utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact

 
Aneh. Setiap kali kamu mendatangi mimpiku, ada saja yang membuatmu mengamuk. Entah hanya sekadar gerak mulut yang menjadi tanda bahwa kau sangat keras mengucapkannya, hanya saja aku tidak mendengarnya. Tubuhmu yang gemetar, barangkali kamu sedang menahan marah, atau matamu yang mendelik seolah hendak melompat keluar.
Sebenarnya, apa sih yang buatmu selalu marah? Kadang pertanyaan itu muncul ketika mataku baru saja terbuka. Menyusul pertanyaan selanjutnya, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Barangkali aku telah....
Barangkali kamu.....
Tapi, 'apa salahku?' masih terus berada di lingkaran besar dalam kepalaku. Hingga akhirnya menciptakan ketakutan-ketakutan tersendiri. Misalnya, saat aku berjumpa denganmu, dan melihat raut wajahmu. Kuterka, sering kuterka. Apa mood-mu sedang bagus, atau malah sebaliknya. Tidak hanya itu, aku juga sering mengocok dadu: kamu akan mendekat, atau tidak.
Aih! Mungkin ini tidak masuk akal, tapi aku selalu takut pada kemarahan siapa pun. Apalagi kemarahanmu. Jadi, apa salahku? Ah! Bukan, bila benar aku bersalah, maukah kamu memaafkanku?

  • 0 Comments


Lomba Cipta Cerpen Nasional STAIN Purwokerto dengan tema "Perempuan dan Kesucian" diikuti oleh 571 peserta dari berbagai kampus.
         Penilaian cerpen meliputi kesesuaian isi dengan tema lomba, naskah ditulis dengan menampilkan kebaruan (baik dari sisi keindahan maupun wacana), tata bahasa yang segar dengan bunga bahasa yang selaras dengan isi, pembentukan karakter tokoh yang detail, serta penggambaran situasi dan kondisi yang mampu meruang.
         Seleksi dilanjutkan ke tahap kedua dengan Dewan Juri berusaha untuk menentukan naskah yang berhak menjadi juara. Adapun dalam pengumuman ini, baru diumumkan nama-nama dan asal kampusnya saja.
        Untuk pengumuman siapa saja yang menjadi juara dan pengurutan nominasi, akan diumumkan pada saat launching antologi dari hasil lomba ini, yakni pada Selasa 20 Mei 2014 di STAIN Purwokerto Jln. A. Yani 40-A Purwokerto. Maka itu, dimohon untuk bisa hadir dalam acara launching tersebut.
        Berikut ini adalah nama-nama yang masuk nominasi (atau mungkin menjadi juara):
  1. IAIN Walisongo Semarang [Dina Kamila]
  2. ISTINKA [Moh. Azizi]
  3. STAIN Pamekasan [Zainul Muttaqin]
  4. STAIN Purwokerto [Avanda Melawati]
  5. STAIN Purwokerto [Ayyu Khoirinnisa]
  6. STAIN Purwokerto [Intan Nur Azizah]
  7. STAIN Purwokerto [Inten Mustika K]
  8. STAIN Purwokerto [Ma’mun]
  9. STKIP PGRI Sumatra Barat [Budi Saputra]
  10. STKIP Rangkasbitung [Uthera Kalimaya]
  11. STTT Telkom Purwokerto [Whitny Widyasari]
  12. UAD Yogyakarta [Rio Pamungkas]
  13. UGM [Stefani Sisilia]
  14. UHAMKA [Aldila Caesario Ramadhan]
  15. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [Marsus Banjarbarat]
  16. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [Wahyudi Kaha]
  17. UMP [Adi Pramudya]
  18. UMP [Ahmad Sultoni]
  19. UMP [Hendrik Efriyadi]
  20. Udiksha [I Wayan Sumahardika]
  21. UNDIP [Umi Ibroh]
  22. Universitas Andalas [Dafriansyah Putra]
  23. Unversitas Indonesia [Lidya Pawestri A]
  24. Universitas Katolik Widya Mandira [Saddam HP]
  25. Universitas Negeri Malang [M. Fahrul Lukmanul Khakim]
  26. Universitas Negeri Medan [Rahmadyah Kusuma Putri]
  27. Universitas Negeri Semarang [Kharis Teguhraharjo]
  28. Universitas Udayana [Jesiaman Silaban]
  29. Untirta [Doni Apriyanto]
  30. UNY [Mawaidi D. Mas]
  31. UNY [Reddy Suzayt]
  32. UNY [Weda S. Atmanegara]
  33. UPI [Zulfa Nasrullah] 
Juri Lomba Cipta Cerpen:

1. Drs. Joni Ariadinata (Sastrawan dan redaktur Majalah Sastra Horison, Jakarta)
2. Abdul Wachid B.S, S.S., M.Hum (Dosen ilmu sastra/ sastrawan)
3. Arif Hidayat, S.Pd., M.Hum (Dosen Ilmu sastra/satrawan)

Sumber

** Alhamdulillah. Meskipun dikirimkan saat detik-detik terakhir, dan sedikit stres. Semoga akan ada kabar baik lainnya yang menyusul. :-)
Terima kasih, panitia, dan Tuan-tuan Juri. :-)
  • 0 Comments



Barangkali inilah firasat itu. Sebelum benda hilang, saya suka merasa harus mengabadikannya, atau sekonyong-konyong saja ingin memegangnya. Dan benda ini pun demikian. Beberapa hari sebelum hilangnya, saya sempat berpose bersamanya. Saya merasa benar-benar menyesal karena tidak menjaganya dengan baik. Dan saya juga menyesal karena belum bisa menyingkirkan keteledoran dan kecerobohan saya. Duh! Saya rasa, tulisan ini akan menampar kedua hal itu agar menjauh dari saya. Pergilah kau, teledor! Pergilah kau, ceroboh!

    Beberapa benda yang hilang, dan sempat saya abadikan yaitu:

1. Binder bersampul denim kesukaan saya.
Binder hilang di Sahara, Marbella Hotel, Anyer.
    Binder ini hilang ketika saya membawanya ke acara Final Festival Music All Genre yang diselenggarakan oleh Disbudpar Banten yang bekerjasama dengan Komunitas Musisi Banten (Kamus Banten) pada 07 April 2014 di Sahara room, Marbella Hotel, Anyer. Hal terakhir yang saya ingat hanya ketika saya mengambilnya dari tas untuk mengeluarkan susunan acara yang diberikan panitia dari Kamus Banten dan catatan band yang masuk final. Saya berbincang dengan panitia dari Disbudpar Banten yang memberikan susunan acara pokok hari itu.
Akan tetapi, keteledoran saya rupanya bermula dari sana. Saya lupa mengembalikan binder ini ke tas saya. Dan keesokan harinya saya baru ingat, bahwa binder itu sudah raib.
    Hingga saat ini, saya masih berharap binder ini bisa kembali ke tangan saya lagi. Meskipun tidak ada catatan penting, tapi di binder itu juga ada schedule band The Cero, dan Soul Ego, juga ada list lagu, dan beberapa catatan pribadi saya; jadwal kereta Kalimaya, misalnya. Puisi, lirik lagu, dan lainnya. Karena itu, bila kamu (yang menemukan binder bersampul denim) dan ada nama Uthera Kalimaya di dalamnya, ada pass foto, dan kartu anggota Komunitas Penulis Perempuan Indonesia, silakan hubungi nomor telepon yang tercantum di sana untuk mengembalikannya. Insyaallah akan saya berikan imbalan secangkir kopi yang akan saya buat sendiri. 

2. Kaos Corak Mesir (Garut dan Pernikahan Sahabat)
Kaos ini pun hilang di jemuran, dong.
    Benda yang kedua adalah baju. Ini perasaan saya masih campur aduk kalau mengingatnya. Bagaimana tidak, baju ini hilang di jemuran, men! Masya Allah banget, kan? Gila! Bravo atau apa pun itu. Entah siapa yang mengambilnya, barangkali terbawa penghuni kost lain yang sudah pindah, atau memang sengaja mengambilnya karena baju ini bagus. Lho? Bukan hanya saya yang bilang begitu, lho. Ada beberapa orang yang bahkan memintanya.
     Saya membeli kaos ini saat saya mengantar seorang sahabat yang menikah di Garut. Dua pasang pakaian yang saya bawa rupanya tidak cukup, sebab setelah resepsi saya diminta menemani sahabat saya itu hingga akhirnya kami bisa pulang kembali ke Serang. Memang agak aneh, sih, permintaannya. Pengantin baru ingin ditemani, yang memintanya lelaki pula. Ha. Karena permintaan itu pula, saya dan kedua kawan lainnya akhirnya tinggal di sana. Rencana pulang keesokan harinya, ternyata harus dibatalkan karena orang tua pengantin perempuan melarang pergi. Keesokan harinya lagi, kepulangan kami pun harus diundur lagi, dan lagi. Hingga akhirnya saya merengek ingin ganti baju. Maka, pergilah kami ke kota Garut. Kaos inilah yang kemudian saya pilih. Dan karena hilang, rasanya saya ingin kembali ke Garut untuk melihat apakah kaos serupa masih ada atau tidak. Ah, sayang sekali.




  • 2 Comments
Jujur saja, terkadang saya tidak terlalu paham mana yang termasuk kategori alay, dan mana yang tidak alay. Seperti yang sudah kita ketahui, alay itu adalah fenomena prilaku remaja Indonesia yang ngetren beberapa tahun belakangan ini. Sedangkan di Filipina, fenomena ini disebut Jejemon.
        Menurut wikipedia, alay merupakan akronim dari "anak layangan", atau "anak lebay". Istilah ini merujuk pada stereotipe yang menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan. Selain itu, alay juga merujuk pada gaya yang dianggap berlebihan (lebay) dan selalu berusaha menarik perhatian. Dari segi bahasa, bahasa tulis seseorang yang dikategorikan alay ini merujuk pada kesenangan menggabungkan huruf kapital dan huruf kecil, menggabungkan huruf dengan angka dan simbol, atau melakukan penyingkatan terlalu berlebihan. Mereka juga memiliki aturan sendiri, yakni diperbolehkan memakai 13 abjad dan sisanya angka dan simbol. Dari segi bicara, seseorang yang dikategorikan alay ini memiliki intonasi dan gaya bicara yang berlebihan. Tidak hanya dari segi bicara, dari cara mereka berpakaian pun rupanya serius. Maksud saya, mereka memiliki trend busana sendiri. Entah seperti apa. Hanya saja trend busana ini cepat sekali menyebarnya.
       Senada dengan wikipedia, kitabgaul.com juga menyebutkan alay merujuk pada anak layangan, lebay berlebihan, subjektif menunjuk seseorang memiliki paradigma dan sikap yang berlebihan dalam menanggapi sesuatu, bisa juga dengan gaya bahasa dan gaya menulis yang terlalu aneh. Alay juga disebut sebagai sekelompok orang yg menggunakan gaya berbicara yg berlebihan dan menggunakan tulisan bercampur angka sekaligus mengguanakan huruf besar dan kecil yang tidak wajar. Misalnya, QTa eN3 eM4Nk 4LaY GhHeToO.
      Nah, kita masuk pada inti dari pembicaraan ini, okay?
    Saya sengaja menulis ini karena seseorang (beberapa orang) telah sembarang memberikan cap alay pada siapa pun. Mari kita jadikan saya sebagai tumbal (ya memang ini cerita saya, piye, ya?). Saya sampai melihat lagi isi tulisan, tanda baca, dan sebagainya. Saya mencari letak 'alay' yang ia sebutkan. Dan saya tidak menemukan. Ada yang bisa menunjukan?
     Barangkali memang tulisan saya banyak metaforanya. Baik dalam puisi, cerpen, atau dalam catatan-catatan saya. Tapi, bila gaya bicara yang meng-aku-kan diri pun disebut alay, hello! Menurut ngana yang kagak lebay itu macam mana? (--__--")
  • 0 Comments



 Tidak bisa tidur karena banyak suara di kepala, itu mungkin sudah biasa terjadi pada saya. Saya menyebutnya ‘setan kepala’. Karena itu, saya memutuskan untuk mengenyahkannya dengan cara joging. Hari Minggu (13/04) ini seperti biasa Car Free Day sedang berlangsung, dan ke sanalah kaki saya berlari. Lopang Indah tempat tinggal saya dengan lokasi Car Free Day tidak sejauh tempat tinggal saya yang dahulu. Dan tentu saja ini memudahkan saya untuk turut serta menikmati lengang jalan dari kendaraan di Kota Serang.
Car (no) Free Day Serang
      Akan tetapi, pemandangan yang kemudian saya dapatkan ternyata tidak selengang yang saya kira. Tidak hanya banyaknya pedagang dadakan yang mengisi ruas-ruas jalan Diponegoro, namun kendaraan bermotor pun banyak yang meloloskan diri dari plang bertuliskan “Di Sini Sedang Berlangsung Kegiatan Car Free Day” yang dipasang di besi yang menghalangi separuh jalan Diponegoro, Pocis.
       Saya mulai melanjutkan kegiatan menghilangkan ‘setan kepala’ ini dengan berlari di luar area Alun-alun Serang. Saya lihat, mobil perpustakaan keliling Kabupaten Serang terparkir di sisi badan jalan, mobil PMI juga terparkir. Dan yang terakhir itu membuat saya lega. Terus terang, terakhir kali hendak donor, saya tidak diperbolehkan karena baru selesai haid. Saya harap hari ini saya bisa.
     Kembali ke jogging. Memilih tempat jogging mengelilingi luar areal Alun-alun itu sebenarnya cukup beresiko. Saya harus berhati-hati, maksud saya, saya harus pandai-pandai menghindar; menghindar dari orang-orang yang juga turut meramaikan kegiatan ini dengan berolah raga dan berbelanja, juga menghindari kendaraan yang memang berada di jalur yang sengaja dibuka. Memang, ada jogging track di Alun-alun Timur, namun melihat banyaknya orang yang berada di sana; ada yang jogging, jalan kaki, senam, dan duduk-duduk saja. Dan setelah mengitari 2 alun-alun sebanyak 4 kali, saya pun mencoba berlari di jogging track itu.
        Tapi, kamu tahu? Ternyata berlari sambil menghindari orang-orang yang berjalan kaki itu lebih sulit dibanding berlari sambil menghindari kendaraan. Di jalan, mungkin kamu bisa terkena senggolan kendaraan. Tapi di jogging track dengan banyak orang yang berjalan kaki seperti pagi ini, selain bisa menyenggol orang juga bisa membuat mood berlari atau berolah raga kamu hilang. Jadi, pilih mana?
Koran Minggu
      Setelah kembali ke luar Alun-alun, saya kembali melanjutkan jogging. Dua, empat, lima putaran sebelum akhirnya saya berbelok ke arah lapak koran di RSUD Serang. Di sana seperti biasa saya meminta ijin mengintip koran, sebelum tentu saja membelinya. Bercengkrama sejenak dengan mamang koran, sedikit berbincang tentang politik, sosial, dan permasalahan lainnya, membuat saya agak keasyikan. Dan setelah mendapat koran yang saya inginkan, saya segera pamit untuk melanjutkan jogging.

Car Free Day?
      Namun, saat saya sampai di depan Ramayana Serang, saya melihat orang-orang yang tampak berkumpul dan ribut. Hanya satu alasan saya menghampiri mereka; ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dan rupanya anak-anak sketboard yang sedang asyik bermain di bawah jembatan penyebrangan itu terpaksa harus menyisi karena ada beberapa mobil tanpa berdosa lewat. Beberapa orang saya dengar menggerutu: “Ini kan car free day, gimana sih. Goblok!”, “Nggak tahu ada car free day, apa bego?”, “mentang-mentang punya mobil, orang kaya, lagi car free day juga dilolosin. Dasar polisi,” dan gerutuan lainnya. Mendengar gerutuan itu membuat saya merasa risih, tapi melihat kendaraan-kendaraan itu lolos—meski ada polisi di sana, saya juga merasa sebal.
Ibu petugas Perpustakaan Keliling Kab. Serang
       Setelah melihat kejadian itu, niat saya melanjutkan jogging jadi urung. Saya kemudian berjalan menghampiri mobil perpustakaan Kabupaten Serang yang terparkir di bahu jalan atau di depan Alun-alun Barat. Buku-buku yang saya temukan bagus, dan itu membuat saya ingin membacanya.
     “Bisa dipinjam dan dibawa pulang, bu?” Tanya saya ke seorang petugas Perpustakaan.
     “Nggak bisa, dik. Harus daftar dulu ke perpustakaannya,” jawabnya. Saya kemudian menanyakan letak perpustakaan Kabupaten, jam kerja, dan persyaratan untuk menjadi anggota.
     “Kalau mau jadi anggota harus bawa KTP sama KK,” ujar ibu berkaos jingga dan berkerudung dengan warna senada itu.
     “KK? Kartu Keluarga?” Kaget saya. “Nggak cukup KTP aja, bu?” Saya menahan tawa.
    “Iya, harus bawa Kartu Keluarga juga, soalnya buat administrasi,” jawab ibu itu. Saya mulai tertawa. Sungguh! Ini peristiwa terlucu pertama hari ini. Ibu itu menatap saya, barangkali ia heran.
      “Bu, saya masih lajang, keluarga saya jauh di luar kota. Bagaimana dong?” Tanya saya lagi sembari menahan tawa. Saya pikir ibu ini sedang bercanda, sehingga tadi saya tertawa sepuasnya.
      “Yah, gimana ya, itu prosedurnya begitu,” ucapnya dengan mimik serius. Saya mendelik. Serius?
Pengunjung Perpustakaan Keliling Kab. Serang
      “Oh, ya udah atuh, bu,” pamit saya. Setelah lumayan jauh, saya langsung tertawa terbahak-bahak lagi. Demi apa pun juga, saya tidak pernah mendengar bila hendak mendaftar jadi anggota perpustakaan harus membawa Kartu Keluarga juga. Saya hanya pernah mendengar membawa kartu itu bila hendak kredit barang elektronik. Tapi, saya tidak heran bila hal ini terjadi di Serang. Entahlah, perpustakaan di sini suka ribet—kecuali di Perpusda, sih. Ada perpustakaan yang mewajibkan anggotanya memiliki kartu anggota, jika tidak memiliki hendak membaca pun tidak boleh. Oke, bila alasannya peraturan itu juga diterapkan di Perpusnas. Karena saya belum pernah memasukinya, dan saya tidak tahu berapa banyak koleksi buku Perpusnas. Bayangan saya mungkin buku-buku langka juga banyak di sana, sehingga petugas Perpusnas harus ekstra hati-hati. Nah, perpus yang ini. Udah koleksinya sedikit—padahal tiap tahun ada sumbangan dari alumni, lho—sempit, selalu acak-acakan, adanya di kampus pula. Lalu ke mana buku-buku sumbangan alumni? Hello!
           Lha? Kok ngomongin perpustakaan?
        Kembali ke perjalanan saya. Setelah dari mobil Perpustakaan Keliling itu, saya lalu berjalan ke arah mobil PMI. Mengisi formulir, dan menghampiri kakak PMI—tampan (aih, tumben)—yang bertugas mengecek tensi darah pun saya lakukan.
Kakak PMI--yang tampan.
     “Wah tensinya kurang nih, kak. Cuma 90,” kata kakak PMI—tampan—itu.
      “Masa, sih, kak? Duh, gimana dong?” Ujar saya agak bingung.
      “Udah sarapan belum?” Tanyanya. Saya menggelengkan kepala. “Coba kakak sarapan dulu, siapa tahu nanti tensinya naik,” sambungnya. Saya menganggukan kepala. Dalam hati saya berujar; “kalau sarapannya disuapin kakak, mungkin tensi saya segera naik, lho’.
        Bubur ayam seharga Rp. 7000, saya pilih sebagai menu sarapan saya pagi ini. Mas dan mbaknya sangat ramah—mbaknya sedang hamil. Barangkali mereka baru beberapa bulan atau tahun menikah.   Ah, kenapa saya jadi membahas mereka?
        Singkatnya, setelah sarapan dan membayar sebotol air mineral, saya langsung kembali ke mobil PMI. Saya bertemu lagi dengan kakak PMI—sekali lagi, yang tampan itu. Ia tersenyum, pun saya.
Tensi darah
       “Sudah sarapan, kak?” Tanyanya ketika melihat saya duduk dan langsung menjulurkan tangan meminta ditensi. Saya mengangguk. Kalau tangan saya sudah dipegang jangan dilepas, lho, kak. Batin saya. “Wah! Kok masih 90, ya, kak?” Ucapnya seraya tertawa. Saya mendelik.
        “Masa, sih, kak?” Ucap saya kaget. “Yah! Gimana dong? Udah dua kali lho begini terus,” sambung saya serada curhat. Kakak PMI itu mengiyakan, ia tersenyum.
         “Mungkin lain kali saja, kak,” ujarnya seperti mencoba membesarkan hati saya. “Terima kasih, ya, kak,” sambungnya. Saya mengiyakan, dan pamit. ‘Coba tadi sarapannya disuapin kakak, mungkin tensi saya benar-benar naik,’ gumam saya sembari berjalan menjauh.
         ‘Makanya ngomong langsung, jangan cuma berani ngomong dalam hati aja,’ ujar seseorang di kepala saya. Setan kepala masih ada! (*)

JEPRET!
Car (no) Free Day Serang (13 April 2014)



 
  • 0 Comments


Di sini semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing; seorang gadis memilih buku dan seorang lelaki yang memabantu, dua orang anak menjajakan balon, calo yang berteriak memanggil penumpang, dan tentu saja di balik kaca itu; orang-orang menghadap berloyang pizza. Sementara di depannya, seorang lelaki renta dengan baju lusuh, tongkat, tas plastik, dan ember plastik kecil di hadapannya tengah terpekur. Barangkali ia tidur.

Sejenak kulayangkan pandangan ke restoran di belakang kakek itu. Kulihat orang-orang yang berada di sebalik kaca juga menatapku. Barangkali mereka pikir aku seorang kere yang mupeng ingin makan di sana, atau seseorang yang sedang mencari kawannya, atau pikiran lainnya.

Ya, aku memang sedang berpikir. Berpikir bagaimana aku bisa masuk ke sana bersama kakek yang sedang terpekur itu, meski isi saku tidak lebih dari lima puluh ribu.

Akhirnya, kuhela nafas. "Doakan aku menjadi kaya, Kek," gumamku sembari merogoh saku.
  • 1 Comments



Barangkali tak ada bintang paling besar yang pernah kulihat selain lima bintang di langit malam itu. Malam di mana kamu melontarkan kekata yang menyakiti telingaku, andai aku bisa mendengarnya. Di ruang keluarga rumahku, tubuhmu bergetar, api berlompatan dari mata cokelatmu. Aku merasa tidak harus bertanya, kenapa kamu bisa berada di rumahku. Meski sejujurnya aku ingin sekali bertanya, dari mana kamu tahu rumahku.
       Saat itu, udara kematian menyeruak di penciumanku--penciumanmu. Dari celah pintu, kulihat bapa berbaring di ranjang, sementara di samping ranjang kulihat mamah dengan bening air matanya. Aku merasa harus menyesal, andai aku lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka. Andai mereka tidak mengirimku jauh dari rumah. Andai. Kuputar pandanganku ke televisi layar datar di dekat rak tempat segala arsip bapa. Kulihat seorang pembaca berita berambut pendek sedang menunaikan tugasnya. Tahukah kamu, aku pernah bercita-cita seperti dirinya.
        Kemudian, mataku kembali padamu yang masih bergetar. Segera aku mendekat.
"Kenapa kamu marah?" Tanyaku sembari menyentuhkan kedua telapak tangan di dadamu. "Baiknya kamu marah di luar saja, yuk," ajakku. Kamu sedikit menahan tubuhmu, meski tak sekuat tenaga, sehingga aku masih bisa menarikmu menuju halaman.
      Udara malam terasa hangat di kulitku. Sementara kulitmu di tanganku terasa lebih panas dari biasanya. Dadaku terus bertanya, kamu sebenarnya kenapa? Marah karena apa? Apa kesalahan yang telah kuperbuat? Meski semuanya tak kuucapkan. Sebab, aku merasa sangat mengenalmu; api yang membutuhkan air, bukan angin sebagaimana unsurku.
      Sementara kamu meneruskan semburkan api dari mulut, mataku berkelana ke angkasa. Kulihat langit teramat cerah. Galaksi Bima Sakti tampak nyata di mata. Tapi ketika kuputar pandangan tepat ke atas kita, seketika mataku terbeliak takjub. Ada lima bintang paling besar yang mengelilingi kita. Lima bintang. Segera kusentuh lenganmu, dan menggoyangkannya beberapa kali.
      "A, lihat langitnya. Indah sekali," ucapku serupa gumam pada diriku sendiri. Mulutmu seketika mengatup, dan turut mendongakan kepala. Kamu melihatnya juga?
    "Indah, bukan?" Ucapku seraya menatapmu dan melempar senyum. Kepalamu mengangguk sembari membalas tatapanku dengan tatapan sendu penuh rindu. Bibirmu merekah menyambut senyumanku. Kamu tersenyum. Dengan senyuman yang selalu buatku merasa mampu melakukan apa saja, dan menjadi apa saja untuk mereguk kebahagiaan bersamamu.
    "Kamu sudah tidak marah lagi, kan?" Tanyaku sembari merangkul pinggangmu. Kamu balas merangkul, dan menggelengkan kepala. "Syukurlah," ucapku. Kuelus dadamu beberapa kali dan sengaja terus menaruh tanganku di sana. Kulekatkan kepalaku di dadamu. Sementara kamu mengecup pucuk kepalaku. Saat itu, kudengar detak jantungmu telah berdetak sama seperti detak jantungku, tidak lebih cepat, tidak lebih lambat; sama. Aku bahagia, dan aku merasa kamu pun merasakan hal yang sama. Bahagia.
    Terakhir, aku berdoa semoga Tuhan benar-benar telah memberkati kita. Dan akan terus memberikan restunya dengan cinta yang tulus, kebahagiaan, kebersamaan, dan kasih sayang tanpa mengenal waktu dan keadaan. Meski cerita ini hanya ada dalam mimpiku, beberapa malam lalu. Aku percaya. Kamu?
  • 0 Comments


Senja baru saja tiba ketika motor yang kita kendarai membelah Jalan Veteran. Entah dari mana kita sore ini, tapi jelas hanya habis berjalan-jalan saja. Barangkali mencari udara segar, atau cuma mencari makanan untuk perut kita yang melulu lapar. Kamu melajukan motor dengan pelan, seperti tak ingin segera sampai di tujuan, tempat tinggalku.
     Di kanan jalan, kulihat pedagang kaki lima mendorong lapaknya menuju Pasar Royal tempat biasa mereka mangkal, kulihat pula pengemis buta yang dituntun seorang perempuan seusianya—barangkali istrinya—ibu jarinya tak pernah berhenti menghatur dzikir. Saat ini, tubuhku dan tubuhmu masih mencipta jarak. Sejengkal? Entahlah. Hanya saja, suhu tubuhku yang tak karuan membuatku merasa harus segera bersandar padamu.
      “A boleh meluk sebentar, ya,” ucapku meminta ijinmu. Kamu tertawa sembari menganggukan kepala.
       “Kamu kenapa?” Tanyamu.
      “Nggak tahu, tiba-tiba ngerasa nggak enak badan,” jawabku sembari menyandarkan kepala di pundakmu. Kupejamkan mata. Seketika aku merasa bumi sangat cepat berputar. Pepohonan di pinggir jalan berlarian ke belakang, orang-orang, dan segala hal di pinggir jalan itu. Meski kamu tidak melajukan kendaraan secepat itu. Namun, elusan di kepalaku membuat segalanya kembali ke semula. Tanpa kubuka mata, tanganku mencari tangan yang hinggap di kepalaku. Setelah tertangkap, barulah kubuka mata. Kulihat, jemarimu di depan wajahku, sementara tangan satu menyetir motor.
      “Ooh,” gumamku sembari menaruhnya kembali ke kepalaku. Lalu memejamkan mata kembali, sembari meletakan kepala di punggungmu. Kudengar kamu tertawa. Entah maksudnya apa.
  • 0 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top