Ini Motif Nisan Kebo Bule, Pajagan, Sajira






Di saung dekat rumah di bawah tower provider itu, seorang perempuan muda duduk dengan pakaian tidurnya. Ia menyambut dengan tawanya yang lebar. Ibunya yang keluar dari dapur pun turut menyambut dengan celotehan akrab sekali. Bukti nyata bila kedua orang yang datang bersama saya itu pernah berkunjung ke rumahnya.

Rupanya di sini tempat pertama yang saya kunjungi pada Sabtu (19/10/2019) ini. Kebo Bule, orang-orang mengenalnya. Kedatangan pertama ini, hanya bertiga saja, saya, Mang Heri dan a Ari. Sementara Om Feri akan menyusul setelah jam pulang kerja usai.

Setelah beramah tamah sebentar, saya digiring menuju area kosong di belakang rumah. Di sekelilingnya selain rumah warga, juga ada kebun rambutan dan tempat pembibitan tanaman warga. Di area kosong itulah tampak ada beberapa nisan yang ditutupi kain putih. Kurang lebih ada 5 nisan di area itu yang letaknya berjauhan.

Selayaknya memasuki area pemakaman, diam-diam saya mengucap salam. Agak rikuh, sebenarnya. Bagaimana tidak, area yang dimasuki itu diduga adalah area pemakaman. Bila benar area pemakaman, maka saya harus benar-benar memperhatikan langkah. Sebab sewaktu kecil, para orang tua sering mengingatkan bahwa kaki saya tidak dibolehkan melangkahi makam. Hal ini sebagai wujud dari penghormatan pada empunya jasad semasa ia hidup dan setelah ia meninggal.

Terkait alasan kenapa nisan dibungkus kain putih, saya jelas tak begitu paham. Hanya saja, biasanya, makam yang dibungkus kain putih adalah makam yang dikeramatkan masyarakat di sekitarnya. Dan kedatangan saya kali ini, jelas bukan untuk munjung atau meminta sesuatu pada makam. Saya justru ingin melihat dari dekat bentuk dan motif dari nisan yang dibungkus kain itu.

Meski saya tidak memiliki pengetahuan terkait urusan usia nisan dan dari zaman mana nisan itu berasal. Kelak, bila waktu menjodohkan kedatangan demi kedatangan lainnya, saat itu saya diiringi orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang bisa menjawabnya. Kali ini, anggap saja saya terlalu banyak waktu luang dan terlalu iseng.

Salah satu makam yang berada di area ini, konon, adalah makam Kebo Bule atau Rakean Munding Arya Satya yang diduga dahulunya adalah salah satu 'orang penting' di masa Pajajaran akhir.

Untuk melihat motif makam, tentu kami mesti membuka kain penutupnya. Emang boleh? Lho, yang melarang itu siapa? Empunya makamnya juga mengizinkan. Eiy, saya sok tahu. Heu.

Biasanya sih, jika kita melakukan pendekatan dulu dengan penjaga makamnya, mereka akan menyilakan kita membukanya atau dibantu penjaga makamnya untuk membuka kain penutupnya. Toh, memang tujuannya bukan untuk merusak makam yang dikeramatkan itu, tapi melihat dari dekat, meneliti, atau apapun itu judulnya. Seperti yang terjadi di beberapa tempat yang saya datangi, para juru rawat atau penjaga makam atau kuncen, menerima kita dengan tangan terbuka, lho. 

Seperti halnya penjaga makam yang ada di area ini. Meski di hari kedatangan saya ini, ia sedang keluar dan kami hanya diterima isteri dan putrinya saja. Namun, kepercayaan itu sudah didapatkan sebelumnya. Kedua mamang yang datang bersama saya ini sudah meminta izin, dan ia sudah mengizinkan membukanya bila maksudnya adalah untuk pengetahuan. Tidak ada halangan yang berarti bagi kami untuk melihat motif nisan di balik kain putih itu. Tentu bukan saya juga yang membukanya. Ada Mang Heri yang bersiap membukanya.

Sementara Mang Heri membuka kain putih, saya terus merekamnya. Setidaknya, ada tiga nisan yang dibuka penutupnya. Ada motif unik yang terukir di sana, khususnya pada makam yang disebut sebagai Kebo Bule itu. Motifnya serupa kembang pakis yang saling bersilang dan berhadapan. Ada pula motif tombak di makam terakhir yang kami buka penutupnya hari ini. Untuk mengetahui makam ini berasal dari zaman mana, tentu harus dilakukan penelitian lebih lanjut.

Dan tentu kedatangan saya kali ini akan disambung dengan kedatangan selanjutnya. Semoga kita semua selalu sehat.




You Might Also Like

0 Comments