utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact




"Ada yang tidak beres dengan matamu," bisik seseorang di kepalaku, saat kulihat kamu berjalan beriringan dengan seorang perempuan. "Wahahaha... Dia bawa perempuan, mampus! Sakit hati, kan, kau?" Ujarnya lagi.
Sebentar. Aku harus mencari tahu apa yang kurasakan. Diam dulu di sana, biar aku memikirkannya.
Satu: Rasanya tidak ada yang aneh.
Dua: Agak mengganggu mata, sih.
Tiga: Hmm...
Empat: Aku tidak cemburu.
Lima: Apa ini? Kenapa orang-orang itu lebih sibuk dariku? Mereka merasakan patah hati? Atau cuma menggodaku?
Enam: Yahahaha... Mereka bilang aku cemburu?
Tujuh: Baiklah, aku sedikit terganggu, tapi tidak cemburu, atau kecewa. Oke?
Delapan: Apa? Kamu bilang aku melarikan diri? Menyembunyikan apa yang seharusnya tidak disembunyikan? Kamu sok mengenal diriku. Sudah kukatakan aku baik-baik saja.
Sembilan: Terganggu karena apa? Terganggu karena aku tidak khusyuk menggambarnya dari meja ini. Tapi, sudahlah, toh aku bisa menggambarnya kapan saja.
Sepuluh: Haha... Iya, sih. Kami belum berkenalan. Bahkan dalam mimpiku pun kami belum berkenalan. Dan karena itu pula, aku baik-baik saja. Ini bisa aku ibaratkan seperti menggambar objek dari jarak aman.

"Oke, terus kenapa kamu lemas, gitu?"
"Belum makan!"
"Tadi kan sudah makan ketoprak."
"Lapar lagi."
"Kamu selalu banyak makan kalau sedang patah hati, kan?"
"Gimana mau banyak makan, orang lagi sakit tenggorokan..."
"Alah! Alasan saja kamu... Bilang saja patah hati."
"Stop! Keluar dari kepalaku sekarang!"
"Hahaha... Tuh, kan, kamu marah padaku..."
"Marah karena kamu melulu mengatakan aku patah hati. Apa kamu akan senang bilang aku mengiyakan padahal aku sendiri tidak merasa demikian?"
"Oke, oke, aku tidak akan mengatakannya lagi. Hahahaha... Tapi.. Apa benar kamu tidak merasa patah hati?"
"Sundal, kau! Keluar!"
  • 0 Comments
     
     Kadang kalau sedang dalam keadaan 'genting' seperti siang ini (24 Oktober 2012), saya suka berpikir; betapa asyik jadi binatang yang tidak memiliki rasa malu, bisa kencing di mana saja, di depan betina atau jantan, di plang bertuliskan 'Dilarang Kencing Sembarangan Kecuali Binatang', di belakang gedung, atau di mana saja. Dan kamu pasti tahu betul bagaimana rasanya menahan pipis itu, bukan? Sakit di kantung kemih itu lebih sakit dari diselingkuhi pacar. Oke, pengandaian itu memang tidak masuk akal karena saya belum merasakan--atau mungkin sudah tapi saya tidak sadar. Tapi, apa pun itu, pokoknya sangat tidak nyaman.
      Di sisi lain, saya juga ingat film Korea berjudul Small Town Rivals yang beberapa waktu ditayangkan di teve Net. Plotnya silakan lihat di wikipedia saja, ya. Saya hanya akan menceritakan adegan saat Chun-Sam sedang memimpin unjuk rasa, tapi mendadak kebelet ke toilet. Dia lalu pergi ke gedung di tempat mereka unjuk rasa. Tapi, malangnya, saat hendak masuk ke toilet, ia bertemu dengan Dae-Gyu dan orang-orang yang sedang diprotesnya itu. Dae-Gyu dan orang-orangnya merasa perlu mengusir Chun-Sam, sementara Chun-Sam tentu saja perlu ke toilet. Dorong-dorangan pun terjadi, hingga akhirnya Chun-Sam tidak tahan lagi, dan buang air besar di celana, di hadapan mereka yang mendorongnya.
      Itu memang dua penggal kisah yang berbeda. Tapi intinya; betapa toilet diperlukan  oleh manusia, siapa pun dia, bagaimana pun keadaannya (ingin pipis atau buang air besar). Jadi, marilah kita langsung ke inti cerita saja. Begini ceritanya (gaya seorang kawan yang selalu memulai cerita dengan mimik serius dan selalu awal mula begitu). Siang itu saya buru-buru pergi ke kantin Untirta untuk bertemu dengan Dedod (panggilan sayang untuk Dhee Lintang Weungi) yang mengajak membuat kejutan di hari ulang tahun suaminya (Irwan Sofwan) yang jatuh di hari ini.
      Sampai di Kafe Ide, sudah banyak orang yang duduk-duduk di bawah pohon Mangga itu. Tentu mereka ada campuran, warga asli Kafe Ide, dan warga sekitar yang merasa di sana adalah tempat paling nyaman. Begitu pula saya. Ngobrol ke sana ke mari, mendengarkan, atau cuma termangu menatap ke arah orang-orang di kantin dengan segala makanan dan minuman di meja mereka sedang di hadapan cuma ada kopi. Saya menunggu Dedod di sana. Katanya ia sedang beribadah dulu, begitu jawaban SMS-nya. Tidak berapa lama--yah sekitar dua kali memutar lagu Melukis Wajah Tuhan, dua kali memutar Tidurlah Perempuanku, dan Candu Rindu bersama seorang kawan, Pita yang mengaku senang mendengar Musikalisasi Puisi grup Serenada itu. Tapi rencana membuat kejutan sepertinya agak meleset; kue tart belum dibeli, lilin tidak ada hanya ada obor (itu pun harus buat dulu). Dan akhirnya, kue tart gagal, hanya gorengan seharga 20ribu saja. Tapi, tentu saja apalah perayaan, atau kejutan dari orang-orang, bukan? Sebab hidup kita pun sudah sering memberikan kejutan-kejutan itu.
     Setelah beberapa lama, kantung kemih saya mulai mengajak ke toilet. Saya pamit sebentar menuju ke gedung PKM B. Saya tahu, toilet di lantai satu mampet, jadi saya langsung menuju lantai dua. Tapi, rupanya para pekerja sedang membetulkannya juga. Kembali ke lantai satu, toilet di sana sudah tertutup (ada orang di dalamnya), sementara di pintu ada tulisan dengan cat; Rusak!
     Saya langsung menuju ke gedung. Pikir saya, masa sih toilet di gedung rusak juga? Gedung B tujuan saya, dan dari pintu itu saya langsung berjalan ke sebelah kanan. Seorang perempuan yang usianya jauh di atas saya rupanya baru membuka pintu, dan membetulkan lengan baju di depan pintu. Jadilah saya menunggunya. E-eh, tapi dia keluar sembari menarik pintu dan menutupnya. Saya mengerutkan dahi, dan memberanikan diri bertanya; "Ini toilet khusus dosen, ya, bu?" Ia memandang saya sekilas, bergumam tidak jelas, mimiknya malas, tapi dia menganggukkan kepala. Saya berujar lagi. "Oh, kalau begitu, toilet khusus mahasiswa di sebelah mana, ya, bu?" Ia menatap saya lagi, mungkin menaksir 'apa saya mahasiswa kampus ini atau bukan'. Tapi mimik malas, dan ucapannya tidak jelasnya masih ada saat menunjuk dengan dagu ke ujung lorong lain yang tampak gelap. "Oh, terima kasih, ya, bu," ucap saya sebelum berjalan cepat-cepat ke lorong itu. Tapi, bukan toilet dengan bak penuh berisi air. Hanya pintu yang ditempeli tulisan; "WC Mampet". Saya langsung balik kanan, kembali ke tempat berkumpul. Mereka bertanya pada saya ketika saya datang dengan kikik geli 
    Entahlah, saya tidak tahu kenapa saya tertawa, hanya saja seperti ada yang menggelitik perut. Saya ingat film Korea itu, saya hafal mimiknya, mengingat apa yang dulu ia katakan, dan membayangkan bila saat ini saya berada di posisi pria itu. Akh! Apa yang terjadi kemudian? Malu di saya, mungkin. Tapi, rasanya pasti puas melihat wajah kaget dosen atau entah siapa dia yang berkantor di samping toilet itu. (Hihi)
      Hanya saja, bila saya review ke dahulu, permasalahan di kampus ini sepertinya tidak pernah move on dari permasalahan seputar fasilitas belajar; kursi-kursi, white board, AC, tempat parkir, tempat sampah, genset, dan tentu saja permasalahan toilet ini juga. Dahulu, beberapa pembicara di seminar yang diadakan organisasi di kampus ini sempat membicarakannya di forum; betapa toilet di sini aduhai. Ini sindiran yang mengandung tamparan keras sebetulnya, meskipun nadanya bercanda dan orang-orang yang mendengarnya tertawa. Tapi saking bebalnya, hal macam ini terus saja berulang dan berulang. Tentu saja posisi saya bukan pembicara itu, saya hanya seorang kekasih-yang-tidak-dianggap, itu saja. (Eh?)
      Dahulu, pernah saya bicara pada seorang pejabat rektorat yang kebetulan sidak ke PKM A. Saya mengeluhkan permasalahkan toilet ini; saluran air sering mampet, banjir, pintu rusak, dan lainnya. Ia mengatakan bahwa mahasiswanya kurang menjaga kebersihan. Sementara mahasiswa kemudian menyalahkan pekerja kebersihan yang bekerja di setiap gedung (termasuk PKM) tidak menyentuh toilet. Memang, siapa yang mau disalahkan masalah dalam toilet, sih? Mahasiswa yang memakai tidak merasa merusak, sementara pejabat tidak merasa memakai pun. Tapi, pihak mahasiswa memang kurang telaten juga dengan kebersihan toiletnya ini. Terlepas dari pemikiran 'ada yang membersihkan' itu. Tapi, kalau habis makan jengkol dan tidak menyiramnya dengan benar, kan, kepala situ juga yang harus dipentung, men! Sadar diri, sadar lingkungan. Bagaimana kalau pihak rektorat mempunyai pemikiran untuk menyerahkan kepengurusan toilet ini ke pihak swasta, sehingga nanti setiap kali ke toilet mesti bayar macam di terminal? Apa memang perlu begitu? Saya yakin rektorat mendukung, malah mungkin sudah lama punya pemikiran ke sana (siul).
     Tapi, tentu keluhan masalah toilet ini di-follow up. Buktinya, tidak lama kemudian, toilet PKM A diperbaiki. Lantai baru, penampung airnya baru, wc baru, gayung baru. Hanya saja ada kekeliruan, sebab sebentar kemudian hal itu terjadi lagi. Ya, sampai Alien berkunjung ke bumi untuk ikut pemilihan Miss World pun, permasalahan tolet yang melulu rusak ini akan tetap saja terjadi. Sebab saluran pembuangannya tidak diperbaiki, septic teng-nya tidak 'disentuh' ahlinya (perusahaan sedot septic teng ada, kan?).
       Perbaikan toilet yang sedang dikerjakan saat ini pun rasanya akan sangat percuma. Kecuali memang niatnya membuang anggaran yang tidak seberapa itu. Kaya kok kampus ini (lihat saja parkirannya), ratusan juta mah tidak apa-apa, kali ya. Tapi kalau cuma mau menjual 'betapa baru dan bagusnya keramik dan wc, sepertinya itu tidak cukup, bung! Kecuali kalau mau jualan keramik, dan wc, maka segeralah membuat lapak di depan sana (Cuma usul. Heu.. :D).
     Semoga saja saat saya mampir ke Untirta, toilet sudah 'nyaman sentosa'. Setidaknya asyiklah untuk baca buku sambil nongkrong. :-D

Salam, sayang
kekasih-yang-tidak-dianggap.

Penampakan: dipotret setelah kejadian. Hihi
'tolong jangan BAB' tambahannya, terlihat pas motret. -_-")>
Diperbaiki; dapat lantai dan bak baru, ye.. :p

TKP: Nggak enak motret dari depan, ada ibu-ibu yang melihat dari dalam ruang sebelah. *eh?
  • 0 Comments



Awalnya cuma iseng membalas cuitan @nyunyun03 di twitter. Tapi akhirnya keasyikan-keterusan. Hahaha... Semacam curhat colongan, sih. :p

@nyunyun03 Voldemort ! dia-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya
@nyimask Dia-yang-tidak-boleh-dimention :-))
@nyunyun03 dia-yang-tidak-boleh-direset-namanya-di-kontak-bbm *JENIUS*
@nyimask Dia-yang-tidak-difolback-tapi-tetap-diperhatikan. *Eh?
@nyunyun03 dia-dia-dia-cinta-yang-kutunggu-tunggu-tunggu *BIASA*
@nyimask Ahaha... dia-siapa-ya-kok-lucu-begitu. *awal mula*
@nyunyun03 dia-yang-cara-nafas-dan-cara-ngomongnya-aja-beda *dilanjutin sisa semalam*
@nyimask dia-yang-mungkin-sekarang-lagi-UTS. *nyeruput kopi*
@nyunyun03 dia-yang-selalu-ada-dalam-doa-kita-tapi-ahh-sudahlaaahhhh
@nyimask Dia-yang-menjadi-ah-sudahlah-tapi-tidak-pernah-bersudah. Jah!
@nyunyun03 dia-yang-kapan-kapan-kita-jalan-bareng-tapi-sampe-sekarang-aahh-sudahlaahh
@nyimask dia-yang-selalu-ditunggu-lewat-depan-rumah-sekalinya-lewat-malah-bawa-tetangga. Hayoh! Haha
@nyunyun03 dia-yang-tidak-boleh-diedit-namanya-di-kontak teleppon
@nyimask dia-yang-namanya-tidak-ada-dalam-kontak-telepon-tapi-terasa-ada-di-kontak-batin
@nyunyun03 dia-yang-tiap-kita-lihat-wajahnya-tetiba-muncul-RAN-dan-nyanyi-Salah Tingkah
@nyimask dia-yang-selalu-bikin-saya-nyanyi-where-are-you-setiap-sore-tapi-sore-ini-cuma-bisa-nyanyi-only-hope. *perut bunyi mulu* Haha
@nyunyun03 dia-yang-tak-boleh-disapa-dipublik area-karena-nanti-akan-di cie cie-kan-dan-malah-membuat-php-diri-sendiri
@nyimask dia-yang-merasa-sedang-kita-bicarakan-tapi-masih-bertanya-tanya-itu-gue-bukan-ya? :-))

Sadar atuh, sadar. Ini teh semiotik. Pelajari atuh mengenai tanda. Ari kamu... *jiga udah kenal tea... Hahaha*
  • 0 Comments
    


 Ceritanya hari ini saya joging. Eh, bukan ding, tapi jalan-jalan. Sebenarnya salah satu alasan saya melakukan jalan pagi ini adalah rasa keuheul (kesal) saya pada mas-mas tukang sayur. Biasanya pukul 05.30/06.00 mas-mas itu sudah berisik meneriakkan kata 'yuuurrr!' saat lewat. Tapi, sudah beberapa hari ini blok tempat tinggal saya sepi. Paling, ibu-ibu sayur yang jualan siang hari saja. Nah, karena kekesalan inilah, saya sengaja jalan ke depan. Siapa tahu berpapasan dengan mas-mas sayur blok A. Dan benar saja, saya bertemu. Tapi, mungkin karena mamang sayur ini setia pada ibu-ibu di blok itu, jadi ia mengajak saya ke blok A saja. Tentu saja saya tolak. Jauh. Puguh dari tempat saya mencegatnya ke rumah tempat tinggal saya pun jauh, apalagi harus jalan dulu ke blok A. Rempong si mamang. Jadilah saya belanja sayuran di tengah jalan. Haha... Tapi, karena hal ini, acara jalan-jalan paginya jadi harus dipotong karena harus pulang dulu menyimpan sayuran. :-))
      Setelah saya simpan, dengan buku Hikmah Zharathustra (Nietzsche), dan binder, saya meneruskan acara jalan-jalannya. Dan tentu saja, Melukis Wajah Tuhan terus melagu di telinga saya. Pagi ini saya ingin bersenang-senang, bersenandung, dan mungkin menggambar atau membuat tulisan apa saja di jalan. Rencananya begitu. Tapi, rencana ini berubah ketika di jalan tidak jauh dari gerbang depan, saya melihat tulisan kelamin perempuan di jalan. Ini maksudnya apa? Ya sudah, insting saya mulai bekerja dengan sendirinya. Saya potret tulisan-tulisan. Di pepohonan pinang atau sejenis itu, di jalan, di tembok, tiang, dan di mana saja. 
      Memang, areal gerbang depan Bumi Mutiara Serang ini, setiap sore, sering dijadikan tempat kumpul-kumpul remaja tanggung. Entah bersama gengnya, atau bersama pacar. Tempatnya asyik, sih. Cuma, tangan-tangan mereka itu yang tidak asyik. 'Terlalu kreatif, sampai merusak pemandangan di tempat nongkrong mereka sendiri. Mungkin maksud mereka menandai 'ini kawasan gue', macam hewan yang mengencingi kawasan mereka. Lihat saja foto-fotonya, ya.
    Lalu, mereka yang saking 'jatuh cinta'-nya pada pacar, jadi mengukir nama dirinya dan pacar di pohon pinang. Misalnya: "Koyod love Kiyid." Jelas sekali yang menulis masih remaja tanggung. Asa kacida kalau sudah dewasa masih mengukir di pohon begitu. Eh, saya juga pernah mengukir di pelepah pinang, ding. Tapi bukan nama dan love-love-an begitu. Lagian saya pikir, pelepah akan jatuh saat sudah tua (pembelaan diri). Tapi memang, judulnya tetap ukiran, di mana pun itu. Saya juga salah. Mungkin saja, pohon pinang yang saya ukir pelepahnya itu bicara: "Aduduh, situ apa-apaan, sih? Sakit!" Sementara pohon-pohon pinang yang mereka ukir itu menggerutu: "Situ yang jatuh cinta, kok tubuh saya yang situ ukir? Tubuh situ sendiri dong ukir."
      Orang yang sedang jatuh cinta memang suka tidak berpikir panjang. Kalau putus karena disakiti orang yang namanya ditulis itu, apa mereka tidak berpikir ingin menebang pohon itu? Tapi sepertinya ada juga yang kembali lagi untuk menghapus nama di sana. Sebab, saya menemukan semacam ukiran baru yang menganga. Apa mereka tidak malu sama pohon pinang itu? Mungkin si pohon nyocohkeun (semacam mensyukuri) putusnya hubungan mereka. Mungkin, mereka putus karena doa pohon pinang juga.:p
Ah, sudahlah. Selamat pagi, semuanya. Semoga di hari depan kita bisa lebih menjaga segala sesuatunya. Termasuk menjaga tempat nongkrong kita bersih dari segala sampah, dan coretan-coretan tanda kawasan dewek (semoga ada ruang untuk berekspresi anak muda ini), dan semoga jatuh cinta tidak membikin kita lupa bahwa pohon itu hidup, dan mungkin kesakitan saat kita ukir tubuhnya. Dan semoga nasib baik, kebahagiaan, dan rezeki berpihak pada kita hari ini.

Salam, semangat
dari yang belum mandi. (9^_^)9

P.S: Nanti saya tulis yang lebih serius mengenai ini. Untuk saat ini, begini saja dulu. :p





  • 0 Comments

Baby's Breath
credit: greencarelandscapes.net


22 Oktober 2013

     Sore ini, saya janjian dengan kawan untuk menyerahkan tulisan pesanannya, juga dengan seorang kawan baru. Di bawah payung dengan huruf D di empat sisi, dan peringatan rokok di pinggirnya inilah, saya memakukan bokong saya. Menyelesaikan tulisan pesanan, dan mengobrol dengan kawan si empunya tempat yang sudah sedari awal di tempat ini. Sementara kawan baru yang saya tunggu, datang kemudian. Di tempat ini, kawan si empunya tempat ini bercerita tentang tugas kuliahnya, dan menanyakan beberapa hal. Setelah bertemu dengan kawan baru, kami mengobrol meski tersenggal-senggal sebab saya sibuk dengan tulisan (maaf, karena sambutan saya kurang, mungkin lain waktu kita berbincang dengan banyak keseruan).
     Dosen saya, Arip Senjaya atau Pak Kaji (Pak Haji dengan pengucapan cepat) kemudian datang bersama pasukan (maksud saya mahasiswanya yang sedang bimbingan skripsi). Seperti biasa, bapak dosen kami ini berbincang tentang segala hal. Menanyakan nasib skripsi saya. Bahkan menawarkan novel milik seorang kawannya untuk jadi bahan penelitian. Ini memang wujud dari promosinya. Sekaligus kenarsisannya. Hihi...
    Tapi, terus terang, dan demi apa saja yang saya sukai. Saya senang dengan dosen-dosen yang tidak mementingkan 'penghormatan' dari mahasiswanya. Maksud saya, mereka yang tidak sungkan bergabung dengan mahasiswa-mahasiswanya, ngopi, ngerokok, dan ngobrol santai tentang segala hal. Sebab, menurut saya, inilah cara 'penerapan ilmu' yang lebih baik dibanding ceramah di kelas. Apalagi banyak mahasiswa yang merasa kelas hanya sekedar absensi saja. Ilmu macam apa yang bisa diserap bila di kepala mereka hanya ada 'absen', kemudian?
     Soal menghormati seorang dosen, saya pernah ditegur oleh seorang dosen lain saat berbincang dengan Pak Arip ini dengan meng-aku-kan diri. Menurutnya, hal itu tidak masuk akal (tidak sopan). Saya hanya tertawa saja, kemudian menjawab dengan asal; "biasanya saya menggunakan 'loe', 'gue', kok, bu." Dosen yang menegur saya itu terlihat melipat mulutnya.

        Maksud saya, what the hell, dengan hal kecil macam itu. Setiap orang memiliki cara menghormati yang berbeda. Saya 'sangat, amat, lebih' menghormati dosen yang sering ngopi, ngerokok, atau nongkrong bareng dengan saya tanpa topeng 'absensi' (tentu saja saya tahu ini kalimat boros). Berbeda dengan dosen yang lebih 'meng-eksklusif-kan' diri. Saya hanya menghormati mereka (tanpa sangat). Bahkan lebih kepada; 'oh nilai Mata kuliah dosen itu harus mendapat A'. Saya rasa, semua mahasiswa pernah merasakan ini. Lebih banyak memakai topeng. Beberapa bahkan rela menjilat, kasarnya.
         Jadi, saat bertemu mereka, saya diam-diam membaca Sajak Palsu Agus R Sarjono. Apa mereka senang diberikan kepalsuan begitu? Memangnya tidak terpikir, ilmu yang mereka ceramahkan setiap hari masuk ke kepala-kepala mahasiswanya atau tidak, sebab yang dipikirkan mahasiswanya cuma absensi dan menjilat? Apa senang dijilat? Memangnya saya tidak akan bisa menghormati dosen-dosen yang berbincang santai dengan saya? Jujur, saya tidak senang melakukannya. Saya malah suka keuheul sama dosen-dosen yang mempunyai konsep 'menghormati' macam begitu (atuh apalagi mereka ke saya, ya? Hihihi...). Jadi tolong hentikan ego ingin dihormati dengan kelayakan seperti yang ada dalam kepala bapak dan ibu itu. please ini mah.
        Lalu, ada lagi seorang dosen dari fakultas lain berbicara di twitter tentang hal yang saat ini sedang memanas di Banten. Tapi, saat diajak ngobrol santai, malah seperti memberi kesan. 'akh, loe sama gue tuh nggak sederajat!'. Mungkin ia ingin forum resmi. Tapi kami mengajaknya di forum santai. Sebab, obrolan macam di warung kopi seperti ini kadang melahirkan lebih banyak hal. Sebab di sini juga ada keseriusan. Tidak hanya santai saja. Mungkin di forum resmi yang bicara sedikit, di forum santai orang-orang bisa bicara lantang. Mungkin... 
        Sudahlah! Mari kembali ke dosen yang sering saya panggil Pak Kaji ini. Ia adalah dosen sastra dan filsafat yang sering bernyanyi bersama kami. Selain tentu saja, kadang kalau ada yang tidak mengerti ceramahnya saat di kelas, mereka curhat dan langsung diberi penjelasan. Kalau sedang galau dengan 'pasukannya', ia pun suka curhat. Yah, tidak lebih dari; "Duh! Itu mahasiswa anu..." begitu saja, sih.
       Nah, sore ini sepertinya suasana hatinya sedang baik. Mungkin karena habis difoto dengan memakai batik yang kemudian langsung meminta saya mengunduhnya ke facebook dengan caption; Calon Gubernur Banten 2014-2019 (tapi kemudian dimintanya untuk dihapus setelah ia menatap ponselnya). Ia langsung menanyakan gitar pada warga Kafe Ide yang punya tempat. Ini akan menjadi sore yang asyik, pikir saya. Jarang-jarang Pak Kaji bergitar, padahal lagu-lagunya bagus, liriknya romantis, bahkan kadang liriknya lucu.
       Lihat saja, setelah gitar berada di tangannya, tawa segera terdengar. Apalagi kemudian ia menyanyikan lagu Untuk Doktor S dari Imaf, liriknya membuat tawa tidak berhenti. Dilanjut ke lagu jawaban atas lagu pertama Dari Imaf untuk Doktor S. Sepertinya ia membuat lirik dan langsung melagukannya di tempat ini. Asyik. Tidak lupa pula saya memintanya menyanyikan lagu yang sangat lebay (cara menyanyinya), tapi saya suka lagunya; 'Kuntum Tulip", dan lagu-lagu lainnya yang saya rekam dengan ponsel saya. Hingga tidak terasa malam datang. Nantilah, setelah agak bagus, saya upload lagu-lagunya. Hihihi. Ada juga, sih, video tutorial bermain gitar, dan cara bernyanyi yang benar. Tapi, saya kebetulan tidak membaca flashdisk, jadi tidak bisa memintanya. :'(
      Tapi bagi saya, inilah Kebahagiaan Kita Sekalian Abad Ini (Judul novel paling tipis karya Arip Senjaya). Menyederhanakan segala hal. Senja ini pun sederhana, tapi penuh tawa. Terima kasih, Pak Kaji~ (Hormat grak! Heuheu)


***
P.S: Gambar Bunga Baby's Breath ini sudah lama saya ingin pelihara. Konon, bunga ini memiliki arti suci pada hati, cinta yang tiada berakhir, kebahagiaan. Dan karena hari ini saya sedang bahagia, jadi, saya memakainya untuk penghias tulisan ini. Nah, jika kamu memilikinya di rumah, boleh kok, share ke saya. Hihi...
  • 0 Comments

"Walk Around" (Jembatan Panimbang).
Ini sajak iseng saat saya, Na Lesmana, dan Adi Prasatyo berjalan menuju perempatan Ciceri dari Pondok Tiara. Seperti biasa, Na Lesmana memulai keisengannya bersajak, kemudian saya timpali. Maka, jadilah #SajakJalanan ini.

Demi Apa Saja

Demi lemak di perut yang bergetar setiap kali aku berjalan,
aku mencintaimu
Demi dua bungkus mie instan yang kumasak setiap kali lapar datang,
aku mencintaimu
Demi bergelas-gelas kopi yang kuminum setiap hari,
aku mencintaimu
Demi kangkung, bayam, dan segala sayuran untuk pendukung dietku,
aku mencintaimu
Demi rok mini dan pahapaha montok yang mengundang berahi,
aku mencintaimu
Demi pipi yang dilapisi 6 inci bedak dan perona,
aku mencintaimu
Demi kamu yang tidak kukenal tapi sering masuk dalam mimpi,
aku mencintaimu
Demi portal yang dipasang pejabat di jalan pulang,
aku mencintaimu
Demi apa saja,
aku mencintaimu
tapi
mari kita kenalan dulu.
(2013)

Ini sajak ujungnya watir pisan. Hahaha...
  • 0 Comments


: Fajarwati Putri Dewi (11 Oktober)

non,
sajak ini kutulis ketika malam jatuh di meja
kantin belakang. segelas kopi yang hampir tandas
dan lagu cinta yang dinyanyikan pemuda itu
menjadi candu. sementara rindu
belum cukup usia untuk dikatakan.

duh! non,
sajak ini kutulis saat jarum jam jatuh
di angka 21:05. bau pandan, dan harum
bunga menguar di udara. tapi tak lekas
kutinggalkan meja. kau tahu bukan?
ada yang lebih menarik di depan mata.

aih! non,
ini sajak kutulis tepat di matanya
lagu cinta di telinga menambah pacu
detak jantung. kuhitung; selirik senyum,
padu tatap, kepergian dan kedatangan,
dengan satu tanya di kepala
; ini sajak sesungguhnya untuk siapa?

non,
sejujurnya, sajak ini kutulis khusus untukmu, tanda
mata untuk satu angka yang tiba di usiamu.
harap telah banyak merayap menujumu, tentu.
barangkali tak apa, bila harapku lanjur henti di matanya
aih! kurasa tak harus diucap lantang
cukup kau tahu, ini sajak khusus untukmu.

(Serang, 2013)
  • 0 Comments
   

    Beberapa waktu lalu saya membaca berita perihal Ibu Negara kita, Ani Yudhoyono, mengatai 'sangat bodoh' pada seseorang yang mengomentari fotonya di Instagram. Dan saya yang bodoh ini ingin menulis cerita yang dibawa pulang seorang kawan. Cerita ini memang bukan pengalaman saya di lapangan, dan kawan saya itu tidak menceritakannya langsung pada saya. Saya mendapatkan cerita ini dari sebuah video wawancara yang dibawa kawan lainnya. Tapi, rasanya akan tetap sama saja bila ia menceritakan secara langsung pada saya.
       Setahun lalu, tepatnya November 2012, kawan saya yang baru pulang itu menjadi peserta Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) yang diselenggarakan oleh LPTK UNJ. Ia menjadi salah satu peserta dari 99 orang yang diberangkatkan ke tiga wilayah yaitu Kupang, Kutai, dan Sangihe. Ia termasuk peserta yang dikirim ke Kupang, dan menghabiskan waktu setahunnya dengan mengajar di Semau Selatan, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hal pertama yang terpikir oleh saya, tentu kehebatan dan keberaniannya. Dalam video yang berjumlah dua video itu, ia menceritakan hampir seluruh pengalamannya. Dari awal mula prakondisi (pelatihan teori mengajar, dan mental) sebelum diberangkatkan, persiapan keberangkatan, peristiwa yang terjadi di Kupang saat pertama kali ia menginjakkan kaki di sana, saat ia melakukan interaksi sosial, keindahan alamnya, dan tentu saja, saat ia mulai mengajar.
        Namun, ada hal yang mengganggu saya ketika menonton video wawancara bagian dua. Saat ia menceritakan bagaimana jarak tempuh anak-anak untuk pergi ke sekolah yang sangat jauh, sementara di sekolah tidak ada guru (maksudnya kurang). Minat belajar siswa yang kurang, sehingga ia mendapati siswa berbeda di setiap jam pelajaran. Dan usahanya membujuk mereka yang tidak pergi ke sekolah dengan cara berkunjung ke rumahnya, namun keesokan harinya saat mereka pergi ke sekolah ternyata tidak memiliki niat belajar, tapi ternyata hanya ingin bertemu dengannya saja. Bagaimana mudahnya siswa-siswa itu membuang buku tulis yang sudah penuh tulisan semua mata pelajaran ke luar jendela. Pekerjaan Rumah yang tidak pernah dikerjakan, bahkan ketidakhadiran siswa saat ulangan. Lalu, alat peraga yang tidak digunakan, sebab (mungkin) guru tidak tahu cara memakainya.
       Dan hal terakhir inilah yang sekarang sedang wara-wiri di kepala saya, yaitu mengenai keinginan atau mimpi anak-anak di sana. Bila anak-anak sebaya mereka di tempat saya dahulu melakukan PPL, sebagian besar memiliki mimpi atau cita-cita menjadi dokter, guru, polisi, dan profesi lainnya, anak-anak di sana ternyata memiliki keinginan yang berbeda. Mereka seperti benar-benar anti mainstream, pikir saya. Bahkan anti mainstream yang sangat ekstrim. Mereka ingin menyebrang ke Australia dan menjadi penjahat di sana, sebab menurut mereka, di sana bila dipenjara pun bisa dibayar belasan juta.
       Di kepala saya langsung terbayang, bagaimana mimik anak-anak yang mengatakan ingin menjadi penjahat itu. Barangkali dengan mimik sumringah, mengatakan; "Saya ingin menjadi penjahat, bu!" seolah penjahat adalah pahlawan dalam dunia mereka. Penjahat akan sangat kaya raya, meskipun mereka ada dalam penjara. Saya juga membayangkan, bagaimana kemudian keinginan itu didukung orang tua. "Ayo, jadilah penjahat yang baik, nak. Penjahat yang santun."
           Saya kira ini hanya akan terjadi di kisah fiksi saja. Tapi ternyata ada pula di sekitar saya. Aduh! Mendengarnya dari mulut orang lain saja kepala saya langsung kleyeng-kleyeng. Apalagi mendengarnya langsung? Jika saya hubungkan ke kemungkinan mereka sering menonton film aksi di bioskop, itu tidak mungkin, sebab mereka tinggal di tempat yang cukup terpencil. Selain itu, kebanyakan orang yang menonton film aksi, pasti menyukai pahlawannya. Lalu saya jadi bertanya-tanya, apa keinginan menjadi penjahat di usia itu ada juga di kepala anak-anak sebayanya di daerah lain? Apa karena sosial budaya di sana? Apa karena mereka sering menonton berita di televisi dan melihat para orang tua nan pintar, dan memiliki jabatan itu ramai-ramai menjadi penjahat?
        Bila benar keadaan di sana seperti itu, sepertinya--ah, seharusnya, tidak hanya pengajar yang dikirim dalam program SM3T ini. Harus ada psikolog, dan sarjana-sarjana di bidang sosial budaya, dan keilmuan lainnya. Dan saya bersetuju dengan apa yang dikatakan kawan saya dalam video itu. Bahwa misi mencerdaskan bangsa yang diusung SM3T itu, tidak cukup bila hanya dilakukan selama setahun. Butuh sekitar 7 tahun, bahkan puluhan tahun untuk bisa mencapai misi itu.
     Meskipun, benar, bila seorang peserta program ini telah menyelesaikan misi setahunnya itu, akan digantikan oleh peserta lain. Tapi, alangkah lebih baik jika 'personil pengganti' itu lengkap. Maksud saya, sebanyak peserta yang dikirimkan sebelumnya. Misalnya, setiap daerah sepuluh orang, maka personil pengganti pun sepuluh orang. Sebab, bila kurang dari sepuluh (apalagi cuma dua), tentu akan 'kewalahan'. Apalagi ditambah, bila 'personil pengganti' tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang yang digantikannya itu. Atau dia tidak meneruskan apa yang dilakukan orang sebelumnya. Dan mungkin akan patah-patah setiap tahunnya. Sebab, bila saya ibaratkan, seorang peserta program SM3T itu adalah 'sedepa tali', maka jika ia sudah menyelesaikan program ini sementara penggantinya--yang 'sedepa tali' pula, tidak pas jumlahnya, dan tidak mengetahui apa yang dilakukan orang sebelumnya, maka apa yang selama ini dikerjakan hanya akan menjadi tumpukan tali saja, bukan sambungan tali untuk mencapai misi 'mencerdaskan bangsa'.
       Ah! Rasanya bidang yang saya pelajari di kampus memanggil saya untuk ikut program ini. Tapi, di sisi lain, saya merasa tidak cukup baik, dan tidak pandai mengajar. Hanya saja, hal ini tidak bisa untuk 'cukup tahu saja'. Saya harus melakukan sesuatu. Setidaknya untuk saat ini, saya menuliskan cerita ini. Hal ini untuk mengingatkan saya bahwa saya bagian dari 'orang lapangan', dan harus menjadi seperti orang-orang yang berjuang menjadi 'sedepa tali'. Seperti orang-orang yang tidak membutuhkan publikasi untuk berbagi. Seperti orang-orang yang sibuk mencerdaskan bangsa, tanpa sedikit pun pernah menyebut orang lain bodoh, atau pun mengomentari orang yang menyebut orang lain bodoh dengan komentar-komentar bodoh, dan seolah mendukung kebodohan. Ah! Hiduplah kebodohan raya, bila melulu terjadi demikian.


Salam hormat,

orang yang belum pintar.
  • 0 Comments


Woah! Rasanya bulan ini banyak sekali kejutan. Duka, maupun bahagia. Seorang sahabat di SMA memberitahu saya bahwa dia akan menikah (lagi). Oh! Saking kehilangan kontak setelah lulus. (-_-")>
Dan terima kasih facebook, karena telah mempertemukan kami kembali. Dulu, saya tidak sempat menghadiri pernikahan pertamanya. Hanya setelah menikah saja datang ke rumahnya. Sekarang, insyaallah saya datang. Kangen sama emak dan abah. \0/
Eh, tapi, sebentar. Apa rumahnya masih di sana? Ah! Terserah sajalah, semoga tidak nyasar. Haha..
Selamat, ya, Na. Seperti yang saya ucapkan waktu kita di warung belakang sekolah itu, saya akan lama untuk mengirim undangan padamu. Tapi, saya menerima undangan darimu kapan saja. Heuheu... Pastikan kamu secantik dan sebahagia biasanya, ya... (^,^)v
  • 0 Comments


Barangkali memang benar, cuaca tidak pernah bisa diperkirakan. Takdir senang membuat kejutan. Setelah kejutan di hari Sabtu sore minggu lalu (kepulangan babeh Nandang Aradea), beberapa hari kemudian saya dikejutkan dengan...
Ah! Tentu saja ini kabar bahagia. Mungkin caranya saja yang membuat apa yang seharusnya merupakan suatu kebahagiaan, menjadi sesuatu yang entah. Sesuatu yang membuat saya berkicau tidak terarah, sebab pikiran buruk sederas aliran darah. Tidak tahu ini harus saya selamati, atau saya maki. Bagaimana tidak saya maki, bila saat itu saya sedang berniat tidur cukup, tapi kemudian dibangunkan hanya untuk mengetahui hal yang membuat saya berkomentar; 'Ikh, apa sih? Kenapa begini, sih?' di antara keterkejutan dan kantuk.
Tapi, saya sadar, kebahagiaan adalah hak semua orang. Meski caranya amat tidak terkira (jika tidak ingin saya sebut 'jorok'). Seorang teman berkata; kadang jodoh memang jorok. Dan seorang teman lain menimpali; mungkin, menyampaikan berita bahagia pun membutuhkan metode. Saya mengerti, metode di sini mungkin memberi kabar gembira ini lebih awal, agar kami semua bersiap untuk merayakan. Tapi, bila ini dilakukan diam-diam, lalu terkesan seperti 'main belakang', jadi ya sudahlah. Mau bersorak bagaimana bila pesta sudah selesai? Tidak hanya itu, saya juga berpikir seorang yang lain. Seseorang yang mungkin akan sangat merasa dipecundangi. Tapi, tentu masalahnya lain, bila di sampingnya sudah ada seorang lain lagi. Hanya saja, saya sadar, di dalam dadanya sana, ada sakit yang teramat, karena merasa dikhianat. Jika saya hubungkan hal ini, tentu ini balas dendam paling sukses. Itu pikiran buruk saya. Karena itu, maaf, bila saya merasa ada kesan demikian. Berbahagialah dan buat diri kalian nyaman.
 *
Dan mungkin saya akan sangat berdosa, amat menyesal, bila dulu saya terima tawaran seseorang yang... Duh! Sudahlah. Bila memang niat itu diluluskannya, saya ucapkan selamat. Dan saya menyesal karena tidak memperingatkannya untuk jangan ikut campur. Apalagi dengan keduanya (keempatnya, sekarang) sangat dekat. Saya kira dia cukup paham, dan sadar mengenai maksud dari balasan saya saat menjawab pesannya. Tapi, sepertinya tidak. Ah! Andai dia berpikir, hal ini tidak hanya menyangkut dua kepala, tapi empat kepala. Andai saja.... Duh! Pikiran saya sangat buruk sekali. Semoga kamu belajar dari peristiwa ini, sebelum kamu disadarkan karma. 

  • 0 Comments


Tingtong. Tingtong.

3:31
Makasih udah diaccept :-)

3:32
Sama-sama :-)
3:32
Salam kenal ya :-)
3:35
Harus jawab 'salam kenal juga', atau 'sama-sama'? Heu :-D
3:35
Hehehe apa aja dehhh :D Kamu anak mana?
3:35
Pakupatan. Kamu?
3:35
Kamu ngekos tah? Lopang Indah
3:35
Iya. Hehe
3:35
Ngekos sama siapa?
3:35
Sama teman-teman.
3:38
Ohh kirain sendiri hehe Kamu kuliah apa gawe?
3:38
Kenapa kalau sendirian? Kuliah.
3:38
Engga kenapa2 hehe, Kuliah dimana?
3:38
Rangkas.
3:38
Ohh jauh bangettt,
3:38
Iya memang. Tp sebentar lg, sih, kamu kuliah atau kerja?
3:38
Ohh, boleh dong main kekosn kamu hehe Kuliah
3:38
Kostanku tidak memperbolehkan laki2 berkunjung. Kuliah di mana?
3:38
Ohehhe padahal aku pengen banget maen kekosn kamu
Di iain
3:38
Mau ngapain ke kostanku? Tidak ada yg bagus di sini.
3:46
Yahh mau ngobrol ber2 sama kamu
3:49
Ngobrol bisa di warung kopi, kafe, atau pinggir jalan.
3:50
Hehe kurang romantiss tempatnya
3:51
Apalagi kostan.
3:51
Yahh enakkan dikosn engga ada yg ganggu
3:54
Maksud nggak ada yg ganggu? Gangguan di mana saja pasti ada. Tidak terkecuali di kostan.
3:54
Yahh mau ngapain juga bebas engga ada yg ganggu gitu
3:56
Emang mau ngapain? Katanya tadi mau ngobrol?
4:00
Yahhh bermesraan sama kamu :">
4:04
Kamu nggak malu sama almamater? IAIN, kan?
4:05
Engga, kenapa emang?
4:07
Hahaha.. Nggak apa2. Lucu aja isi kepalamu.
4:07
Hahaha boleh engga nih maen kekosn kamuuu
4:07
Sudah kubilang. Kostanku tidak menerima kunjungan laki-laki.
4:07
Mmmmm
4:10
Kenapa? Teman chattingmu biasa menyediakan kostan untuk bermesraan, ya?
4:10
Engga, kenapa emangg
4:12
Oh. Kirain begitu.
4:12
Kamu suka bermesraan engga?
(Adzan subuh terdengar)
4:16
Bermesraan dgn Subuh, yuk? Sudah adzan.

*
Akibat fitur WeChat yang bisa melihat orang-orang di sekitar. Saya kira semuanya punya pikiran yang positif (maksudnya berkenalan, berteman), karena saya selektif juga menerima permintaan mereka. Tapi, ternyata kecolongan juga. (=_=")>
Tapi, terima kasih, karena sudah bikin saya tertawa di pagi buta, dan bisa menuliskan cerita ini. Hahaha...

* Maaf, kata-katanya saya sesuaikan dengan yang dia dan saya tulis.
  • 0 Comments
Sabtu, 12 Oktober 2013

"Teh, Pak Nandang udah nggak ada. Cepat bangun!"
Suara Fajar di telepon itu membuat kesadaran yang belum kumpul benar seperti ditarik sekaligus ke tubuh, hingga buat tubuhku sontak melonjak berdiri. Hampir saja aku berlari ke luar kamar dengan pakaian amat tipis. Tapi saat kubuka pintu, di depan kamarku sudah bermukim sebuah motor putih milik pacar kamar sebelah. Akhirnya, kuraih celana, dan kaos terdekat. Memakainya buru-buru, sebelum berlari ke kran air di bagian belakang. Di kepalaku masih terus bertanya; apa ini benar? Tidak mungkin babeh (panggilan sehari-hari Nandang Aradea di Kafe Ide) menyerah, kan? Mungkin hanya kritis saja. Iya, kan? Begitu pula ketika sampai di depan Rumah Sakit Sari Asih. Hampir saja aku membawa kabur helm, jika tukang ojek yang cuma mengantar sampai gerbang itu tidak teriak. Dan kugelindingkan saja helm itu, dan terus berlari menuju lobi. Tak kuhiraukan omelannya, dan tatapan orang yang hampir kutabrak di pintu.
Di lantai dua rumah sakit, orang-orang sudah banyak yang datang. Ada yang berjalan gegas, berbincang pelan sambil berdiri, bahkan banyak yang duduk lemas. Kutanya salah seorang dari mereka; benarkah? Dia jawab dengan anggukan kepala dan ekspresi yang sama terkejutnya dengan ekspresi wajahku. Aku masih tidak percaya. Kumasuki ruang berlabel ICU itu. Di sana pun banyak orang dengan ekspresi kesedihan yang sangat. Tangisan terdengar di antara rangkulan. Sementara kepalaku masih bertanya; "Orang-orang itu kenapa, sih? Babeh belum meninggal, kok..."
Kucari Fajar yang tadi membangunkan, dan memberi kabar ini. Kutemui dia di lorong depan ruang ICU, duduk lemas bersama beberapa orang lainnya. Padanya aku bertanya; benarkah? Tapi dia hanya menggelengkan kepala. Tidak tahu. "Tapi orang-orang di BBM sudah sibuk mengucapkan innalillahi. Bahkan pasang foto bapak pula. Tega banget mereka," katanya. Aku juga masih tetap belum percaya. Sehingga aku berkata padanya untuk menunggu saja. Mungkin berita di BBM itu salah. Mungkin orang-orang yang kukenal dan datang ke rumah sakit ini salah berekspresi. Mungkin ibu (istrinya babeh) menangis karena babeh masih koma. Dan segala kemungkinan lainnya di kepalaku.
Aku masih sempat menemui kawan-kawan Kubah Budaya, bercanda dan tertawa bersama di selasar lantai dua itu. Meskipun aku masih bertanya-tanya; Benarkah? 
Hingga kemudian kususul teman yang hendak masuk ke ruang ICU. Di ranjang paling ujung dari sebelah kanan pintu ruang ICU, dan sudah ditutup tirai itulah kutemui babeh yang sudah ditutup kain putih. Kusentuh lengan bersedekapnya, seperti aku menyentuh lengannya saat aku dengar ia dipukuli di Bandung. "Beh, babeh baik-baik aja?" Kalimat yang sama itu pula keluar dari mulutku. Dulu, ia hanya tertawa sembari menunjukkan lebam di lengan dan di beberapa tempat di tubuhnya. Ia tertawa dan mengatakan semunya sudah selesai. Dan kupahami itu sebagai kalimat; 'aku baik-baik saja, meskipun lebam begini.'
Tapi kali ini ia diam saja. Kupegang sekali lagi. "Maaf, ya, beh. Harusnya ute di sini tadi pagi. Ute ketiduran, maaf..." Aku masih berharap ia akan bangun dan mengatakan; "Kau ini kebiasaan" atau kalimat apa saja untuk memarahiku. Tapi ia tetap diam saja. "Babeh, ini beneran, ya? Ute harus ngucapin selamat jalan sekarang, ya?" air mata mulai meleleh begitu saja. Hingga akhirnya kuucapkan juga ketika aku ingat orang-orang menunggu baju biru yang kupakai; "selamat jalan, babeh. Mungkin di sana agak gelap, maka tugas ute dan semua orang yang menyayangimu, mencintaimu, menjajarkan obor untuk kepulanganmu. Jangan khawatirkan kami."
Dan sekarang, aku hanya ingin mengucapkan; selamat Minggu, Beh. Selamat beristirahat dengan nyaman di sana.
  • 0 Comments

Redaksi Sarung CSS MoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan lomba cerpen, nih, teman. Temanya kepahlawanan.
Hadiah:
Juara I : uang tunai Rp 1 juta + sertifikat + antologi
Juara II : uang tunai Rp 750 ribu + sertifikat + antologi
Juara III : uang tunai Rp 500 ribu + sertifikat + antologi
20 nominator terbaik mendapatkan sertifikat + antologi
Syarat dan Ketentuan:
Peserta bestatus sebagai santri
Batasan usia maksimal 22 tahun
Melampirkan scan/fotocopy bukti status santri berupa surat keterangan sebagai santri (Kartu Santri atau surat keterangan dari ponsok pesantren)
Deadline pengiriman naskah 25 oktober 2013
Masing-masing peserta hanya diperkenankan megirimkan satu buah naskah
Naskah belum pernah dipublikasikan sebelumnya
Panjang naskah maksimal 10.000 karakter dengan spasi (3-6 halaman), font: Times New Roman, ukuran: 12 pt, spasi: 1,5 baris, ukuran kertas A4
Pengiriman bisa dilakukan dengan dua cara:
  • Email: sarung.csssuka@gmail.com dalam format file RTF, nama file: Nama Pengirim-Nama Pesantren.rtf
  • Pos: ke alamat Pondok Pesantren Pangeran Diponegoro, Sembego, Maguwoharjo, RT 01 RW 38 Depok Sleman, D.I.Y. Kode pos: 55282. a.n. Muhammad Syafi’i
20 cerpen terbaik akan dibukukan dalam antologi
Kriteria penilaian ditentukan dari keindahan bahasa dan kesesuaian tema
Pemenang akan  diumumkan  pda tanggal 10 November 2013 di website resmi CSS MoRA UIN Sunan Kalijaga: www.cssmorauinsuka.net
Info lebih lanjut dapat dilihat di www.cssmorauinsuka.net
Ketentuan lain:
  • Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat dan dapat ditinjau kembali di kemudian hari (jika ada indikasi plagiasi)
  • Tidak melayani surat-menyurat
  • Hak cipta tetap ada pada hak penulis, panitia memiliki hak untuk mempublikasikannya.
Jika ada pertanyaan silakan menghubungi: 
Contact Person: 089689716345 (Itsbat), 085852222398 (Mufid)
Lomba ini diselenggarakan oleh Redaksi SARUNG CSS MoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Source: lomenulis.com
  • 0 Comments

Beh, sudah kusisipkan senyuman di setangkup roti
Kau bisa menyantapnya untuk sarapan pagi ini"
akan kutulis pesan itu setiap pagi.
bukan sekarang, tapi mungkin nanti

* 
 Selamat pagi, teman-teman. (~^,^)~
Sabtu nih, ayo cerita~
Ada cerita apa, kamu?
Semalaman tadi saya sangat khawatir, takut, was-was, atau apalah nama perasaan itu. Semoga babeh (Nandang Aradea) cepat sadar. Cepat pulang ke tubuhmu, beh! Kami menunggu. Babeh adalah orang yang kuat! Yeah! Nggak mungkin menyerah. Ayo bangun, Beh! Semangat! Semangat! (9^,^)9
Semoga yang sedang sakit lainnya segera diberi kesembuhan! Aamiin. Semangat! (^,^)9
Ah, ya. Hari ini ada diklat anggota Bengkel Menulis dan Sastra (Belistra). Pesertanya ada 20, syukurlah. Setidaknya ke-20 peserta itu akan menjadi anggota Belistra seumur hidup. Hoho... Kalau mau keluar dari keanggotaan bagaimana? Bayar 10 juta. Kejam, ya? Haha. Tapi, loyalitas itu sangat penting, toh? Jadi, jangan khawatir. Seumur hidup menjadi anggota belistra, seumur hidup pula kita berkarya. Yeah!
Eh, ada workshop Teater Kafe Ide juga! Ini pasti seru. Kelihatannya calon anggotanya banyak juga. Semoga saja bertahan hingga akhir.
Oh, iya. Untuk teman-teman yang sedang berjuang untuk Banten, Semangat!  “The future depends on what you do today.” Kata Mahatma Gandhi. Yeah! (^,^)9
Lalu, untuk yang single, jangan khawatir. Sabtu malam bukan masalah besar. Sabtu malam kita masih sama dengan Sabtu malam yang sudah punya pasangan, kok. Bedanya cuma, kalau mau mawar atau martabak kudu beli sendiri. Itu saja. Hahaha.. *ditabokin*


*Saya tahu tulisan di bawah itu tidak nyambung dengan tulisan di bawah gambar, plus gambarnya. Jadi, jangan protes. :p (Ngeles sih) ahaha
  • 0 Comments



Selamat, selamat, selamat, selamatkanlah dirimu, Banten. Selamatlah. 
Dulu, saya dan teman-teman sepadepokan diboyong ke alun-alun Serang dengan seragam hitam-hitam. Saya merasa gagah sekali saat itu. Di kepala saya cuma ada satu hal; kami pasti akan shooting iklan seperti kakak-kakak kami. Maklum, padepokan tempat saya tinggal sempat diminta menjadi bintang iklan salah satu minuman berenergi. Jadi weh senang. Skip sekolah, tidak masalah. Yang penting gagah. *frrttt :p*
Saya tidak tahu kalau ternyata acara akbar itu adalah peresmian provinsi Banten. Dan itu artinya, saya tidak akan melihat wajah Gubernur Jawa Barat menggantung di dinding rumah. Terus terang, saya suka sama Gubernur Jawa Barat saat itu (nge-fans kali ya kalau sekarang mah). Ini terjadi setelah listrik ada di desa kami. Dan mungkin ini juga akibat dari semua doa yang dicurahkan pada Gubernur saat itu, terdengar oleh saya (kalau mendengar, mungkin hidung Pak Gub saat itu bakal mekar selama setahun, deh). Karena itu, saya bertekad someday saya harus bertemu dengannya. Tentu dengan memakai pakaian merah putih. Tapi, setelah saya keluar dari rumah, dan akhirnya sampai di acara akbar itu, ya keinginan itu tidak kesampaian, dong.
Setelah Banten lahir, dan orang-orang mulai berebut kursi. Janji-janji bertebaran. Masyarakat kecil yang tidak tahu apa-apa, diberi visi misi pun tidak mengerti, toh? Jadi, mereka selalu dijanjikan hal-hal yang dekat dengan mereka, misalnya perbaikan jalan, tempat ibadah. Puguh kalau mukena, kerudung, sarung, mie instan bergambar wajah mereka. Itu diberikan saat si calon/perwakilan hadir di sana. Dari, kabar tetangga yang disediakan alat berat untuk perbaikan jalan jika mereka memilihnya, sampai diberi semacam piagam yang katanya berguna saat hendak mendaftar PNS. Akh! Selalu ramai bila hari-hari itu.
Tapi, terus terang saja, dari awal mula usia saya sah menjadi pemilih, saya baru sekali pergi ke TPS. Itu pun saat pertama kali 'sah', selebihnya tidak. Alasan saya? Pertama, waktu pemilihan bertepatan dengan musim hujan. Hujan, selain berkah bagi penduduk desa kami, juga musibah bagi orang yang sudah merasa asyik berjalan di jalanan beraspal. Selain itu, ada 3 titik banjir pula di jalannya. Kedua, ongkos ojeknya mahal, men. Maklum saja, ojeknya punya kemampuan lebih gagah dari pengendara motor di lapangan balap. Ketiga, males. Yang terakhir itu lebih sering saya rasakan, sih. Males kalau jalan pulang saya masih suka bikin saya jatuh dari motor, masih suka menerobos kebun orang demi mencari jalan 'baik' meski tidak benar.
Sekarang, Banten sudah berusia 13 tahun. Angin perlahan menyingkirkan kabut yang selama 13 tahun ini menutupi Banten. Sekarang, orang-orang ramai berbicara tentang penderitaan di twitter atau jejaring sosial lain. 'Salah', kata itu yang berulang mereka tuliskan. Semuanya berkata, bahkan yang bukan orang Banten. Walaupun saya merasa ingin sekali berteriak, sebab dada terasa sesak, tapi ucapan mereka 100% benar!
Aduh! Selamat hari jadi, Banten. Maaf telat posting tulisan ini.
Semoga Tuhan memberkahi segala kebaikan; semua kebusukan yang tersembunyi segera tampak. Dan mereka diganjar dengan hukuman yang setimpal; dimiskinkan, dan dibuang ke tempat yang paling mereka takuti. Semoga pemimpin Banten selanjutnya memiliki 2 hal seperti dalam logonya; iman dan tawqa. Semoga situs-situs bersejarah dirawat dengan baik, tidak dirobohkan menjadi mall lagi. Semoga jalan-jalan yang kami lalui tidak membuat sakit badan melulu; diperbaiki, dan dirawat. Juga, semoga pegawai di 'bagian depan', baik di pemerintahan, rumah sakit, maupun di mana saja, mukanya bisa penuh senyum saat menyambut orang lain. Semoga, gedung kesenian segera berdiri agar kami tidak kebingungan saat hendak mengadakan acara indoor. Semoga tempat sampah selalu ada di mana saja, agar orang-orang lebih sadar. Semoga pegawai pemerintah memiliki pekerjaan yang pasti agar nonton bokep di kantor tidak terjadi. Semoga, ah, semoga....

  • 0 Comments

Can I Touch You? by nonidipriv

Hari ini rasanya agak lain dari biasa. Mungkin karena aku tidak membawa serta si Hitam. Juga mungkin karena tadi sore seseorang mengatakan bahwa aku cantik belakangan ini. Padahal aku hanya merasa tampan. *plak!* Atau karena orang yang dulu paling menghindariku duduk semeja denganku. Atau, karena aku terlalu sibuk berpikir 'harus melepaskan cangkang untuk menjadi bahagia' seperti yang Mas Dhanzo bilang. Entahlah. Tapi, agak aneh saja perasaannya. Takut, mungkin. Asing, iya. Dan I dont know what to do... Itu kalimat ada terus di kepalaku. Dan menghilang ketika aku melihat wajahmu. *idih geli, hihi*
Tapi, kamu selalu pergi-pergi. Mungkin banyak urusan yang belum selesai. Atau mungkin bosan berada di satu tempat saja, sementara aku terlalu setia. Aku selalu malas berpindah ke lain tempat, kecuali kebosanan meningkat atau harus pergi karena hal yang sangat penting. Jadi, di meja inilah aku. Meski berkali-kali kepalaku berputar ke arahmu pergi dan mencari. Sementara di telinga, Natalie terus bernyanyi;Where is he? Where is he? Where is he? Where is this beautiful guy? Duh! Pas sekali dengan kelakuan mataku yang selalu tanpa disadari berlarian mencarimu.
*
"Harusnya aku tersenyum," batinku ketika tanganmu lerai dari tanganku. Tapi jantung terasa terlalu cepat berdetak. Seperti menghentak kesadaranku ke tempat yang jauh. Aku harus berlari mengejarnya sesegera mungkin. Hingga lupa untuk sekedar tersenyum dan berkata 'hati-hati' padamu. Semakin sesal saja aku, ketika kamu benar-benar menjauh. Kepalaku kemudian berputar lagi, lagi, dan lagi. Hingga akhirnya tak kulihat lagi dirimu. Seketika itu, seseorang di dalam dadaku bersorak; 'kau sudah berjabat tangan dengannya! Selamat!'. Duh~
  • 0 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top