utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact

Semacam Catatan
Masa Kecil (tidak) Bahagia

Jika menilik ke belakang, saat saya kecil, imut, dan lucu itu, rasanya saya ingin kembali ke masa-masa itu, dan menetap di masa itu. Ah, bukan karena masa sekarang tidak sebahagia apa yang saya rasakan dahulu. Tapi, jika dipikir-pikir betapa kreatifnya saya ketika itu. Tanpa rengekan ingin beli mainan, saya bisa bermain sepuas hati dengan hal-hal di sekeliling saya.
Misalnya saja, boneka. Sejujurnya, saya kenal Barbie—memegangnya; tidak pernah mempunyai—ketika SMP saja. SD, sama sekali tidak. Faktor lingkungan mungkin menjadi penyebab kenapa saya begitu telat berkenalan dengan si Barbie. Atau Hello Kitty, dan boneka-boneka dari tokoh kartun yang saya tonton di televisi. Saya tidak ingin menggugat orang tua saya kenapa saya tidak dibelikan juga saat saya kecil. Karena untuk permasalahan boneka ini saya sudah cukup senang dengan boneka buatan sendiri. Entah itu yang benar-benar dibentuk menyerupai boneka; ada kepala, tangan, kaki, mata, telinga—lengkap, yang terbuat dari kain perca, atau kain yang sudah tidak terpakai. Atau pun boneka yang dibuat secara instan dari kain panjang atau kain sarung. Untuk yang terakhir itu memang tidak mirip boneka. Hanya saja cukup membuat saya dan kawan sepermainan asyik main boneka di teras rumah.
Dan tadi malam, saya coba membuat kembali boneka itu. Ternyata, setelah saya lihat-lihat. Agak tidak enak dipandang, dan menyeramkan juga. Haha..


  • 0 Comments



Tawuran.Berasal dari kata tawur yang berarti; perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal (KBBI ver 1.1). Akhir-akhir ini kata itu menjadi popular di kalangan pelajar. Beritanya disiarkan di televisi, maupun di Koran. Tawuran pelajar SMA A dengan SMK B, SMP C dengan SMP D. Sebagai akibatnya, dari wajah bonyok karena terkena pukulan, hingga nyawa hilang. Entah karena permasalahan sepele, bahkan dendam turunan senior, semuanya terangkum dalam ajang baku hantam yang bisa terjadi kapan pun, dan di mana pun itu. 

Namun, tahukah anda? Dahulu di daerah saya (Desa Turus, Kecamatan Patia, Pandeglang) juga ada semacam ‘tawuran’. Bedanya, jika tawuran pelajar membawa rantai, gir, samurai, dan senjata tajam lainnya, sedangkan ‘tawuran’ yang dilakukan anak-anak muda di kampung saya saat hendak menyerang anak-anak muda di kampung tetangga itu, hanyalah berbekal semacam beduk kecil yang dibuat dari kaleng—bekas susu, cat, atau kaleng lainnya, penutupnya terbuat dari plastik bekas permen, dan ikatannya dari karet gelang. Juga penabuh dari ranting yang dililit karet pada ujungnya. 

Ubrugan, demikian kami menyebutnya. Dan tentu saja, ‘tawuran’ ini tidak akan menghilangkan nyawa, atau membuat wajah bonyok. Meski saling ejek, saling berhimpitan—semacam ingin menjatuhkan lawan, tidak pernah pula sekalipun pemukul beduk melayang ke kepala lawan, atau bagian tubuh lawannya. Karena barangkali, emosi mereka sudah tertumpah ke-seberapa-keras mereka memukul beduk mininya itu. Alhasil, sudah bisa dipastikan, apabila suasana sudah memanas, maka bunyi-bunyian itu akan semakin ramai. Semakin tidak berirama. Hingga beduk lawannya bolong atau rusak. Setelah itu, barulah mereka pulang. Entah membawa kemenangan karena beduk-beduk kelompoknya tidak rusak, atau sebaliknya.

Uniknya, untuk memulai ‘tawuran’ ini mudah. Pukul beduk satu kali di batas kampung, maka anak-anak kampung tetangga yang dipanggil itu akan membalas dengan pukulan di bedug-bedug mereka masing-masing sembari berdatangan ke batas kampung itu. Irama yang dihasilkan terdengar rancak, dan khas. Dan sayangnya, kegiatan ini tidak pernah dilakukan lagi. *
  • 0 Comments





Entah cerita ini benar, atau tidak. Entah ini hanyalah karangan almarhum Ende (Kakek) saya ketika hendak menina-bobokan cucu-cucunya. Atau memang, ini adalah hasil dari apa yang ia rekam dari cerita-cerita sebelumnya. Dan bukankah itu sastra asli kita? Sastra tutur? Dan ini adalah cerita asal usul nama kampung di Kecamatan Patia, Pandeglang. Atau nama desa dimana keluarga besar saya tinggal.
Baiklah, sebelumnya, marilah kita membuka lagi buku sejarah tentang Krakatau. Kepulauan vulkanik yang masih aktif hingga sekarang, dan berada di Selat Sunda yang membelah Pulau Jawa dan Sumatra. Barangkali ini adalah cerita basi, yang bisa membuat anda mengucap ‘ciyus miyapah’, atau ‘terus gue harus salto sambil bilang pucuk, pucuk, pucuk, gitu?’.
Tapi, tidak apa. Saya akan tetap mengulasnya, sekedar pengingat bagi kita semua bahwa setelah Krakatau Purba, Krakatau pernah ada. Pernah meluluh-lantakkan 195 desa di sepanjang Merak hingga Karawang, Ujung Kulon hingga Sumatera bagian Selatan. Pernah merenggut 36.000 jiwa, dan merenggut/menghilangkan dirinya sendiri dalam letusan dahsyatnya pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Dan peristiwa ini pernah disaksikan kakek saya, hingga kemudian menjadikan kampung di dataran tinggi di desa saya diberi nama Turus. Bukan Taurus[1], atau Tartarus/Tartaros[2].
Itu pula yang saya tanyakan kepada kakek saya ketika itu. Kenapa harus Turus? Kenapa tidak pilih nama yang lain? Pakai Ci—; atau Kadu—. Karena di Pandeglang banyak sekali nama daerah yang memiliki awalan nama itu.
Dan inilah jawaban kakek saya;
Syahdan, ketika gelombang tsunami setinggi 40 meter menerjang desa-desa, termasuk desa di mana kakek saya tinggal. Semua penduduk berlari menyelamatkan diri ke daerah dataran tinggi yang dahulu menjadi huma atau ladang penduduk. Namun, air yang datang rupanya lebih tinggi. Hingga mencapai ujung bambu untuk merambatkan tanaman kacang panjang. Tuturus. Dari sanalah kemudian nama tempat itu—yang tadinya tak bernama—diberi nama. Tuturus, sesuai dengan sebutan bilah bambu untuk merambatkan tanaman kacang panjang itu. Namun, entah siapa yang memulai kekacauan penyebutan nama itu. Hingga akhirnya menjadi Turus saja. Tanpa Tu—.
Dan memang, bila ditilik sampai tidaknya air di desa saya, di sana memang beberapa sisa-sisanya masih ada. Semisal, batu karang, besar atau kecil, di beberapa tempat masih ada. Kulit-kulit kerang (bukan kerang yang bisa dimakan), dan lainnya. Padahal, sekali lagi saya sebutkan, desa kami jauh dari laut. Laut terdekat hanyalah laut Panimbang di sebelah Barat yang jaraknya kurang lebih 20 kilometer. *



[1] Nama rasi bintang zodiak, dan kerbau sebagai lambangnya.—peny
[2] Berasal dari mitologi Yunani Kuno yang diasosiasikan sebagai suatu tempat di bawah tanah yang kelam dan kejam (ada juga yang menyebutkannya sebagai neraka). Tartaros dipakai oleh Dewa Zeus untuk mengurung sekaligus menghukum para perusak dan penjahat, seperti Titan, Tantalos dan lainnya.—wikipedia
  • 0 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top