Gerimis yang Turun di Mata dan Menjadi Kata


Di sinilah kami sore ini. Duduk di salah satu meja bundar dengan payung di atasnya, dan dua gelas kopi berbeda rupa; hitam dan cokelat; panas, dan dingin, berada di hadapan masing-masing. Rokok, korek gas, handphone, dan earphone,  piring berisi empat potong donat dengan dua garpu yang masih terbungkus tisu, juga dua bungkus gula. Akh! Penuh sekali meja kami, sepenuh isi perbincangan yang terkadang jauh ke masa di belakang, kekinian, pun ke depan.
Ke belakang, kami saling mengintip ke balik pintu yang selama ini kami kunci rapat. Saling berlontar 'oh' dengan nada panjang, pendek, atau hanya berupa lingkaran pada mulut diikuti naiknya alis; tanpa suara. Juga, pertanyaan-pertanyaan yang tak jarang membuat kami saling lontarkan kata 'maaf' sebelum kalimat tanya itu dilontarkan.
Kekinian, kami bicarakan hujan yang sempat basahi lengan baju, dan menguyupkan sepatu.
Ia bertanya padaku tentang arti hujan bagiku. Dan setelah menyeruput Americano-ku, barulah kujawab dengan santai: Hujan adalah teman. Kadang menjadi tanda akan sesuatu yang terjadi. Sedangkan ia sendiri berujar bahwa hujan adalah simbol romantisme. Kami tertawa. Detak jarum jam di tangan, rintik gerimis yang turun, juga kata. Semuanya tersedia di depan mata, dan dilahap telinga.
Aku kemudian sibuk menghitung rintik tawanya, juga gerimis di matanya, dan membandingkan dengan rintik gerimis di belakang tubuhnya. Ya, gerimis itu, seperti gerimis yang dahulu sering bertandang di mataku. Tapi barangkali, asal mula munculnya gerimis kami berbeda. Dan aku sedang tak ingin membaginya padamu. Gerimisku sudah aku tinggalkan di belakang.
Sementara hari mulai berganti rupa. Lampu-lampu jalan pun menyala. Tapi gerimis belum juga reda, pun perbincangan yang entah mengarah ke mana--seperti tak ingin ditunda.

You Might Also Like

0 Comments