utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact



A : Ajari aku memaki hari ini.
B : Jangan. Dosa. Ikhlaskan saja bila ada yang menyakitimu.
A : Apa yang kamu tahu mengenai dosa?
B : Sedikit tahu.
A : Kalau begitu, maukah kamu menamparku sekali saja, saat kita bertemu nanti?
B : Akan kulakukan.
A : Sungguh?
B : Ya. Sedari dulu ingin kulakukan.
A : Oh, bagus. Kalau begitu, sampai jumpa nanti sore.
B : Sampai jumpa. Jangan lupa salat dan berdoa.
A : Ya. Kamu juga.
*
B : Apa yang akan kamu lakukan jika aku memiliki pacar?
A : Memberimu selamat?
B : Hanya itu?
A : Hmm, mungkin memintamu membelikanku cumi bakar sebesar telapak tangan?
B : Benarkah hanya itu?
A : Hmmm, belikan aku novel-novelnya Dan Brown, Paulo Coelho?
B : Kenapa kamu selalu meminta dibelikan sesuatu? Apa kamu benar-benar hanya menginginkan itu?
A : Hmm, karena mungkin nanti aku akan kesepian. Karena itu, bantu aku untuk tidak kesepian.
B : Hahaha. Kamu lucu. Tentu saja aku akan membagi waktu untukmu dan pacarku yang akan datang.
A : Oh, aku pikir itu tidak akan terjadi.
B : Sungguh, aku tidak sama seperti orang-orang yang melupakan kawannya untuk bersama pacarnya.
A : Ooh. Kau terlalu banyak membual.
B : Percayalah.
A : Oke.
 *
 (Beberapa bulan kemudian)
A : Tumben kamu datang ke kostanku.
B :  Maaf. Lama tidak mampir.
A :  Tidak heran.
B : Hmm, maaf. Pacarku agak sulit ditinggalkan.
A : Kamu pacaran dengan permen karet?
B : Hmm. Semacam itu. Pacarmu tidak pernah ke sini?
A : Pacarku? Kamu lupa sesuatu?
B : Ooh. Kamu belum punya pacar? Kukira dengan dia...
A : Jika kamu bukan cenayang, jangan mengira-ngira sesuatu. Apalagi yang berhubungan denganku.
B : Ah..., aku jadi kangen dengar omelanmu itu.
A : Aku tidak ngomel.
B : Masa? Apa kamu marah karena kita tidak pernah ngobrol lagi?
A : Tidak, tentu saja.
B : Kamu tidak jujur.
A : Ya. 

  • 0 Comments



Novel ini menceritakan riwayat hidup dari William Stanley Milligan atau Billy Milligan, orang pertama dalam sejarah Amerika yang dianggap tidak bersalah atas berbagai tindak kejahatan serius dengan alasan tidak waras. Billy Milligan menderita pemecahan kepribadian sehingga dia memiliki 24 kepribadin yang berbeda satu dengan yang lain. Billy Milligan pertama kali memunculkan alter egonya pada saat ia berusia 3 tahun, christine, seorang gadis kecil yang menderita disleksia.
Adapun beberapa alter ego yang ternyata beberapa menyelamatkan nyawanya, pada saat Billy memasuki usia 16 tahun, ia mencoba bunuh diri, tetapi alterego yang bernama ragen (rage again) menghentikan tubuhnya, serta menghindarkan Billy dari percobaan bunuh dirinya.
Jumlah alter ego Billy ada 24, 10 dari mereka adalah "mereka yang diinginkan", dan sisanya adalah "yang tidak diinginkan", fusi dari semua aler ego tersebut akan memunculkan satu kepribadian, sang guru.
Esensi dari buku ini adalah tentang bagaimna Billy Milligan bisa memiliki alter ego, semua itu dia munculkan karena pelecehan seksual oleh ayah tirinya, serta perjuangan seorang William Stanley Milligan untuk bisa meraih kebebasannya, salah satu alter ego dari Billy merupakan seorang wanita yang memilki penyimpangan seksual, adalana, yang memperkosa 3 gadis muda dari 3 tempat yang berbeda.
Kisah hidup Billy telah diadaptasi ke dalam layar lebar.

PengarangDaniel Keyes
Judul asli'The Minds of Billy Milligan'
PenerjemahMiriasti dan Meda Satrio
Perancang sampulAndreas Kusumahadi
NegaraAmerika Serikat
BahasaBahasa Indonesia
GenreNovel dari kisah nyata
PenerbitQanita
Halaman700
ISBN979-3269-37-5
Download E-book


Source wikipedia.
  • 0 Comments



Saya tidak pernah benar-benar tahu apa yang saya pikirkan hingga kepala saya memberontak sejak dua bulan lalu. Obat sakit kepala yang saya beli di mini market, pereda nyeri yang menyisa di dompet ajaib, dan bahkan entah obat apa pun yang ada di dompet itu, saya meminumnya dengan sungguh. Padahal, keberadaan obat-obat itu pun karena saat saya diserang sakit saya tidak pernah meminumnya. Yah, hanya ketika sakit saja saya meminumnya. Setelah tak terasa ada sesuatu yang sakit, saya membiarkannya di dompet ajaib itu bersama obat-obat lain dari latar belakang sakit yang berbeda.
        Kebiasaan saya itu tentu saja tidak baik. Bahkan dokter yang terakhir kali saya datangi, memarahi dan menjuluki saya sebagai pasien yang senang mencelakai dirinya sendiri. Menghabiskan obat yang diberikan dokter itu harusnya menjadi kewajiban selain melakukan ibadah dan tidak menyakiti siapa pun. Seorang kawan pernah menasehati saya, agar saya tidak sering mengkonsumsi sembarang obat. "Menyetok obat-obatan itu memang baik, tapi jangan sering meminum obat itu. Itu membuatmu bodoh," ujarnya.
          Sejak kawan saya mengatakan hal itu, saya berhenti memasukan obat itu ke dalam daftar persediaan obat saya. "Obat itu membuatmu bodoh!" kalimat itu sering terngiang di telinga saya. Entah kenapa saya mempercayainya, meskipun saya merasa bodoh karena tidak mengetahui apapun soal obat dan zat yang terkandung di dalamnya. Benarkah bisa meredakan sakit? Atau memang benar, bila ternyata mereka yang berada di lab itu menambahkan zat yang membuat siapapun yang meminum obat itu menjadi seorang yang bodoh.
          Jika memang benar ada zat yang bisa membuat seseorang menjadi bodoh dalam obat sakit kepala, barangkali ada pula obat yang membuat seseorang menggunakan kemampuan otaknya secara maksimal, macam di film-film Sci-Fi. Walaupun dalam film itu digambarkan bahwa obat itu adalah obat terlarang, narkoba jenis baru atau apapun sebutan mereka. Limitless (2011), misalnya. Film Hollywood ini menceritakan mengenai orang-orang yang mengkonsumsi obat jenis baru, obat yang memberikan rangsangan kuat bagi otak mereka untuk bekerja. Menjadi lebih cerdas, lebih mudah mempelajari hal baru, pokoknya  mereka menggunakan otak mereka dengan maksimal. Tidak disebutkan berapa persen mereka menggunakan kemampuan otaknya. Hanya saja, saat mereka berhenti mengkonsumsinya, kemampuan mereka menurun, pun kesehatan mereka.
        Lain negara, lain cerita. Dalam film Lucy (2014). Film Eropa ini berkisah mengenai Lucy (Scarlett Johansson), seorang mahasiswa asal Amerika yang sedang study di Taipe. Ia ditipu pacarnya dan harus berurusan dengan pengedar narkoba asal Korea bernama Mr. Jang (Min-sik Choi). Lucy tidak mengetahui bila isi koper yang harus diantarkan itu adalah narkoba jenis baru bernama CPH4. Konflik berlanjut hingga Lucy siuman dan menyadari perutnya telah dibedah. Seseorang memasukan salah satu kantong dari empat kantong CPH4 itu ke dalam perutnya. Lucy tidak sendiri, ada tiga lelaki lain yang perutnya dibedah.  Mereka berempat itu harus mengantarkan narkoba ke empat tempat yang berbeda. Sayangnya, CPH4 di perut Lucy bocor dan itu mulai mempengaruhi dirinya. 
       
Luc Besson, sutradara film ini membuat Lucy menggunakan kapasitas otaknya mulai dari 10% dan terus bertambah seiring berjalannya waktu dan masalah yang terjadi. Kemampuan Lucy pun bertambah, mulai dari bisa membaca dan berbicara bahasa Mandarin, membaca cepat ribuan halaman di internet, berkelahi, menggerakkan benda, dan lainnya.
       Kembali ke obat sakit kepala saya, film ini cukup membuat sakit kepala saya sedikit mereda, sci-fi memang genre yang selalu saya gemari dibanding horror. Hanya saja, pada detik-detik akhir film, sakit kepala saya mulai kambuh melihat Luc Besson menjadi Tuhan.



  • 0 Comments

Jika aku kembali ke sepuluh tahun lalu
tidak akan kugugurkan daun albasia di sana
dan membuang waktu dengan mengumpulkannya kembali
lalu menempelkannya ke tempat semula.
  • 0 Comments
Help by LiminalMike on Flickr

Bila seorang yang kamu percaya sebagai soulmate itu menganggapmu sebagai orang yang sangat merepotkan, baiknya kamu segera balikan badan, tinggalkan. Jangan lupa, sebelum melakukannya kamu harus ungkapkan rasa terima kasihmu, karena ia telah menjadi seseorang yang kamu anggap soulmate dan yang kamu percayai tidak akan mengatakan demikian, tapi ternyata kamu salah. Juga, mohonlah maafnya, karena kamu telah menjadi orang yang sangat merepotkan versinya. Lalu, kembalilah percaya, bila di luar sana masih ada soulmate kamu yang sebenarnya dan orang itu tidak akan mengatakan demikian. -- Te.

Kalimat di atas sebetulnya untuk mengingatkan saya. Karena terkadang saya terlalu percaya jika orang saya sayangi--dan saya yakini menyayangi saya kembali, tidak akan menyerah begitu saya semerepotkan apapun diri saya. Yah, seperti twit-nya @RealTalk "a person who truly loves you will never let you go or give up on you, no matter how hard the situation is" kemarin. Logikanya gini, saya tidak akan merepotkan, jika tidak pernah direpotkan. Tapi, tentu saja logika itu patah dengan sendirinya.
       Selain itu, rasanya tak ada salah bila saling tolong menolong, kan? Apalagi kemudian ada kata 'tolong'. Bila diibaratkan materai enam ribu, kalimat memohon bantuan yang dimulai dengan kata 'tolong' itu sudah kuat secara hukum. Tapi, memang tergantung kepala juga, sih. Ada yang menganggap kata 'tolong' itu langsung berhubungan dengan hal yang menyita waktu dan menguras tenaganya. Pokoknya, sesuatu yang diprediksi akan merepotkan. Ada yang menganggap, seseorang yang mengatakannya benar-benar sedang terdesak, sehingga jiwa hero-nya keluar.
      Dulu, saya pernah mendapat kata 'merepotkan' itu. Dan kata itu hingga sekarang melekat di kepala saya. Tiap kali saya benar-benar sedang membutuhkan bantuan seseorang, tangan saya memang menaik-turunkan daftar kontak di ponsel. Memilih, dan mengira-ngira siapa yang jiwa hero-nya paling besar. Entah kemudian saya telepon atau sms. Tapi, kalimat 'merepotkan' itu justru menggema di kepala saya. "Kamu itu merepotkan." Kalimat itu diamini oleh seseorang di kepala saya yang kemudian mengatakan: "jangan merepotkan orang lain. Berusahalah sendiri."
       Lalu, rasa sakit yang dahulu saya rasakan saat mendengar kalimat itu, menari dengan sangat riang. Benar-benar seperti sedang mengejek saya. Karena itu, saya pasti langsung menghapus sms permohonan bantuan itu dan menekan lock screen ponsel, sembari berkata: "kamu bisa melakukannya sendiri, jadilah kuat!" dengan rasa sakit di dada.
          Sekarang, untuk mengenyahkan sakit hati yang sama itu, saya akan serahkan kepercayaan saya pada kata 'tolong'. Tentu saja tanpa mengharapkan bantuan itu benar-benar datang. Saya hanya ingin percaya (lagi) pada kesakralan kata itu, dan pada jiwa-jiwa penolong lainnya. Tanpa melihat apa dia soulmate atau bukan. Apa dia benar-benar akan membantu karena jiwa hero-nya besar atau tidak. Apa dia akan membantu saya atau tidak. Saya percaya--mungkin kamu pun, jika sebagai makhluk sosial kita saling membutuhkan. Am I wrong?
  • 0 Comments


Dewan Kesenian Jakarta membuka kesempatan kepada para penulis novel muda yang sudah memiliki draft novel, snopsis dan atau kerangka (outline) novel untuk mengikuti Akademi Penulisan Novel  DKJ 2014. Kelas akan berlangsung selama tiga bulan, terdiri atas 12 (dua belas) kali pertemuan. Kesempatan ini dibuka untuk 12 peserta terpilih. DKJ akan menanggung biaya akademi, transportasi, dan akomodasi untuk peserta dari luar Jakarta (2 orang) dan peserta dari luar Jawa (2 orang).

Syarat-syarat

  •     Peserta berusia antara 18-25 tahun pada 31 Desember 2014 (dibuktikan dengan melampirkan fotokopi KTP).
  •     Menyertakan  sinopsis novel karya sendiri yang sedang ditulis. Sinopsis novel ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar (bukan bahasa gaul, SMS, dan sejenisnya).
  •     Menyertakan fotokopi satu (1) prosa (cerpen) karya sendiri  yang pernah dimuat di media massa (bukan media internal seperti: majalah sekolah atau kampus, media komunitas, blog, online).

Ketentuan lain
  •     Batas akhir penyerahan syarat dan ketentuan: 15 Agustus 2014 (cap pos atau diantar langsung). Surat lamaran dan berkas pelengkap dikirim ke:   
    Akademi Penulisan Novel DKJ 2014
    Dewan Kesenian Jakarta
    Jalan Cikini Raya 73
    Jakarta 10330
  •     Tempat terbatas: 8 peserta dari Jabodetabek, 2 peserta dari luar Jabodetabek, 2 peserta dari luar Jawa.
  •     Peserta mengusahakan sendiri konsumsi selama kursus karena DKJ hanya menyediakan coffee break selama kursus.
  •     Panitia akan menyeleksi pelamar. Hasil seleksi akan diumumkan pada 30 Agustus 2014 melalui www.dkj.or.id.
  •     Panita juga akan menghubungi pelamar terpilih melalui surel resmi DKJ dan melalui telepon.
  •     Naskah terbaik peserta Akademi akan dibantu penerbitannya oleh DKJ.

Lokasi          : Akademi berlangsung di Ruang Pleno Dewan Kesenian Jakarta,
                     Jln. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat
Jadwal        : September-November 2014 tiap Sabtu, pukul 14.00-16.00 WIB
  • Materi Ajar
  •     Gagasan dan pengelolaannya.
  •     Kerangka karangan.
  •     Riset.
  •     Deskripsi.
  •     Dialog.
  •     Karakter.
  •     Alur/plot.
  •     Metafora, majas, alusi, dan sejenisnya.
  •     Kejernihan bahasa.
  •     Penyuntingan.
  •     Materi non penulisan yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta.

  • 0 Comments

Sebenarnya saya malas membagi info dari rumahdunia.com ini, sebab saya tidak bisa ikut serta di dalamnya. Tapi, untuk kebaikan bersama (tolong hubungi saya bila kamu menang, dan traktirlah. Heu), jadi saya bagikan saja.

Tema Lomba: Indonesia dalam Kritik Sosial

Waktu Pelaksanaan Lomba
1. Pendaftaran 24 Juli - 05 Oktober 2014
2. Deadline pengiriman naskah 5 Oktober 2014 pukul 00:00 WIB
3. Pengumuman Pemenang 25 Oktober 2014
4. Penyerahan hadiah 26 Oktober 2014

Syarat dan Ketentuan:

1. Lomba berlaku untuk umum.
2. Usia peserta dibatasi 25 tahun.
3. Naskah dikirim melalui email:
    a. rdcomcerpen@gmail.com (untuk cerpen maksimal 3 halaman A4, spasi 1)
    b. rdcompuisi@gmail.com (lomba puisi, kirim maksimal 3 puisi)
    c. rdcomesai@gmail.com (lombaesai. Naskah maksimum 3000 karakter atau 1 halaman A4)
4. Total Hadiah 4, 5 juta dan paket buku dari penerbit Gong Publishing

Narahubung: 
Twitter: @Gol_A_Gong
Web: http://rumahdunia.com
  • 0 Comments

"Selain diriku sendiri, semua orang adalah orang asing."
"Aku juga orang asing?"
"Ya, kamu adalah orang asing pengganggu. Enyahlah!"
"Apa? Kamu berani mengusirku? Hah! Aku akan tetap berada di sini,"
"Kalau begitu, bantu aku melakukan sesuatu."
"Apa?"
"Aku sedang ingin bersama Percy Jackson dan anak-anak blesteran. Jadi, enyahlah dari kepalaku! Hush! Hush! Bisakah kamu melakukannya?"
"Tapi kamu sedang merindu. Karena itu aku mengingatkanmu."
"Lalu, apa yang bisa kamu lakukan jika aku sedang merindu? Membawa orang yang kurindukan ke sini? Tidak, kan? Jadi, buat apa kamu secerewet itu?"
"Tapi tetap saja aku harus mengingatkanmu. Kamu bisa sakit kepala kalau sedang merindu. Aku ini teman baikmu, lho."
"Teman? Teman baik? Cih! Aku rasa kamu tipe teman penghianat, karena itu aku tidak butuh teman macam kamu. Enyahlah!"
"Ih! Kamu kok rese gitu kalau lagi rindu? Jangan gitu, ah. Tidak ada salahnya kok merindukan seseorang atau sesuatu. Jangan salahkan dirimu. Tenang, tenang."
"Sekarang kamu menggodaku? ENYAH! SEKARANG!"
  • 0 Comments

"Boleh narsis asal tidak ngartis." Begitu kata sahabat saya beberapa waktu lalu. Dan sebenarnya saya agak malu melakukan ini. Tapi, sesekali tak apalah. Yah, sekadar mengingatkan diri dan memotivasi untuk tetap melakukan itu. Karena sudah ada saya di sana. Mungkin, ada beberapa yang tidak saya cantumkan karena dokumentasinya tidak ada di tangan saya. Jadi, mari kita lihat apa yang bisa saya lakukan untuk mewujudkan kenarsisan ini? Hehe. *lalu saya benar-benar malu*

1.  Antologi Orange I

Berawal dari ajakan kawan-kawan di ngerumpi.com (Solidaritas Orange) untuk membuat buku, dan hasilnya disumbangkan kepada yang membutuhkan. Jadi, saya ikut serta meski masih berantakan. Bukunya bisa didapatkan di nulisbuku.com
Dan buku lainnya yang diterbitkan Solidaritas Orange

2. Antologi Puisi "Malam Adalah Jendela"

Mau tahu kenapa ada buku ini? Yah, ini buku yang terbit tiap tahun/semester yang ada mata kuliah Menulis Kreatif di Untirta. Jadi, karena saat itu saya mengambil mata kuliah itu--meski sering tidak masuk, jadi tulisan buru-burunya ada di buku ini. *Dan langsung ditepok dosennya* :D












3. Antologi Cerpen Sarkofagus

Senang rasanya berada di antologi ini bareng abang dan mbak keren dari kampus lain. Meski bukan sebagai peserta sayembara lomba menulis cerpen yang selalu diadakan UKM Belistra Untirta tiap tahunnya. Tapi, sebagai pemenang lomba menulis yang khusus diadakan Belistra untuk anggota-anggotanya. Jadi, apa yang sebenarnya membuat saya senang? Tentu saja berada di buku ini, dan dapat hadiah "Belistra Awards". Hahaha... *Sambil goyang Shinchan*









4. Antologi Cerpen Banten Suatu Ketika

Agak malu sebenarnya mengakui bahwa tulisan saya ada di sini. Apalagi membawa nama Banten. Sebagai orang Banten, lahir dan besar di sini, tapi tidak begitu tahu tentang Banten. Itu yang membuat saya agak malu. Apalagi kemudian yang menjadi jawara bukan orang Banten. Widih! Malu banget, kan, tuh? Sepertinya harus banyak bertapa di Gunung Karang atau tempat kramat lainnya, yes? ('__')










5. Antologi Cerpen "Cinta dan Sungai-Sungai Kecil Sepanjang Usia"

Ini buku hasil lomba menulis cerpen tingkat mahasiswa se-Indonesia yang diadakan LPM Obsesi STAIN Purwekerto tahun 2013. Menang? Tidak. Cuma masuk nominasi saja. Well, tidak ada kata menyesal, sih. Karena saat mengikutinya saya cukup santai. Maksudnya, cerpennya sudah ada dan siap dikirimkan. Begitulah. Jadi, karena sudah siap, tidak ada proses editing lagi. Saya cukup takut untuk melakukan proses ini, karena editing saya biasanya malah 'buat baru'. Makanya, saya malas melakukannya. Haha. ("-_-) *bad writer*









6. Antologi Puisi "Reruntuhan Baluwarti"

Agak berasa setengah sadar bila puisi saya ada di buku yang diterbitkan Gong Publishing ini. Memalukan, sih. Saya belum mahir membuat puisi, dan masih harus banyak belajar lagi. Karena itu saya malu mengakui: ada puisi saya di sini. Eh, itu bentuk pengakuan juga, ya? Hihi... *nyari tiang*












7. Antologi Puisi Perempuan "Musim Untuk Laida"

Puisi di sini adalah puisi buru-buru. Jadi jangan heran bila tidak keren, karena saya pun selalu merasa tidak keren (lha?). Awalnya tidak ada keinginan untuk memasukan puisi di antologi yang diterbitkan Kubah Budaya ini. Selain karena saya pun tidak tahu ada pengumpulan karya untuk antologi puisi perempuan (dwibahasa: Indonesia-Inggris) dan saya tahu di saat-saat terakhir saja, juga karena saya tahu diri saya belum cukup mahir membuat puisi. Karena itu, dengan sangat malu juga saya mengatakan: 'wanna read my poet in that book?' Hehe.







8.  Antologi Cerpen "Perempuan dan Bunga-bunga" (Obsesi Press, 2014)

Apa yang bisa saya katakan perihal buku ini, ya? Terus terang ini buku beberapa waktu lalu baru berada di tangan saya dan belum selesai saya baca. Buku hasil dari lomba menulis cerpen tingkat mahasiswa se-Indonesia yang diselenggarakan LPM Obsesi STAIN Purwekerto kali ini memilih cerpen saya sebagai juara II. Tidak menyangka, sih. Karena saya menulis cerpennya dalam keadaan 'sangat bingung'. Pertama, karena saya dalam keadaan 'tidak bisa menulis' atau 'tidak produktif'. Dan kedua, waktu. Waktu membuatnya sangat mepet. Tentu saja karena saya lupa batas akhir lombanya. Haha. Menyedihkan, bukan? Karena itu saya bersyukur saat panitia memberi kabar, bila cerpen saya masuk 3 besar dan diundang ke acara. Meski acara mempermalukan dirinya bertambah saat hendak ke acara itu: saya tertinggal bus! Oh, ya, saya baru tahu juga bila bus ke Purwekerto cuma ada sekali saja. Wahaha.
  • 0 Comments


Oleh : Rendy Rachman
Mahasiswa Universitas Gadjahmada, Fakultas Isipol Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan,
Pernah aktif Di Bulaksumur Post (Pers Mahasiswa).


Judul                    : Banten Suatu Ketika

Penulis                 : Guntur Alam dkk

Jumlah halaman.   : xiv +162

Penerbit               : Banten Muda Community & Framepublishing Yogyakarta

Tahun Terbit        : 2012


Di tengah maraknya serbuan literatur terjemahan, Banten; Suatu Ketika terjun ke dalam khasanah sastra Indonesia untuk mengenalkan kembali pada jati diri kita sebagai sebuah bangsa. Kumpulan cerpen ini lahir dari Sayembara Menulis Cerpen 2012 Banten Muda Community, terdiri dari lima belas tajuk cerpen, dan mengangkat lokalitas Banten. Mengingat, sayembara ini diselenggarakan tingkat Nasional, kita patut mengagumi usaha generasi muda dalam mentransformasikan kearifan lokal dan fenomena sosial Provinsi Banten ke dalam ranah literasi.

Padahal, untuk menemukan literatur Banten (khususnya di luar Provinsi Banten) tak ubahnya mencari peniti di tumpukan jerami. Bahkan di provinsi yang digelari sebagai salah satu pusat budaya Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta, literatur Banten masih sangat langka. Di tengah keterbatasan sumber literatur Banten,  lima belas penulis multibudaya telah berjuang untuk menangkap keindahan Banten, mendokumentasikan sejarah Banten, dan mengkomunikasikan gagasan-gagasan provokatif yang tersembunyi dalam gugusan fonetik. Mereka telah ‘meramalkan’ masa depan Provinsi Banten.           

Sementara itu, dalam resensi konvensional, khususnya untuk mengulas antologi bersama (bukan penulis tunggal), keluasan jangkauan wacana cenderung dibatasi. Sedangkan menurut hemat resensor, resensi memiliki visi untuk menjembatani sebuah karya dengan masyarakat baca. Resensi konvensional (khas surat kabar) cenderung tidak signifikan, mengabaikan kritik sastra, dan sulit menjembatani sebuah karya dengan masyarakat luas. Maka, melalui pembahasan ini, resensor berupaya keluar dari penjara stereotype tersebut. Keluasan gerak pembahasan dimaksudkan untuk memberikan apresiasi terhadap lima belas cerpenis, bukan semata tertuju pada karya tiga pemenang utama. Dan memang, kita harus menghargai kerja keras cerpenis (penulis) yang memutuskan untuk berjuang di tengah-tengah negara yang cenderung mengabaikan sastra, seni, dan seniman.      


Suara-suara yang Bisu

Bahasa mencerminkan bangsa. Pada bahasa yang terikat dalam karya sastra, dapat kita cermati struktur berpikir cerpenis (penulis), dan potensi humanisme-implementatif yang mengendap dalam gugusan fonetik. Hal inilah yang tampaknya belum teraba dalam paradigma penilaian juri. Dari teks pertanggungjawaban Dewan Juri, terdapat indikasi, penilaian masih bermain pada konsepsi cerpen konvensional.

[...] Sebab sejatinya cerpen hanya dibaca dalam waktu yang pendek pula (hal. viii).

Juga banyak sekali cerpen yang selalu ingin mengkhotbahi pembaca, seakan-akan pembaca adalah kumpulan manusia dungu atau kaum sesat yang mesti diselamatkan. Padahal kita tahu, ini hanyalah cerita yang tidak mungkin bersaing dengan kitab suci atau Perda Syariah. Cerita adalah cerita, tempat pembaca menemukan kesenangan, petualangan imajinasi, seraya kembali ke bumi sehari-hari dengan semacam bahagia dan keharuan yang tak tergantikan. Berhentilah mengkhotbahi pembaca, penulis. Beri mereka kebebasan menemukan sendiri petualangan di dalam dunia rekaan. Jangan bebani mereka dengan nasihat-nasihat yang tidak perlu (hal. ix).

Konsepsi Dewan Juri tersebut membenihkan indikasi bahwa cerpen sebagai karya sastra masih diasumsikan sebagai reproduksi imaji. Dan tujuan membaca cerpen lebih berorientasi sebagai alternatif hiburan, bukan sebuah proses dialogis antara cerpenis dan pembaca, sebagaimana hakikat komunikasi. Membebaskan pembaca menemukan petualangan sendiri seolah-olah mengamputasi eksistensi penulis. Padahal, para cerpenis Banten; Suatu Ketika bukanlah ‘penulis pesanan’ yang mengenal secara langsung pembacanya. Sehingga, mereka tidak tahu pasti apa yang diinginkan pembaca. Pun bukan penulis yang sengaja ‘dipesan’ untuk memuaskan kebutuhan pembaca untuk mendapatkan hiburan yang mengejutkan.

Kebebasan menulis dan kebebasan membaca haruslah setara. Apalagi, menulis dan publikasi tulisan merupakan salah satu cara untuk meraih hak asasi dalam berpendapat. Penulis yang tunduk (didikte selera) pembaca tak ubahnya penulis yang tak berdaya pada kolonialisme dan hegemoni.  

Penilaian boleh saja berdasarkan mutu teks tertulis dan kerangka ideal juri, tetapi pernyataan ‘Berhentilah mengkhotbahi pembaca, penulis’ agaknya kurang tepat. Sebab, proses menulis sastra merupakan sebuah pertumbuhan (perkembangan) linguistik individu yang tidak bisa dipukul rata. Minat baca, budaya literasi, dan tingkat ketersediaan buku sangat tidak merata di Tanah Air. Dan tak bisa kita pungkiri, dasar-dasar terbentuknya tradisi sastra ini tidak merata di wilayah-wilayah Nusantara. Tak mengherankan, perkembangan pemikiran, kebebasan berpendapat, dan mutu karya sastra cenderung berkembang pesat di daerah sentral pemerintah. 

Di sisi lain, ‘khotbah’ merupakan budaya linguistik di Indonesia yang bersifat kolektif. Hal ini disebabkan pengaruh budaya feodalistik. Implikasinya, cara berkomunikasi kita pun sarat feodalistik. Orangtua, guru, ulama, dan pihak otoritas menggunakan bahasa dengan ‘khotbah’ atau lazim disebut ‘nasihat’. Tak mengherankan, penulis (cerpenis) pemula rentan menulis dengan gaya ‘khotbah’.         

Lebih dari itu, sebagian besar cerpenis Banten; Suatu Ketika merupakan cerpenis (penulis) pemula. Jadi, agaknya terlalu tendensius, bila penilaian mutu karya sastra terhenti pada teks tertulis, tanpa melibatkan latar belakang cerpenis. Dengan contoh sederhana, kita tentu tidak akan adil bila membandingkan kualitas karya Guntur Alam yang sudah sangat profesional dengan Winda Az Zahra yang masih belia (namanya pun asing dalam jagat sastra).        

Bila kita membaca Banten; Suatu Ketika secara utuh, lima belas cerpenis yang meretasnya, menghidupkan suara-suara yang bisu, baik yang dibisukan zaman, maupun dibisukan ketidakpedulian. Banten Suatu Ketika tidak memberi harapan utuh untuk mendapatkan hiburan, melainkan ironi dan kearifan lokal Baten yang akan membenihkan pemikiran.

Dalam lima belas gugusan cerita, para cerpenis berupaya menangkap makna berdasarkan tema ke-Banten-an. Dan memang, cerpen tipe ini memiliki kerumitan. Di mana para penulis harus mempelajari sosiologi, sejarah, antropologi, dan psikologi sosial Banten. Cerpenis yang tidak bermukim di Banten harus mempelajari ke-Banten-an dan mentransformasikan ke dalam teks tertulis. Implikasinya, cerpenis rentan menuliskan pengetahuan baru dalam bentuk paparan yang minim sentuhan literer. Pembaca yang terbiasa membaca cerpen koran berpotensi merasa digurui. Akan berbeda halnya bila sayembara menulis cerpen Banten Muda Community membebaskan peserta dari tema. Di mana cerpenis menulis sesuatu yang benar-benar ia ketahui; mengangkat kearifan lokal dan fenomena sosial di mana ia bermukim. 

Pada konteks ‘kitab suci dan Perda Syariah’ akan mengingatkan kita pada Provinsi Aceh. Dalam realitasnya, cerita bisa lebih tinggi posisinya daripada kitab suci ataupun Perda Syariah. Sebelum Islam dan agama-agama besar masuk ke Indonesia, ‘kitab suci dan Perda Syariah’ belum dikenal. Tetapi, nenek moyang Indonesia telah memiliki peradaban yang sangat maju. Nilai-nilai inilah yang dilestarikan sebagian komunitas sosial tradisional yang cenderung kita asumsikan terbelakang atau pedalaman.

Memang, kita tidak bisa terburu-buru melegitimasi cerpenis Banten; Suatu Ketika telah mencapai mutu high-lit. Walau demikian, kepekaan dan kesadaran cerpenis dalam menangkap sasmita Banten, rasanya tidaklah berlebihan menitipkan harapan di pundak para cerpenis Banten; Suatu Ketika untuk mendedikasikan diri dalam memberi suara-suara yang dibisukan. Pada kumpulan cerpen ini, para cerpenis membuktikan, bahwa dalam sastra; semua individu memiliki hak yang sama. Mereka ‘memanusiakan’ kembali dukun teluh, pembunuh, orang-orang miskin, hingga pelacur. Bahwa manusia tidak akan melakukan kesalahan dalam lingkungan sosial yang sehat; dan semua manusia setara di hadapan Tuhan-nya!


Kearifan Lokal dan Fenomena Sosial Banten

Kumpulan cerpen Banten; Suatu Ketika dibuka cerpen pamungkas bertajuk Tiga Penghuni dalam Kepalaku karya Guntur Alam. Karya cerpenis yang terpilih sebagai cerpenis terbaik Festival Seni Surabaya (2010) dan diundang dalam Ubud Writers and Readers Festival (2012) memang melampaui karya para nomine. Dalam cerpen konvensional yang membatasi ruang gerak pertumbuhan karakterisasi, Guntur Alam mampu menghadirkan tokoh yang mengalami ‘kepribadian terbelah’ dan kompleksitas kejiwaannya.

Tokoh utama ‘Tiga Penghuni dalam Kepalaku’ merupakan representasi anak-anak yang mengalami kekerasan dan represi lingkungan sosial yang tidak sehat. Hal ini ditimbulkan dari pembangunan sosial yang belum berkeadilan. Kesenjangan sosial semakin meruncing dan pembangunan sosial sulit untuk mengakomodasi hak asasi kaum marginal. Anak-anak merupakan korban yang paling gurih dan lemah dalam kondisi ini. Kaum marginal cenderung tidak memiliki akses untuk mendapatkan hak asasi (kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan). Tetapi, anak-anak kaum marginal, mengalami tekanan yang lebih kuat. Dapat kita cermati pada teks berikut.       

Aku tercekat. Tubuhku seketika membeku. Dan gadis berkulit kuning langsat itu mendadak muncul dan menghuni kepalaku. Ia terkikik-kikik senang saat Kang Asep membelainya. Ia begitu bahagia saat Kang Asep membuka pakaiannya [...] (hal. 8).

Aku tersudut mundur. Aku ketakutan melihat Kang Asep dan Amir bersimbah darah. Ah, ini bukan perbuatanku. Ini perbuatan gadis cantik itu. Bukan aku! Tapi apa ada yang percaya bila aku mengatakan demikian? Apa mungkin teman-temanku sesama penjual pop mie di Pelabuhan Merak akan percaya? Aku gemetar (hal. 11).

Pada dua teks tersebut, terlihat dua stigma sosial terhadap anak-anak yang lahir dalam lingkungan depresi (marginal). Selain tidak bisa membela diri, anak-anak juga cenderung ‘tidak dipercaya’. Mereka tidak memiliki hak berpendapat. Dalam narasi yang terbatas, Guntur Alam mengikat paragraf demi paragraf dengan sinergis, intens, dan mencekam.

Predikat pemenang kedua jatuh ke tangan Ank Riadi dengan cerpen bertajuk Bebek Panggang Nyai Pohaci. Konflik cerpen ini tidaklah serumit konflik yang dirajut Guntur Alam. Bahkan, konflik dibiarkan ‘terbuka’. Di mana tokoh utama sebagai generasi muda (aku) memiliki perbedaan pandangan dengan generasi tua (Umi) yang ‘menyembah’ Nyai Pohaci dalam tradisi nukuh. 

Maka lamat-lamat suara Umi menyelinap di bisik hujan: Nyai Pohaci sudah datang. Kelewat lamatlah kiranya suara itu. Namun begitu mengusik ketentramanku yang tengah masyuk dengan sebutir hujan yang menggelayuti pucuk kemangi dipekarangan. Ya, sebutir hujan itu, yang tampak rapuh namun tak jua terjatuh meski angin menampar-nampar begitu kejam, betapa sore itu menjelma sesuatu yang mengguruiku ribuan soal (hal. 13).

“Jika Dewi Sri dan Nyai Pohaci itu sama mengurus dan merawat padi di bumi, lalu siapakah ‘sampurnaning di dzat laa ilaaha illallah Muhammadarrasulullah’ yang Umi ucapkan tadi? Tanyaku lalai. Asal menguap saja. Namun tanpa dinyana pertanyaan sampahku itu ternyata mampu membuat Umi kehilangan keibuannya [...] (hal. 22).

Terdapat kegamangan generasi tua (Umi) menghadapi pemikiran generasi muda (aku). Di mana generasi tua mensejajarkan konsepsi ketuhanan antara teologis Islam dengan kepercayaan yang diwariskan leluhur tradisional. Sedangkan generasi muda mengamputasinya. Bagi Umi, Tuhan (Illaah/Ilahi) setara dengan Nyai Pohaci. Sedangkan bagi ‘aku’, Tuhan adalah Illah (Allah), bukan Nyai Pohaci. Bila kita merujuk sejarah para wali (lazim disebut ‘wali sanga’), kesadaran Umi masih berada pada zona sinkretisme.

Pada penyebaran Islam masa Wali Sanga terjadi peleburan teologi Islam dengan kepercayaan yang sudah ada. Ini dimaksudkan agar teologi Islam dapat diterima masyarakat tradisional dan perlahan-lahan keyakinan tradisional ini diamputasi. Maka, tak mengherankan, generasi tua masih memiliki kesadaran bahwa roh leluhur setara dengan Tuhan dalam konsepsi teologis (khususnya agama-agama abrahamik). Pada generasi muda, proses amputasi keyakinan tradisional dan teologis Islam telah menampakkan kondisi yang cukup ideal. 

Tidak ada penyelesaian dalam cerpen Bebek Panggang Nyai Pohaci. Umi dan ‘aku’ tetap memiliki pandangan masing-masing. Kekuatan dalam cerpen ini, Ank Riadi memintal narasi ke dalam gugusan metaforis. Terdapat pembaruan dan inovasi bahasa. Sehingga, kosakata lepas dari penjara narasi konvensional.

Cerpen pemenang ketiga diraih Richa Miskiyya dengan cerpen bertajuk Perempuan Lesung. Melalui cerpen ini, Richa Miskiyya berkisah tentang ‘kasih tak sampai’. Bila dicermati ‘tubuh’ cerpen, tampaknya keunggulan lebih mengarah pada keutuhan struktur pemikiran. Pada paragraf pertama, Richa Miskiyya telah memikat pembaca untuk membaca sampai usai.

Suara lesung bertalu-talu di tepian laut. Di perkampungan tepi laut yang menghadap Selat Sunda itu, perempuan-perempuan kampung selalu membunyikan lesungnya di bawah rimbunnya pohon kelapa [...] Konon, karena suara-suara lesung yang terus dipukul perempuan-perempuan itulah, kampung itu dinamakan Tanjung Lesung (hal. 25). 

Lebih dekat lagi, dalam Perempuan Lesung, cerpenis menuturkan kisah perempuan (Halimah) yang terperangkap dalam imajinya. Ia menanti pasangan hidup yang tepat. Di akhir cerita, Halimah diasumsikan ‘gila’ karena pemuda impiannya hanya hasil dari citra imajinya, tidak hadir dalam realitas.

[...] Mata Halimah membulat tatkala tak didapatinya Zareba, yang ada hanyalah lesung di tempat tidurnya (hal.31-32).

Alur cerita Perempuan Lesung mengalir deras dan terjalin erat. Kematangan Richa Miskiyya bercerita terlihat pula bagaimana ia menciptakan kejutan. Diksi demi diksi terjalin sinergis. Sehingga, satu kalimat pun ‘dicabut’ dari cerpen ini akan meruntuhkan pondasi yang dibangun sang cerpenis. 

Selanjutnya, kita beralih pada nomine. Kearifan lokal Suku Baduy digelar Ikal Hidayat Noor dalam Lembur Singkur. Memang, kita tidak bisa bandingkan dengan pencapaian estetika cerpen pemenang, yaitu cerita Guntur Alam Tiga Penghuni dalam Kepalaku yang berhasil mengungkap tokoh kepribadian terbelah, cerita Ank Riadi Bebek Panggang Nyai Pohaci yang sangat prosaik, atau cerita Richa Miskiyya Perempuan Lesung yang menghadirkan struktur pemikiran yang sangat utuh.

Cerpen Lembur Singkur memiliki alur yang tertebak. Kekuatan cerpen ini justru terletak pada pengadopsian kearifan lokal Baduy yang tentu sulit bebas dari ‘gaya khotbah’. Namun, nilai yang diajukan cerpen Lembur Singkur memiliki potensi humanisme yang dapat kita gali. Menilai sebuah karya sastra tidak cukup dengan pencapaian estetika penulis semata dengan mengabaikan potensi humanitasnya. Lebih jauh lagi, dalam Lembur Singkur, Ikal Hidayat Noor mendokumentasikan hukum adat dan kearifan lokal suku Baduy, di antaranya direpresentasikan potongan pantun berikut.

Mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung penduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sawangtua (lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan).

Bukankah upaya Ikal Hidayat Noor patut kita banggakan? Melalui ceritanya, ia menyebarkan informasi kearifan Suku Baduy yang belum menjadi wacana kolektif masyarakat Indonesia. Pada sisi tertentu, kearifan lokal Suku Baduy jauh lebih humanis daripada ajaran agama yang sangat politis. Sementara Suku Baduy setia antara kata dan perbuatan; tak sedikit kita temukan ulama (pihak otoritas) yang mengkhianati kebenaran yang ia suarakan.

Bila dalam Bebek Panggang Nyai Pohaci cerpenis Ank Riadi berhasil menghadirkan ‘kegamangan’, pada Lembur Singkur, Ikal Hidayat Noor memunculkan sebuah ‘keputusan’ untuk menempuh (kembali) kepercayaan tradisional Suku Baduy.

Sinergitas antara ‘Bebek Panggang Nyai Pohaci’ dan ‘Lembur Singkur’ menghadirkan perspektif baru dalam menyikapi perbedaan keyakinan dan mengukuhkan religiositas. Bahwa, semestinya agama tidak terbatas pada kepatuhan teologis, melainkan menghadirkan kemanusiaan. Agama yang tidak ‘memanusiakan’ penganutnya tidak layak untuk dijalani. Dan orang-orang yang melakukan praktik (ritual) ketuhanan tradisional; tidak berarti lebih rendah dibandingkan kaum yang (mengaku) beragama.

Pada cerpen Candiru, Uthera Kalimaya menggelitik pembaca dengan peristiwa masuknya sejenis ikan air tawar (candiru) ke dalam alat kelamin Mang Sarkim. Pembaca yang menjadikan cerpen sebagai hiburan tentu akan menemukan hiburan yang memicu adrenalin. Pembaca bisa membayangkan sebuah alat kelamin membuat heboh satu desa! Tak sedikit spekulasi yang timbul. Dari yang bersifat klenik, politis, hingga absurd. Namun, bagi pembaca yang berupaya menemukan nilai-nilai humanisme, teks cerpen ini menyembunyikan kebenaran yang memilukan. Setidaknya, terdapat dua realitas yang telah menjadi polemik kolektif dalam masyarakat daerah (tradisional). Bisa kita cermati pada fragmen berikut.

[...] Namun, karena bagi mereka masjid adalah lambang kebangaan di suatu kampung, dan mereka ingin merasa bangga pula, didirikan masjid megah yang didirikan Mang Sarman itu [...] Karena itulah Allah murka, dan Mang Sarkim korban pertamanya [...] hal.39

“Tetapi, tetap saja, Pak, Anaknya Ceu Nonon yang bulan lalu kecelakaan juga diminta bayar dulu sebelum oprasi...,” bantah Bu Ruminah dengan suara bergetar menahan pilu [...] hal. 42

Dari teks tersebut dapat kita temukan realitas sistem sosial budaya yang telah mengalami reduksi. Pembangunan masjid menjadi ‘ajang pamer’, agar mendapat pujian, bukan semata ibadah memuja Yang Esa. Dan fasilitas kesehatan tidak mengakomodasi semua rakyat yang jelas tercantum secara hukum untuk dilindungi dan hak-hak asasinya diakomodasi  negara.      

Bila Ank Riadi bercerita dengan narasi puitik, Teguh Afandi menghadirkan realitas dengan bahasa yang bisa kita asumsikan ‘kasar’. Karena memang, dalam cerpen bertajuk Ini yang Berlabuh cerpenis Teguh Afandi menghadirkan realitas kehidupan jalanan.

Aku gembel. Aku anjing liar yang keleleran di terminal. Aku seperti setan yang lolos dari penjara Tuhan. Aku melata di sekitar Terminal Pakupatan [...] (hal. 53).

Melalui perspektif tokoh utama bernama Tobil, Teguh Afandi menggelar realitas jalanan. Di mana, anak-anak jalanan rentan dengan pemerasan, intimidasi, dan kekerasan seksual. Tidak hanya mengalami stigma sosial atau labeling (sebagai anak haram), Tobil juga tidak mendapatkan hak-hak asasi yang dijanjikan negara.

Apakah Teguh Afandi hanya menyajikan teks sekadar petualangan imaji? Tampaknya tidak. Sebab, fenomena yang dialami tokoh utama ‘Tobil’ merupakan refleksi keberadaan anak-anak jalanan yang tersebar di kota-kota Indonesia. Bahkan, di Yogyakarta yang dikenal dengan toleransi, kekerasan pada anak jalanan rentan terjadi. Beberapa kelompok anak jalanan terdapat ritual seks bagi pendatang baru. Di mana, seorang individu baru yang bergabung dengan ‘komunitas jalanan’ akan melayani kebutuhan seksual otoritas jalanan (preman).

Teguh Afandi menghadirkan realitas yang cenderung tak tersentuh otoritas pemerintah dalam menetapkan atau merealisasikan kebijakan-kebijakan publik. Rumitnya, masyarakat sekitar bersikap antipati atau cenderung melabelkan negatif terhadap ‘anak jalanan’; bisa berupa sebutan ‘pendatang’ atau ‘sampah masyarakat’. Sehingga, ‘anak jalanan’ terabaikan dan terperangkap dalam lingkaran kekerasan. Bagi mereka, hidup hanyalah menunda kematian, meski di dalam hati mereka masih menyimpan harapan. Dari narasi dan alur cerita Ini yang Berlabuh sasmita harapan itu ditangkap Teguh Afandi dan menghadirkannya ke pelupuk mata kita. Bahwa dalam kehinaan pun tersimpan keindahan, harapan, dan impian.

Nyaris kesemua cerpenis dalam gugusan Banten; Suatu Ketika menggarap pertentangan nilai. Sehingga, kumpulan cerpen ini agak kurang layak untuk didistribusikan ke perpustakaan Sekolah Dasar. Untunglah terselip sebuah cerpen yang patut untuk diadopsi dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia pada ranah Sekolah Dasar, yaitu Tolhuis Jembatan Rante. Melalui cerpen ini, Sutantinah bercerita mengenai peristiwa hilangnya Jembatan Rante.

Memang Tolhuis Jembatan Rante tergolong klise. Alur sederhana dan minimnya konflik. Tetapi, dalam cerpen ini terkandung kearifan lokal dan sejarah Banten. Bagi pembaca di Banten atau Jawa tentu bukanlah hal yang asing. Apalagi bila pernah menyusuri lokasi-lokasi bersejarah Banten. Di lain sisi, pemaparan Sutantinah berpotensi menimbulkan kebaruan (novelty) bagi pembaca di luar Pulau Jawa. Cerpen ini layak untuk diapresiasikan dalam wacana pendidikan Sekolah Dasar; khususnya di kawasan Banten untuk memperbaharui materi pembelajaran bahasa dan Sastra. Sebab, materi pengajaran bahasa dan Sastra Indonesia konvensional masih didominasi materi pengajaran masa pendudukan kolonial Belanda dan rekonstruksi Orde Baru yang miskin kearifan lokal. Dengan mengadopsi materi Banten ke dalam pengajaran bahasa dan Sastra, generasi muda Banten akan mengenal budayanya dan jati diri yang diwariskan leluhur Banten.    

Dalam Banten; Suatu Ketika terdokumentasikan beragam wajah budaya Banten. Termasuk yang paling menggelitik, yaitu unsur-unsur mistik yang identik dengan sihir. Terdapat beberapa cerita yang mengangkat mistik dalam pengembangan karakter dan plot, tetapi cerpen Teluh, buah pena Skylasthar Maryam, menjadi karya yang paling intens menggali fenomena praktik teluh di Banten. Pada cerpen Teluh, cerpenis yang terpilih sebagai undangan dalam Ubud Writers and Readers Festival 2013, berkisah mengenai seorang politisi usia paruh baya (Samsu) dengan ibu (Nyai Sumbi) yang berprofesi sebagai dukun tradisonal Banten. Memang, beberapa fragmen cerpen ini terkesan klise. Suasana mencekamnya pun biasa diangkat cerpen-cerpen sejenis. Namun, terdapat keunikan, Skylasthar Maryam mengangkat relasi psikologis antara ibu dan anak. Di mana, kasih antara ibu dan anak tidak terputuskan.

[...] Nyaris sebulan dua kali selalu saja ada orang suruhan Ibu yang datang ke Bandung, mengirimkan amplop berisi uang. Tentu saja aku menerima uang itu tanpa sepengetahuan Mang Sobri (hal. 78).

Aku tidak peduli, aku hanya ingin memastikan keselamatan Ibu (hal. 80).

Dari kedua fragmen tersebut, dapat kita tangkap, Skylasthar Maryam memotret pergolakan batin secara utuh. Dalam realitas yang dipengaruhi dominasi perspektif oposisi biner, dunia dilihat dari dua sudut pandang yang berpasangan baik-jahat (hitam-putih, atas-bawah, dan sebagainya), cerpen Teluh merepresentasikan terdapatnya ruang abu-abu di mana konsepsi ‘baik-jahat’ saling berkelindan, bersifat relatif, dan terkadang sulit untuk dibedakan. Bahkan, seorang dukun ilmu hitam pun terdapat kasih yang tidak putus pada putranya. Demikian pula putranya, meski memilih zona aman, ia tetap terjalin secara batin dengan sang ibu.

Dan memang, pada hakikatnya, manusia memiliki ‘bakat’ untuk menjadi baik. Adapun asumsi seperti ‘jahat’ atau ‘menyimpang’ merupakan penilaian kita secara parsial karena perspektif kita dipengaruhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Akibatnya, paradigma konvensional tidak bisa mencapai dan mengakomodasi kompleksitas jiwa manusia. Selalu ada kekeliruan dalam memandang apa saja. Melalui ‘Teluh’ ini, Skylasthar Maryam menghadirkan kemanusiaan dalam diri dukun teluh. 

Pada Banten; Suatu Ketika terdapat cerpen yang belum matang, tetapi sangat memikat dari segi ide, yaitu Macan Angob dan Cula Karo.

Macan Angob karya Badri Yunardi berkisah tentang seorang santri bernama Muhammad Syihabuddin (Syihab) yang suka menguap (angob). Sebagian besar alur berkisar pada wabah kesurupan di pesantren. Wabah ini tidak bisa dihentikan kiai, dukun, hingga aparat militer. Sampai datanglah Syihab dengan anak-anak yatim piatu yang membacakan surat al-Ikhlas. Lalu, perlahan-lahan wabah kesurupan mereda, kecuali pada putri Kiai, Nong Dyah.

Untuk mengusir roh yang merasuki Nong Dyah, Syihab terlihat bertingkah seperti macan yang seolah menakut-nakuti roh asing dalam tubuh Nong Dyah. Sejak itulah, sebutan ‘macan’ disandingkan dengan ‘angob’ yang sudah ada sebelumnya.

Kurangnya kedisiplinan berbahasa membuat cerpen ini mereduksi ide yang sudah dibangun. Terdapat paragraf yang terlalu panjang dan banyak kesalahan ketik yang cukup mengganggu. Walau demikian, kelebihan cerpen ini terletak pada kemampuan cerpenis menghadirkan nuansa satir dan ‘menertawakan kehidupan’.

[...] Aih, doa-doa para Kiai tidak mempan, malah dibalas dengan doa-doa oleh mereka yang kesurupan, gertakan-gertakan Jawara pun tidak berhasil mengeluarkan setan-setan di tubuh santri [...] (hal 83-84). 

Cerpen ini ditutup dengan pernyataan Syihab yang penuh canda, sekaligus menitikkan ironi.

Inilah wajah kita, Banten.
Wajah yang beraneka rupa
Inikah wajah kita?
Yang sinis menatap wajah murung yatim piatu (hal. 87)

Benarkah ini wajah Banten? Di tengah melesatnya pembangunan otonomi daerah, Banten masih abai terhadap / mengabaikan yatim piatu? Atau ini merupakan wajah kolektif kita; bangsa Indonesia (sebagai bangsa indonesia, y bangsa yang dikenal dengan kebhinekaanya (kemajemukannya) yang semakin terobsesi kemajuan teknologi, industri, ekonomi, dan politik; tetapi tidak mengakomodasi hak asasi rakyat kecil?    

Cula Karo karya Winda Az Zahra menjadi satu-satunya cerpen yang dengan tegas membangun narasi berdasarkan ide futuristik. Dibuka dengan kalimat:

Bumi Pertiwi, 2062 (hal. 89).

Winda Az Zahra mengurai alur dengan menempatkan sang pawang Badak, Karo, sebagai tokoh utama yang bekerja di Ujung Kulon Rearch Center (UKRC). Lembaga ini dibentuk untuk melestarikan hewan khas Banten (Jawa Barat) ‘Badak Jawa’ yang harusnya punah pada 2040. Dalam gerak alur cerita, Karo bertemu dengan seorang ilmuwan cantik, Golda. Sehingga, munculah sentuhan romantisme dalam cerpen ini.

Sementara cerpenis lainnya mengupayakan sinergitas fakta dan imaji, Winda Az Zahra lebih mempertaruhkan dan menantang imaji. Inilah tampaknya membuat Winda Az Zahra kesulitan mengontrol gerak alur dalam cerpen. Agar lebih detil, Winda Az Zhara semestinya memilih mengembangkan fokus ‘upaya pelestarian badak’ atau ‘romantisme’ Kuro-Golda. Penggabungan dua fokus cerita ini menciptakan ambivalensi. Pada satu sisi, Badak dilestarikan. Pada sisi lain, Badak menyerang Golda dan mengakibatkan ilmuwan yang membuat Kuro kasmaran ini dalam keadaan kritis. Kendati Cula Karo belum maksimal, keberanian Winda Az Zahra dalam menciptakan dunia baru, patut kita banggakan. 

Untuk romantisme, Wi Noya dengan Rabeg sangat memikat. Cerpen ini menjadi satu-satunya karya yang paling matang dalam menjalin romantisme dan berakhir bahagia. Wi Noya berkisah tentang seorang artis debus (Japar) dan istrinya (Romlah). Romlah berprofesi sebagai penjual kuliner khas Banten yang terbuat dari kambing dan jeroan (rabeg). rabeg

Japar sangat terobsesi menjadi artis debus. Meskipun kakinya cacat (nyaris buntung) dalam sebuah penampilan debus, obsesi Japar tidak memudar. Ia ingin menjadi artis debus sukses. Sementara itu, Romlah merasa heran cita rasa rabeg buatannya tidak selezat Abah (kurang dijelaskan apakah ayah kandung atau ayah mertua). Hingga, ia menemukan resep masakan Abah yang ternyata disembunyikan Japar.

Cerpen Rabeg memukau dengan ketenangan cerpenis memintal kisah. Bagaimana seorang istri menghormati rahasia suami. Ini sebuah refleksi yang indah bagi suami-istri di zaman ini yang sering menuntut ‘keterbukaan’. Padahal, kita akui atau tidak, semua orang berhak memiliki rahasia, sebagaimana Japar. Tuntutan ‘keterbukaan’ pun bisa menciptakan ‘pengekangan’.

[...] Di antara lipatan sarung yang bagi Japar tabu disentuh istrinya, menyembul lintingan kertas berserat kuning [...] (hal. 106).

Cerpen Rabeg memiliki potensi sebagai antitesis pada karya (cerpen) yang diidentikkan falosentrisme atau misoginis. Taktik Japar menyembunyikan resep rabeg (lintingan kertas berserat kuning) agar cita rasa rabeg buatan Romlah tidak enak (tidak laris) bisa diasumsikan sebuah tindakan yang diskriminatif. Sebagai suami, Japar, menghalangi istrinya untuk maju.

Tetapi, bila kita memutar waktu dan mencermati ‘sejarah laki-laki’, maka akan kita temukan hegemoni yang menjauhkan laki-laki dari humanitasnya. Bahwa, laki-laki dikondisikan sebagai makhluk (gender) yang sarat dengan kekerasan. Kebudayaan laki-laki adalah kebudayaan kekerasan. Laki-laki yang tidak memiliki ‘kekerasan’ (seperti gagah dan perkasa) sebagai konsep diri akan menerima stigma sosial. Salah satu sebutan yang berakar dari stigma sosial ini yaitu sebutan ‘banci’.

Pada konteks cerpen Rabeg, pertentangan antara nilai-nilai ‘budaya kekerasan’ muncul dalam diri Japar. Ia terobsesi menjadi seniman debus. Tak mengherankan memang. Sebab, menjadi artis debus yang memukau penonton dengan aksi-aksi ‘berbahaya dan mematikan’ cenderung lebih maskulin daripada pekerjaan yang ditawarkan Romlah (sebagai petani, pedagang, atau buruh bangunan).

Wi Noya menutup cerpen ini dengan indah. Di mana Japar gagal menjadi artis debus dan melahap rabeg lezat buatan istrinya. Agar ketegangan memanas, lazimnya dalam cerpen-cerpen yang menghadirkan kejutan. Bisa saja Romlah merasa dikhianati karena Japar menyembunyikan resep rabeg. Japar memarahi istrinya karena kelezatan rabeg buatan Romlah akan mengingatkannya pada masakan Abah dan resep rabeg yang ia sembunyikan ditemukan Romlah. Tetapi, Wi Noya memilih untuk meredam konflik.

Tetapi, ketiadaan kejutan konvensional yang menghantam tersebut, malah membuat Rabeg menjadi istimewa. Wi Noya berhasil menghadirkan refleksi untuk berdamai dengan prasangka. Konflik tidak selalu bisa dihadirkan secara verbal atau dialogis, melainkan dalam bentuk pergulatan batin. Bahwa semua orang pasti memiliki rahasia-rahasia yang bergulat dalam batinnya. Ketidakterbukaan tidak selalu berarti memudarnya kasih sayang.

Dari jejeran cerpenis dalam Banten; Suatu Ketika, Aksan Taqwin Embe lah tampaknya yang terburu-buru merangkai logika dalam gugusan fonetik. Dalam kumpulan cerpen ini, Aksan Taqwin Embe mengangkat keberadaan kujang (keris khas Banten) dalam cerpen bertajuk Kujang Meradang. Cerpenis mengangkat narator bernama Encep dengan ayah angkat yang menderita akibat kehilangan kujangnya. Di akhir cerita, sang ayah mengalami transformasi fisik menjadi badak. Ide cerita memikat. Sayang, cerpenis belum mengembangkan dengan matang. Kesalahan ketik tersebar. Belum disiplin dalam berbahasa. Bahkan, pada hal-hal yang mendasar, seperti sebutan untuk ‘bapak angkat’ (karena tokoh ‘aku’ ditemukan atau bukan putra istri dari suami sebelumnya), tertulis sebagai ‘bapak tiri’.   

Umumnya, koreksi atas karya sastra dianggap selesai setelah publikasi. Revisi terbatas pada kesalahan ketik. Tapi, resensor menyarankan agar Kujang Meradang direvisi bila Banten; Suatu Ketika kembali naik cetak. Logika, pilihan diksi, dan korelasi antar paragraf perlu direkonstruksi ulang. Sehingga, ide besar dalam cerpen ini dapat dikomunikasikan dengan indah.

Selain Guntur Alam dan Teguh Afandi yang mengangkat keberadaan anak-anak yang menjadi subjek korban kekerasan, hadir pula Ismawanto dalam cerpen bertajuk Tarian Sang Gurandil. Gurandil yang dimaksud adalah penambang emas liar di kawasan Cikotok. Tokoh Adang menjadi representasi anak-anak yang menjadi subjek kekerasan domestik. Karena terpikat kemewahan, ibunya memaksa Adang menjadi gurandil.

“Anak-anak, Monas itu adalah milik kita. Mestinya itu menjadi simbol kebesaran kota kita, Cikotok [...] Suatu hari tanah leluhur kita dikeruk emasnya 25 kilogram kala itu yang sekarang dipancang di Monas itu [...] Cimandur, jembatan tua tinggallah catatan hitam para romusha.” Itulah yang tak pernah lupa dalam ingatan Adang (hal. 127).

[...] Kemudian Jaro bicara, “Siapapun tidak boleh ada yang bicara macam-macam di luar kalau kita masih ingin menjadi sang gurandil di sini [...] Mak Ayun masih belum berhenti menangis. Dia menyesali keputusannya memaksa Adang menjadi sang gurandil sejati (hal. 130).

Pemaksaan ibunya, mengantarkan Adang pada kecelakaan di pertambangan. Selain Mak Ayun tidak memiliki kesanggupan finansial agar Adang mendapat perawatan medis, masyarakat akan terancam mendapat hukuman pemerintah bila Adang di bawa ke rumah sakti.

Sungguh sebuah peristiwa yang memilukan. Sebab, emas di puncak tugu Monas ternyata berasal dari Cikotok. Sementara Monas dipuja sebagai kebanggaan negara, di daerah penghasil emas pada tugu ini, penduduknya masih jauh dari sejahtera dan dilarang menambang kekayaan alamnya.

Selain Richa Miskiyya yang mengangkat ‘kasih tak sampai’ dalam Perempuan Lesung muncul pula Fatih Muftih yang menuturkan kisah yang senada dalam cerpen bertajuk Mercusuar. Cerpen Mercusuar berkisah tentang cinta Van pada Laksmi yang bertepuk sebelah tangan. Menggunakan cara bertutur alur ‘sorot balik’. Sehingga, ruang cerpen ini seolah dibangun dua dimensi yang berbeda, yaitu masa Van remaja dan Van dewasa. Dapat kita cermati pada dua fragmen berikut.

“Suatu nanti kamu harus mengajakku ke sana.”
Tanpa perlu kau pinta, Laks.
“Itu akan melengkapi kepingan mercusuarku.”
Kupastikan itu, Laks (hal. 140).

Mercusuar impian Laksmi ini malah menjadi pertanda, bahwasanya aku sendiri adalah mercusuar, yang sepanjang malam terus berpendar, sang nahkoda pelayaran hati, Laksmi, sudah tak melewati tempatku berdiri (hal. 143).

Kedua keping dimensi tersebut diikat secara simbolik dengan keberadaan ‘mercusuar’. Sehingga, alur tidak berlari dari pondasi yang di bangun. Laksmi yang memiliki replika mercusuar yang terobsesi pada mercusuar nyata. Dan, Van yang di kemudian hari dapat menapakkan kaki di mercusuar. Meski dibumbui dengan sentuhan misteri, konflik terasa datar. Tidak teraba pertentangan nilai. Walau demikian, kepiawaian Fatif Muftif dalam mengikat alur yang terbelah pada dua ruang dimensi, mengindikasikan cerpenis belia ini memiliki potensi yang akan terus berkembang dan menjanjikan di masa datang.

Kumpulan cerpen Banten; Suatu Ketika ditutup Sulfiza Ariska dengan cerpen bertajuk Larva Waktu. Cerpen ini mengangkat kisah dengan latar belakang Banten masa pendudukan kolonial Belanda. Terdapat tiga nyai (gundik) milik Meneer Van Reijnst yang mempengaruhi alur cerita, yaitu Nyai Dasima, Nyai Landrang, dan Nyai Pudhakwangi.

Sementara Nyai Landrang dan Nyai Pudhakwangi terbius kemewahan dan kesenangan, Nyai Dasima memiliki kesadaran untuk mengubah nasibnya. Hal ini dipicu kecintaan Nyai Dasima pada membaca. Dengan membaca, cakrawala berpikirnya menjadi luas. Dari membaca pula, khususnya buku Max Havelaar, ia menemukan jalan untuk bergabung dengan pergerakan kaum sosialis-humanis-liberal Eropa dan Asia dalam wadah organisasi Pemoeda Banten. Penguasaan Nyai Dasima berbahasa asing mengantarkan Nyai Dasima menjadi penerjemah dan penulis pada surat kabar Pemoeda Banten.

Di antara ketiga Nyai milik Meneer Van Reijnst, Nyai Dasima (Upi) memegang peran utama yang disimbolkan pada judul cerpen, sebagai ‘larva waktu’. Meskipun melepaskan status dan kenyamanan sebagai Nyai, Nyai Dasima memiliki kuasa atau kendali atas nasibnya. Bahwa, ia mampu beradaptasi seiring perjalanan waktu, menciptakan hidup menjadi lebih baik, tidak lumpuh di ‘zona aman’ yang disimbolkan sebagai ‘kepompong’.   

Sayangnya, upaya cerpenis dalam mengikat alur tidaklah efektif. Sebab, pada cerpen ini terdapat tokoh yang bisa diasumsikan terlalu banyak untuk sebuah cerpen. Tak hanya sekadar banyak, para tokoh bermain dan membangun karakter masing-masing. Akibatnya, ikatan simbolik menjadi rapuh. Dapat kita cermati pada paragraf berikut. 

Markas Pemoeda Banten terletak di Kampung Lebak. Di sana, Nyai Dasima tidak hanya menemukan Marie Dapperste. Ada dokter Alfred van Vaalberg dari Utrecht. Ia yang pertama kali mendiagnosa penyakit sifilis—dalam tubuh Nyai Dasima—dan mengobatinya. Nyai Dasima juga mengenal Fu Zhang Xiu yang penuh energi kehidupan. Perempuan bermata sipit itu belum genap berusia tujuh belas tahun, tetapi dirinya menjadi motor Angkatan Muda Tiongkok di Timur Jauh—gerakan yang membela rakyat Tiongkok dari penindasan Kaisarina Ye Si (hal. 150-151).

Walau demikian, penguasaan Sulfiza Ariska pada sejarah pendudukan kolonial Belanda, membentangkan harapan, kelak cerpenis ini menetaskan karya yang pernah diretas maestro sastra Indonesia yang intens mengangkat masa kolonial Belanda; Pramoedya Ananta Toer.

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan, imaji para cerpenis Banten; Suatu Ketika telah merantai fakta. Semua peristiwa yang dibahasakan melalui gugus fonetik kumpulan cerpen ini memiliki substansi kontekstual dan realitas. Para cerpenis telah memungut fakta dan mentransformasikan ke dalam seni sastra. Melalui lima belas cerpen ini, para cerpenis mendokumentasikan fenomena sosial, menjalin ke dalam struktur pemikiran dalam tulisan, dan memicu lahirnya solusi. Maka, semakin kukuhlah implementasi intertekstualitas. Bahwa, karya sastra kapan pun ditulis tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Karya sastra akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pandangan tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain, yang kesemuanya dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan.

Oleh sebab itu, Banten; Suatu Ketika sangat potensial untuk digali relevansinya dengan kontekstual Banten. Agar, pemerintah Banten dapat menata pembangunan sosial yang lebih merata dan berkeadilan. Budaya literasi perlu terus dikembangkan. Sayembara menulis cerpen Banten menjadi agenda tahunan dan kualitas penilaian ditingkatkan. Para juri sebaiknya tidak terperangkap dalam gugusan fonetik, melainkan melihat mutu dialogis antara teks dan kontekstual. Tentunya, kita membutuhkan praktisi sastra yang tidak hanya piawai dalam susastra, melainkan menguasai psikologi sosial-antropologi-sosiologi ke-Banten-an. Implikasinya, cerpen (karya sastra) tidak lagi dipandang sebagai petualangan imaji yang hanya berfungsi untuk mengusir sepi; setelah kebutuhan terhibur mencapai kepuasan, teks sastra ditinggalkan. Melainkan, adanya upaya penggalian nilai-nilai humanisme dalam teks sastra. Dalam ‘atap sastra’ lah semua elemen-elemen sosial disuarakan; tempat di mana presiden dapat setara dengan pelacur; sebuah potensi yang sulit dijangkau keilmuan lainnya yang cenderung parsial, diskriminatif, dan dikotomis.   
Terakhir, kesejahteraan seniman sastra dan seniman bidang lainya, perlu ditingkatkan. Sebagaimana Ali Sadikin membangun Jakarta. Di mana seniman memiliki eksistensi dan posisi terhormat yang direpresentasikan pembangunan Taman Ismail Marzuki. Sebab, para seniman-lah yang peka menangkap suara rakyat dan mendokumentasikan fenemona sosial. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ditangkap seniman, pembangunan sosial di Banten akan lebih berkeadilan. Hingga, Banten Madani bukan sekadar mimpi atau slogan, melainkan terwujud menjadi nyata. Semoga!


  • 0 Comments


Oleh: Ahmad Abdul Mu'izz

DataBuku:

Judul: Banten; Suatu Ketika
Penulis: Guntur Alam, Ank Ariandi, RichaMiskiyya, dkk.
Penerbit: Banten Muda Community &Framepublishing
Tahun Terbit: 2012
Tebal: xiv + 164 hlm.
ISBN: 978-979168486-6

“Banten; Suatu Ketika” merupakan antolologicerpen pemenang sayembara menulis cerpen yang diselengggarakan Banten MudaCommunity  pada awal September hinggaakhir Oktober 2012. Dari dua ratus tiga puluh tiga cerpen yang diterima panitiasayembara, hanya dipilih lima belas naskah cerpen yang dibukukan, yakni tigacerpen juara dan dua belas cerpen unggulan.

Antologi cerpen ini menyajikan berbagai macam cerita pendek dengan tema yangsangat beragam – mulai dari tema sosial, religi, budaya, dan tema-tema menariklainnya – yang tentu saja bersetting di Banten. Dengan berbagai tema tersebut,cerpen-cerpen dalam buku ini dapat menarik kita larut dalam cerita di Bantenpada suatu ketika: masa lalu, kekinian, maupun masa yang akan datang. Menariknyalagi, sayembara menulis cerpen yang kemudian dibukukan ini tidak hanya diikutioleh orang Banten, akan tetapi orang-orang di seluruh nusantara yang mampumengangkat nilai-nilai luhur lokalitas Banten dalam suatu cerita pendek.

Antologi cerpen ini dibuka dengan cerpen juaraI yang berjudul “Tiga Penghuni dalam Kepalaku” karya Guntur Alam yangmengisahkan problem seorang anak penjual asongan di Pelabuhan Merak, mulai dariperlakuan jahat sang ibu yang sering mengambil uang hasil jualannya untukberjudi, kekerasan seksual oleh preman pelabuhan, hingga kisah percintaansesama jenis yang ia nikmati dengan seorang pedagang Pop-mie yang mengayominyaselama ini. Guntur Alam mengemas cerpen ini dengan gaya bertutur yang sangatmenarik dan lugas.

Cerpen selanjutnya berjudul “Bebek PanggangNyai Pohaci” karya Ank Ariandi yang menjadi juara II. Dia menyajikan cerpennyadengan bahasa yang begitu hidup, bahasa prosa. Bahkan, di beberapa bagian,seolah-olah membentuk puisi, sehingga pembaca akan merasakan atmosfer yangsangat berbeda bila dibandingkan dengan cerpen pertama yang disajikan denganbahasa yang lugas. Cerpen ini mengisahkan tentang ritual nukuh, sebuah ritualyang diselenggarakan masyarakat pedalaman Banten guna menghormati Nyai Pohacisang Dewi Padi, dengan harapan hasil panenan padi nanti berhasil. Ceritadisajikan dengan sangat lembut dengan sebuah hentakan di akhir cerita. Menarik!

Kisah tentang perempuan pemain lesung yangmenjadi dambaan setiap lelaki di suatu perkampungan tepi laut yang menghadapSelat Sunda menjadi cerpen ketiga dalam antologi ini, berjudul “PerempuanLesung” karya Richa Miskiyya yang menjadi juara III dalam sayembara ini. Banyaklelaki yang sudah datang ke rumahnya untuk meminang, akan tetapi Halimah,perempuan lesung tersebut, selalu menolaknya. Dia menunggu seorang pria tampanyang ia temui dalam mimpinya datang meminangnya. Cerpen ini diakhirinya dengansangat manis oleh penulisnya.

Selain tiga cerpen pemenang tersebut, masihada dua belas cerpen unggulan yang dimuat dalam buku ini. Cerpen-cerpen yangsangat kaya kisah, kaya pesan dan hikmah, tanpa harus menggurui pembacanya. Ada“Candiru” karya Uthera Kalimaya yang berkisah tentang seorang lelaki yangkemaluannya dimasuki seekor ikan air tawar yang bernama Candiru atau canero(Vandellia cirrhosa) saat buat hajat di kali yang membuat kampungnya gentar.“Lembur Singkur” karya Ikal Hidayat Noor yang bercerita tentang lembah sunyinan damai, tempat mengasingkan diri dari perang saudara. “Ini yang Berlabuh”karya Teguh Affandi yang mengangkat tema anak gembel yang berambisi untukmemeluk seorang perawan sebelum mati. Dan masih ada sembilan cerpen lagi yangmengangkat berbagai tema dalam berbagai rentang masa yang sangat layak untukdibaca dan diapresiasi.

Di setiap pergantian bagian dalam bukuantologi ini, juga disajikan gambar-gambar ilistrasi yang akan memanjakan matapembaca setelah mengarungi kata demi kata dalam setiap cerita-cerita yangdisajikan.

Di samping kelebihan-kelebihan tersebut,antologi cerpen ini juga mempunyai beberapa kekurangan, seperti pemborosan katadan  perincian, serta penggunaan tandabaca yang tidak tepat dalam beberapa bagian.
Secara keseluruhan, buku ini sangat layakuntuk dibaca, diapresiasi, dan menambah koleksi buku sastra dalam rak bukuAnda.
  • 0 Comments


Tribun Jogja, Minggu (9/6/2013)
Oleh Astuti Parengkuh

Judul            : Banten Suatu Ketika
Penulis        : Guntur Alam dkk
Jumlah hal.  :xiv +162
Penerbit       : Banten Muda Community&Framepublishing Yogyakarta
Tahun Terbit : 2012
Harga           : 29.750

            Banten Suatu Ketika adalah representasi dari sebuah komunitas penulis muda yang menggelar Sayembara Menulis Cerpen dengan setting Banten. Menggabungkan belasan cerita pendek dengan berbagai genre (melodrama,misteri, fantasi/futuristik) tentu bukan hal mudah, namun upaya Banten MudaCommunity untuk menjembatani para seniman aksara hingga mewujud menjadi buku patut diacungi jempol.

            Diawali dengan cerpen yang berjudul ‘Tiga Penghuni dalam Kepalaku’ goresan pena Guntur Alam. Sebagai peraih juara1, cerpen ini tak diragukan membawa pembaca kepada imajinasi linier. Dikisahkan tentang ‘aku’ yang memiliki 3 kepribadian di dalam dirinya. Hubungan sebab akibat, lalu muncullah ego dan superego membentuk diri si ‘aku’ untuk mencari penyelamatan-penyelamatan bagi dirinya. Selalu luput dari cedera yang lebih berat atas siksaan ibu kandungnya yang suka berjudi dan meminta paksa uang hasil kerja jualan pop mie di Pelabuhan Merak, ‘aku’ bisa bersembunyi dengan kepribadian ‘seorang laki-laki gagah’. Pun tatkala Bang Codet dan Kang Asep yang menderita disorientasi seksual, ‘aku’ bisa berulah karena ada kepribadian lain pada dirinya.
                                                                                                                                        
            ‘Bebek Panggang Nyai Pohaci’ berbahasa puitis, seperti prosa liris dari awal cerita dituturkan hingga akhir. Ank Ariandi berhasil membawa pembaca hingga lena mengikuti alur cerita. Inilah keunggulan cerpen ini bila dibanding konflik yang dibangun. Mengambil tema yang sederhana tentang Nyai Pohaci yang disakralkan bagi masyarakat Banten. Nyai Pohaci di Jawa lebih dikenal sebagai Dewi Sri, dewi kesuburan.

            Richa Miskiyya, cerpenis produktif mengusung cerita tentang perempuan lesung. Halimah si ‘Perempuan Lesung’ adalah satu dari puluhan wanita pemain lesung dan menjadi primadona kampung. Dia menolak pinangan para lelaki yang datang kepadanya, Halimah lebih tertarik dan jatuh cinta kepada lelaki yang setiap malam datang dalam mimpinya sejak dia memainkan lesung untuk pertama kali. Richa piawai membesut alur, hingga pembaca dibuat merinding akan kisah yang dia tuliskan tentang Halimah yang menjumpai Zareba, sang lelaki misterius. Pembaca seolah terkagum ketika mendapati akhir cerita, bahwa pernikahan dua sejoli itu hanyalah olah imajinasi dari Halimah belaka. Kisah kasih tak sampai yang tak akan habis diceritakan meski dunia semakin tergerus peradaban.

            Pada cerpen ‘Macan Angop’ karya Badri Yunardi dijumpai warna komedi satire. Badri lincah bertutur layaknya anak muda yang suka ceceriwisan melukis keadaaan dengan detil hingga terdapat beberapa kalimat panjang namun memukau. Ber-setting dunia pesantren yang dinamis dengan tokoh yang bernama Muhammad Syihabbuddin yang dijuluki Macan Angop, penulis seakan tak bisa dikendalikan untuk mengeluarkan kata-kata sehingga pembaca dipaksa memelototi huruf hingga sampai kepada akhir yang takjub.

            “Inilah wajah kita, Banten
            Wajah yang beraneka rupa
           Inikah wajah kita?
           Yang sinis menatap wajah murung yatim piatu.
           HUABBBHHHHHH!!!
           “Ya sudahlah, kita makan-makan sekarang…” (hal.87)

            ‘Cula Karo’cerpen karya Winda AzZahra mencoba membidik tema pelestarian Badak Bercula Satu yang semakin langka di ujung Kulon. Mengambil setting Indonesia masa depan (tahun 2062) di sebuah tempat konservasi Ujung Kulon Research Center (UKRC). Dengan gaya fantasi futuristik, Winda berhasil menggiring pembaca untuk berpikir kembali secara terbalik (dekonstruksi) tentang khasiat cula badak. Cula bukan lagi sebagai obat untuk penunjang hidup manusia tetapi obat mati alias racun sehingga manusia kian hari kian punah.

            Membaca ‘Kujang Meradang’ karya Aksan Taqwin Embe adalah membaca kelembutan bahasa yang membungkus kisah mistis. Bertutur tentang kujang sebagai senjata khas Banten yang kerap bahkan wajib dipunyai oleh para jawara. Tersebutkah tokoh ‘bapak’ sebagai kolektor ribuan kujang yang ‘menyalahi’ amanat karena dia lupa mantra, yang akan membawanya kepada kutukan hingga anak cucu selama tiga turunan.

            Tulisan bernada tragedi dan melodrama terdapat dalam cerpen ‘Tarian Sang Gurandil’ karya  Ismawanto dan ‘Larva Waktu’ goresan pena Sulfiza Ariska. Gurandil adalah sebutan untuk penambang emas liar yang terdapat di daerah Cikotok. Demi mendapatkan hasil tambang seperti Jaro tetangganya, Adang menuruti kata sang ibu,Mak Ayun yang tak kapok melihat tragedi yang menimpa suaminya, tewas terkubur di ‘lobang’, jalur batu emas. Takdir yang sama menimpa Adang, dia terkubur di ‘lobang’ setelah memukul lubang potas dengan palu. Untung tubuhnya bisa dikeluarkan. Namun seperti kisah klasik lainnya, selalu ada pecundang yang ingin memelihara kebiasaan buruk yang cenderung melenakan dan tidak mengikuti aturan.

            Cerpen ‘Larva Waktu’ mengajak pembaca untuk bernostalgia dengan sejarah yang melankolis. Cerita yang sarat akan idealisme tentang kebangkitan bangsa Indonesia dibalik kisah drama Nyai Dasima dan para nyai dari Meneer  Van Reijnst. Bacalah sebuah kutipan yang menggugah itu, “Bahasa adalah senjata. Setiap kata memiliki kuasa. Penderitaan rakyat terjadi ketika bahasa digunakan penguasa sebagai senjata untuk menjajah. Bukan mahkota, bukan singgasana, bukan pula istana yang diinginkan rakyat ; melainkan  persamaan, kebebasan, dan persaudaraan.” (hal.150)

            Membaca Banten Suatu Ketika adalah membaca sastra yang sebenar-benarnya. Pembaca diajak untuk memperhalus budi pekerti, membentuk karakter serta mengugah nurani. Sebuah buku berupa antologi 15 cerpen yang wajib dimiliki oleh setiap orang yang mengaku pecinta buku. [*]



  • 0 Comments


Seseorang memanggil namaku saat kasir itu memberitahu harga yang harus kubayar dari barang-barang yang kupilih. Kutolehkan sejenak kepalaku, dan kulihat kamu. Seketika itu, rasanya aku ingin memelukmu dan mengucapkan kata seperti yang aku rasa. Kangen. Lama tidak bertemu. Apa kabar. Dan kalimat lainnya yang menyatakan betapa senangnya aku melihatmu. Meski ini dalam ketidaksengajaan.
         Tapi, tentu saja aku tahu itu tak mungkin. Karena sangat memalukan melakukan itu.
      Obrolan singkat perihal kabar kulakukan denganmu, meski dengan agak berat hati aku segera menyudahinya dan buru-buru pergi. Informasi sekilas perihal tempat tinggalku saat ini kucemarkan di udara di belakangku. Sementara aku lupa meminta kontakmu, dan barangkali kau pun lupa. Lalu, apa kita akan bertemu lagi? Semesta mungkin akan mempertemukan, dan kuharap itu dalam keadaan yang paling menyenangkan. Semoga kebahagiaan selalu bersama kita.
  • 0 Comments

Saya sangat suka apel, dan selalu menginginkan 'apel merah tanpa gombal' dibanding sebuket mawar. Dan karena kalimat lain terkesan cukup umum, saya memilih kalimat khusus ini sebagai kalimat yang tidak bisa saya ucapkan padamu. Hey! Siapa kamu?
Dan karena 'someday' berarti tidak akan pernah--akan tapi tidak pasti, saya tidak bisa berjanji mengatakannya secara langsung. Mungkin akan, mungkin tidak. Tapi, di sini saya mengatakannya. Eh, ini bukan berarti saya meminta kamu memakan atau menggigit saya, ya. Jika itu kamu lakukan, saya akan lari lho. :-D
  • 0 Comments
with
Egi Superego & Toha Rastafara

Start!


Egi Superego
Klw susah hati bertepuk sebelah tangan
Uthera Kalimaya 

Kalau kau patah hati, tepuk jari.
Toha Rastafara

Kalau kau sedih hati angkat tangan
Uthera Kalimaya

Kalau kau iri hati, tunjuk tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau dengki hati, lipat tangan.
Uthera Kalimaya 

Kalau kau muram hati, tiup tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau gundah hati, cium tangan.
Uthera Kalimaya 

Kalau kau luka hati, gigit tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau tinggi hati, cuci tangan.
Uthera Kalimaya 

Kalau kau buka hati, jabat tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau rendah hati, ringan tangan. (Loh kok jadi kata sifat)
Uthera Kalimaya 

Hahaha. Kalau kau main hati, potong tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau diam hati, asah tangan.
Uthera Kalimaya 

Kalau kau rindu hati, raih tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau leleh hati, usap tangan.
Uthera Kalimaya 

Kalau kau tutup hati, buka tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau tangguh hati, genggam tangan.
Uthera Kalimaya 

Kalau kau yakin hati, julurkan tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau miskin hati, lepas tangan.
Uthera Kalimaya 

Kalau kau salah hati, lambaikan tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau bersih hati, regangkan tangan.
Uthera Kalimaya 

Kalau kau kotor hati, cuci tangan.
Toha Rastafara 

Kalau kau tusuk hati, berdarah di tangan (After Sutardji CB)
Uthera Kalimaya

Kalau kau murah hati, bersihkan tangan.
Toha Rastafara

Kalau kau mahal hati, jual tangan.
Uthera Kalimaya

Kalau kau ingin hati, peluk tangan.
Toha Rastafara

 Kalau kau peka hati, gesit tangan.
Uthera Kalimaya

Kalau kau pakai hati, simpan tangan.

Kalau kau?
  • 0 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top