Sanghyang Tapak I dan nomor D. 98 itu prasasti Sanghyang Tapak II. Sedangkan transkripsi dari prasasti dilakukan oleh C.M Pleyte (1915).


Isi dari prasasti itu sebagai berikut:

D-73 //0//   Swasti cakawarsatita 952 Karttikamasa tithi dwadaci culkapa ksa. Ha. Ka. ra wara tambir. Iri- ka diwaca nira prhajyan sunda. Ma- haraja cri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Cakalabhuwanamandalaeswaranindita Harogowardhana Wikraotunggadewa ma-

D-96  gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira cri jayabhupati prahajyan Sunda mwang tan hanani baryya baryya cila. I rikang iwah tan panglapa ikan sesini lwah makahingan sanghyang tapak wates kapujan I hulu i sor makahaningan i sanghyang tapak wates kapujan i wungkalong kalih matangyan pinagawayaken prasasti pagepageh mangmang sapatha.

D-97 sumpah denira prahjyan Sunda lwirnya nihan

D-98//0// indah ta kita kamung hyang Hara Agasti purbba, Daksina, Paccima, Uttara, Agniya neritibayabya aicanya urddhadah rawi caci patalapawanahutasanapah bhayu akaca teja sanghyang maho-ratra saddhya yaksa raksa-sa picaca preta sura, Garuda, Graha, kinaramahoraga catwara lokapala Yama Baruna Kuwera bacawa mwang putra dewata Panca kucika nandicwara mahakala du-Rggadewi ananta surindra anakta hyang kalam- R tyu gana bhuta sang prasiddha mulu manarira
umasukisarwwajanma ata regnyaken iking sa- patha samaya sumpah pamangmang ni lebu ni paduka haji sunda iriki ta kamung hyang kabeh. .........paka dya umalapa ikan..... i sanghyang tapak ya patyananta ya kamung hyang denta t patiya siwak kapalanya cucup etekna belah dadanya inum rahnya rantan ususnya wekasaken pranantika............. .......i sanghyang kabeh tawat hana wwang baribari cila irikang lwah i Sanghyang tapak apan iwak pakan parnnahnya kapangguh i sanghyang..... ......maneh kaliliran Paknanya kateke dlaha ning dlaha....... .......paduka haji i sunda umade- makna kadarman....... ing samangkana wekaet Paduka haji i sunda sanggum nti ring kulit i kata kamanah ing kanang..... ...... i sanghyang tapak makatepa lwah watesnya i hulu i sanghyang tapak i...... ....... i hilir mahingan i-rikang..... umpi ing wungkal gde kalih. Iwruhhanta kamung hyang kabeh //0//

Artinya: 

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan KartikaTanggal 12 bagian terang hari Hariyang—Kliwon—Ahad wuku Tambir. Inilah saat raja Sunda Ma-haraja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuanamandalawswaranindita Harogowardana Wikromotunggadewa membuat tanda di sebelah timur Sanghyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati raja Sunda, dan janganAda yang melanggar ketentuan di sungai ini. Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah kabuyutan Sanghyang Tapak dibagian hulu sampai batas daerah kabuyutan Sanghyang tapak di bagian hilir pada dua buah batubesar. 

Untuk tujuan tersebut telah dibuat piagam yang dikukuhkan dengan seruan, kutuk serta sumpah oleh raja Sunda yang bunyi lengkapnya demi-kian:

Sungguh indah kamu sekalian Hiyang Siwa, Agas-Tya, Timur, Selatan, Barat, Utara, Tenggara, Barat-Daya, Barat-Laut, Timur-Laut, zenith, nadir, matahariBulan, bumi, air, angin, api, sungai, kekuatan, angkasa, cahaya, sanghyang malam, senja, yaksa, Raksasa, pisaca (sebangsa peri), sura, garuda, buaya, Kinara (manusia burung), naga, keempat pelindung dunia, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa dan putera Dewata Panca Kusika, lembu tunggangan Siwa, Mahakala, Dewi Durga, Ananta (Dewa Ular), Surin-Dra, putera Hiyang kalamercu, gana (makhluk setengah dewa), buta (sebangsa raksasa), para arwah. Semoga ikut menjelma meraksuki semua orang. Kalian gerakkanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini. Oh, ketahuilah kamu sekalian hyang.

Barangsiapa yang melanggar ketetapan dalam prasasti ini, supata atau kutukannya yaitu terbelah kepalanya, terpotong ususnya, terisap otaknya dan terbelah dadanya. Kutukan ini juga berlaku sepanjang masa.

Mengerikan sekali supata-nya, ya. Meskipun saya belum tahu dengan jelas bagaimana keadaan saat ini, apakah ketentuan ini masih dipegang teguh oleh masyarakat sekitar Cicatih atau sudah tidak dipakai lagi. Semoga saja masih, ya. Dan semoga kita semua selalu sehat, bahagia dan kaya raya.

Cag.



You Might Also Like

0 Comments