"Bu, Kami Ingin Menjadi Penjahat!"

   

    Beberapa waktu lalu saya membaca berita perihal Ibu Negara kita, Ani Yudhoyono, mengatai 'sangat bodoh' pada seseorang yang mengomentari fotonya di Instagram. Dan saya yang bodoh ini ingin menulis cerita yang dibawa pulang seorang kawan. Cerita ini memang bukan pengalaman saya di lapangan, dan kawan saya itu tidak menceritakannya langsung pada saya. Saya mendapatkan cerita ini dari sebuah video wawancara yang dibawa kawan lainnya. Tapi, rasanya akan tetap sama saja bila ia menceritakan secara langsung pada saya.
       Setahun lalu, tepatnya November 2012, kawan saya yang baru pulang itu menjadi peserta Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) yang diselenggarakan oleh LPTK UNJ. Ia menjadi salah satu peserta dari 99 orang yang diberangkatkan ke tiga wilayah yaitu Kupang, Kutai, dan Sangihe. Ia termasuk peserta yang dikirim ke Kupang, dan menghabiskan waktu setahunnya dengan mengajar di Semau Selatan, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hal pertama yang terpikir oleh saya, tentu kehebatan dan keberaniannya. Dalam video yang berjumlah dua video itu, ia menceritakan hampir seluruh pengalamannya. Dari awal mula prakondisi (pelatihan teori mengajar, dan mental) sebelum diberangkatkan, persiapan keberangkatan, peristiwa yang terjadi di Kupang saat pertama kali ia menginjakkan kaki di sana, saat ia melakukan interaksi sosial, keindahan alamnya, dan tentu saja, saat ia mulai mengajar.
        Namun, ada hal yang mengganggu saya ketika menonton video wawancara bagian dua. Saat ia menceritakan bagaimana jarak tempuh anak-anak untuk pergi ke sekolah yang sangat jauh, sementara di sekolah tidak ada guru (maksudnya kurang). Minat belajar siswa yang kurang, sehingga ia mendapati siswa berbeda di setiap jam pelajaran. Dan usahanya membujuk mereka yang tidak pergi ke sekolah dengan cara berkunjung ke rumahnya, namun keesokan harinya saat mereka pergi ke sekolah ternyata tidak memiliki niat belajar, tapi ternyata hanya ingin bertemu dengannya saja. Bagaimana mudahnya siswa-siswa itu membuang buku tulis yang sudah penuh tulisan semua mata pelajaran ke luar jendela. Pekerjaan Rumah yang tidak pernah dikerjakan, bahkan ketidakhadiran siswa saat ulangan. Lalu, alat peraga yang tidak digunakan, sebab (mungkin) guru tidak tahu cara memakainya.
       Dan hal terakhir inilah yang sekarang sedang wara-wiri di kepala saya, yaitu mengenai keinginan atau mimpi anak-anak di sana. Bila anak-anak sebaya mereka di tempat saya dahulu melakukan PPL, sebagian besar memiliki mimpi atau cita-cita menjadi dokter, guru, polisi, dan profesi lainnya, anak-anak di sana ternyata memiliki keinginan yang berbeda. Mereka seperti benar-benar anti mainstream, pikir saya. Bahkan anti mainstream yang sangat ekstrim. Mereka ingin menyebrang ke Australia dan menjadi penjahat di sana, sebab menurut mereka, di sana bila dipenjara pun bisa dibayar belasan juta.
       Di kepala saya langsung terbayang, bagaimana mimik anak-anak yang mengatakan ingin menjadi penjahat itu. Barangkali dengan mimik sumringah, mengatakan; "Saya ingin menjadi penjahat, bu!" seolah penjahat adalah pahlawan dalam dunia mereka. Penjahat akan sangat kaya raya, meskipun mereka ada dalam penjara. Saya juga membayangkan, bagaimana kemudian keinginan itu didukung orang tua. "Ayo, jadilah penjahat yang baik, nak. Penjahat yang santun."
           Saya kira ini hanya akan terjadi di kisah fiksi saja. Tapi ternyata ada pula di sekitar saya. Aduh! Mendengarnya dari mulut orang lain saja kepala saya langsung kleyeng-kleyeng. Apalagi mendengarnya langsung? Jika saya hubungkan ke kemungkinan mereka sering menonton film aksi di bioskop, itu tidak mungkin, sebab mereka tinggal di tempat yang cukup terpencil. Selain itu, kebanyakan orang yang menonton film aksi, pasti menyukai pahlawannya. Lalu saya jadi bertanya-tanya, apa keinginan menjadi penjahat di usia itu ada juga di kepala anak-anak sebayanya di daerah lain? Apa karena sosial budaya di sana? Apa karena mereka sering menonton berita di televisi dan melihat para orang tua nan pintar, dan memiliki jabatan itu ramai-ramai menjadi penjahat?
        Bila benar keadaan di sana seperti itu, sepertinya--ah, seharusnya, tidak hanya pengajar yang dikirim dalam program SM3T ini. Harus ada psikolog, dan sarjana-sarjana di bidang sosial budaya, dan keilmuan lainnya. Dan saya bersetuju dengan apa yang dikatakan kawan saya dalam video itu. Bahwa misi mencerdaskan bangsa yang diusung SM3T itu, tidak cukup bila hanya dilakukan selama setahun. Butuh sekitar 7 tahun, bahkan puluhan tahun untuk bisa mencapai misi itu.
     Meskipun, benar, bila seorang peserta program ini telah menyelesaikan misi setahunnya itu, akan digantikan oleh peserta lain. Tapi, alangkah lebih baik jika 'personil pengganti' itu lengkap. Maksud saya, sebanyak peserta yang dikirimkan sebelumnya. Misalnya, setiap daerah sepuluh orang, maka personil pengganti pun sepuluh orang. Sebab, bila kurang dari sepuluh (apalagi cuma dua), tentu akan 'kewalahan'. Apalagi ditambah, bila 'personil pengganti' tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang yang digantikannya itu. Atau dia tidak meneruskan apa yang dilakukan orang sebelumnya. Dan mungkin akan patah-patah setiap tahunnya. Sebab, bila saya ibaratkan, seorang peserta program SM3T itu adalah 'sedepa tali', maka jika ia sudah menyelesaikan program ini sementara penggantinya--yang 'sedepa tali' pula, tidak pas jumlahnya, dan tidak mengetahui apa yang dilakukan orang sebelumnya, maka apa yang selama ini dikerjakan hanya akan menjadi tumpukan tali saja, bukan sambungan tali untuk mencapai misi 'mencerdaskan bangsa'.
       Ah! Rasanya bidang yang saya pelajari di kampus memanggil saya untuk ikut program ini. Tapi, di sisi lain, saya merasa tidak cukup baik, dan tidak pandai mengajar. Hanya saja, hal ini tidak bisa untuk 'cukup tahu saja'. Saya harus melakukan sesuatu. Setidaknya untuk saat ini, saya menuliskan cerita ini. Hal ini untuk mengingatkan saya bahwa saya bagian dari 'orang lapangan', dan harus menjadi seperti orang-orang yang berjuang menjadi 'sedepa tali'. Seperti orang-orang yang tidak membutuhkan publikasi untuk berbagi. Seperti orang-orang yang sibuk mencerdaskan bangsa, tanpa sedikit pun pernah menyebut orang lain bodoh, atau pun mengomentari orang yang menyebut orang lain bodoh dengan komentar-komentar bodoh, dan seolah mendukung kebodohan. Ah! Hiduplah kebodohan raya, bila melulu terjadi demikian.


Salam hormat,

orang yang belum pintar.

You Might Also Like

0 Comments