Sejarah Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi
Genks, peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (De Zeven Provincien) menjadi salah satu episode penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa yang terjadi di kapal besar yang dimiliki oleh Pemerintah Belanda ini terjadi pada 5 Februari 1933, dan mencerminkan perlawanan pertama terhadap penjajahan kolonial. Oleh karena itu, setiap tanggal 5 Februari diperingati sebagai Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi, genks.
Dalam buku De Zeven Provinciën: Ketika Kelasi Indonesia Berontak 1933 (2015) karya J.C.H. Blom dan Elly Touwen-Bouwsma yang diterbitkan LIPI disebutkan bahwa kapal De Zeven Provincien ini berfungsi sebagai kapal latih tempat para marinir Bumiputera mendapatkan pelatihan praktik. Setelah sebelumnya, para pelaut Bumiputera itu mendapatkan pendidikan teoritis di Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi (Kweekschool voor Inlandse Schepelingen) atau KIS di Makassar. Lalu bagaimana, sih, sejarahnya?
Latar Belakang Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi
Pemangkasan anggaran belanja oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yang diinisiasi oleh Gubernur Jenderal de Jonge, menjadi pemicu timbulnya pemberontakan ini. Dimulai dengan pemotongan gaji pegawai pemerintah sebesar 5% pada tanggal 1 Juli 1931, kebijakan serupa terulang pada awal tahun 1932. Pemotongan gaji sebesar 10% juga diberlakukan pada anggota marinir Bumiputera yang memiliki penghasilan lebih rendah dibanding marinir Belanda. Seiring dengan kemerosotan ekonomi pemerintah, pada akhir tahun 1932, terjadi lagi pemotongan gaji sebesar 7% untuk semua pegawai pemerintah. Dengan demikian, dalam kurun waktu kurang dari setahun, pemerintah telah melakukan pemotongan gaji sebesar 17% untuk semua pegawai, baik di negeri induk maupun di daerah koloni (Hindia Belanda).
Setelah pengumuman pemotongan gaji yang ketiga kalinya, Komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, J.F. Osten, menyampaikan keberatannya dalam surat yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Osten menekankan bahwa marinir tidak dapat diperlakukan seperti pegawai sipil karena mereka memiliki kedudukan yang istimewa. Menteri Pertahanan, L.N. Deckers, juga mengeluarkan protes dalam surat kepada Gubernur Jenderal, dengan tegas meminta penundaan pemotongan gaji marinir untuk sementara waktu.
Mengenai permasalahan ini, surat kabar Soaera Oemoem sebagai corong organisasi pergerakan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) di bawah pimpinan Soetomo, melaporkan bahwa pada awal tahun 1933, terjadi pertemuan antara marinir Indonesia dan Belanda untuk membahas penurunan gaji. Dalam pertemuan tersebut, marinir sepakat untuk melakukan pemogokan keesokan harinya jika rencana pemerintah tetap dilanjutkan. Pada tanggal 2 Januari 1933, De Seven Provinciën dijadwalkan akan berlayar mengitari Sumatra hingga awal Maret 1933.
Dalam suasana tegang, berita dari Osten tiba. Berita ini menegaskan bahwa pemotongan gaji dari 10% menjadi 17% ditunda sementara sembari menunggu pembicaraan antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Nederland. Meskipun awak kapal bersukacita karena mengira tidak akan ada lagi penurunan gaji. Namun, berita tersebut hanya menjadi obat penenang sementara. Pimpinan Angkatan Laut di Surabaya, Scalongne, menyatakan bahwa penurunan gaji pasti akan terjadi, hanya waktu yang belum pasti. Persoalan semakin membingungkan.
Menteri Jajahan dan Menteri Pertahanan di Negeri Belanda melakukan perundingan dan menghasilkan keputusan bahwa gaji marinir Eropa di Hindia akan dipotong 4%, sedangkan perwira dengan masa dinas lebih dari 10 tahun akan dikenakan potongan 7%. Keputusan ini diatur dalam Koninklijk Besluit No. 51 tanggal 21 Januari 1933 dan berlaku sejak 1 Februari 1933. Untuk awak kapal Bumiputera, pemotongan gaji lebih berat, yaitu 17%, sementara Angkatan Laut Belanda hanya 14%. Awak kapal baru mengetahui keputusan ini pada tanggal 26 Januari 1933. Dua hari kemudian, mereka mengadakan rapat dengan dalih halal bihalal, namun sebenarnya pertemuan tersebut bertujuan untuk menentukan langkah selanjutnya.
Situasi semakin memanas dengan adanya berita penangkapan dan penahanan 425 anak kapal Bumiputera di Surabaya, ditambah dengan pemotongan gaji yang lebih banyak bagi awak kapal Indonesia daripada Belanda. Tegangan yang terus berlanjut akhirnya berubah menjadi pemberontakan atau pengambilalihan kekuasaan terhadap kapal perang oleh awak kapal pada tanggal 4 Februari 1933.
Jalannya Pemberontakan
Pada 2 Januari 1933, Kapal De Zeven Provincien berlayar dari Surabaya menuju Sumatera, membawa 397 awak kapal, terdiri dari 141 marinir Eropa dan 256 marinir bumiputera. Selain sebagai demonstrasi kekuatan, perjalanan ini juga berfungsi sebagai pelatihan bagi siswa Pendidikan Dasar Pelaut Bumiputera (Kweekschool voor Inlandse Schepelingen) yang berjumlah sekitar 80 orang. Setelah perjalanan sebulan, pada 3 Februari 1933, kapal tiba di Banda Aceh tanpa masalah berarti. Komandan kapal menunjukkan profesionalisme dan keakraban dengan awak kapal.
Di Surabaya, sebagai reaksi terhadap keputusan pemerintah tentang penurunan gaji marinir, terjadi pemogokan dan unjuk rasa yang dilakukan oleh para marinir Bumiputera yang bekerja di kapal-kapal pemerintah. Awalnya, tidak banyak awak kapal De Zeven Provincien yang mengetahui hal ini, dan suasana di kapal tetap kondusif. Namun, ketika berita pemogokan dan unjuk rasa di Surabaya mencapai marinir Bumiputera di atas kapal, muncul ide untuk melakukan pemogokan sebagai bentuk protes terhadap pemotongan gaji juga. Meskipun upaya pemogokan itu gagal, hal itu meningkatkan ketegangan di atas kapal, dan komandan kapal bersama perwira-perwiranya meningkatkan kewaspadaan.
Meskipun media melaporkan bahwa situasi di De Zeven Provincien masih aman, Komandan J.F. Osten tetap cemas dan mengirim pesan kepada komandan kapal agar tetap waspada. Ruang radio juga diperketat penjagannya. Meskipun ada ketegangan, komandan kapal menganggap situasi masih terkendali, sehingga tindakan lebih lanjut tidak diambil.
Seiring dengan kedekatan De Zeven Provincien ke tujuan, berita pemogokan di Surabaya menyebar di kalangan marinir Bumiputera. Gagalnya pemogokan di atas kapal juga memicu keinginan untuk mengambil alih kapal dan membawanya kembali ke Surabaya sebagai bentuk solidaritas dengan para marinir Bumiputera yang melakukan pemogokan di sana. Selain sebagai protes terhadap pemotongan gaji yang dianggap tidak adil, pemogokan mereka juga bertujuan untuk membebaskan rekan-rekan mereka yang ditangkap di Surabaya.
Sehari setelah kapal tiba di Aceh, beberapa perwira mengetahui rencana pemberontakan dan menyampaikannya kepada komandan kapal. Meskipun komandan kapal awalnya tidak sepenuhnya percaya, dia mengutus seorang perwira untuk memastikan kebenaran berita tersebut kepada perwira yang bertanggung jawab atas keselamatan kapal. Sebelum utusan tiba, sekelompok marinir bumiputera melakukan aksi pengambilalihan kapal ini di bawah pimpinan Paridja dan Kawilarang. Mereka menguasai tempat penyimpanan amunisi dan menahan beberapa perwira kapal. Komandan kapal melarikan diri, dan De Zeven Provincien sementara tanpa pimpinan hingga van Boven mengambil alih komando.
Pemberontakan di atas kapal ini terjadi pada tanggal 4 Februari 1933. Sebagian besar awak kapal sedang berada di darat, dan hanya beberapa perwira yang tinggal di kapal. Pada awalnya, pemberontakan dilakukan oleh marinir Bumiputera, tetapi kemudian banyak marinir Eropa, terutama Belanda, yang juga ikut bergabung.
Menteri Urusan Jajahan, Colijn, mengambil tindakan tegas terhadap marinir-marinir pemberontak. Ia mengeluarkan perintah untuk menumpas pemberontakan, bahkan mengancam untuk menenggelamkan kapal perang tersebut dengan torpida yang membawa senjata berat jika perlu. Colijn juga melarang media pers memberitakan peristiwa ini, namun berita pembajakan cepat tersebar.
Koran Tjatja Soematra melaporkan adanya 160 perwira di kapal, termasuk 9 Belanda, 3 Indonesia, dan sisanya bangsa asing. Koran ini juga menyebutkan bahwa dua perwira melarikan diri ke darat dan melaporkan pembajakan kepada keamanan setempat.
Dampak Pemberontakan
Setelah peristiwa yang menggemparkan itu, De Zeven Provincien masih mampu berlayar hingga ke Onrust (Kepulauan Seribu). Para tahanan kemudian diturunkan dan dimasukkan ke dalam penjara sebelum dihadapkan ke pengadilan. Semua orang yang dianggap pemberontak itu kemudian diadili dan dihukum penjara, dengan rentang hukuman antara 1,5 hingga 18 tahun. Pemimpinnya yaitu Kawilarang, mendapat hukuman yang paling berat.
Komandan dan perwira tinggi yang terlibat langsung dalam peristiwa itu juga diadili di Belanda, sementara 16 perwira lainnya diadili di Hindia Belanda. Meskipun marinir bumiputera yang terlibat dalam pemberontakan mengakui mengagumi pemimpin pergerakan seperti Soekarno dan Soetomo, mereka menegaskan bahwa pemberontakan tersebut sama sekali tidak dipengaruhi atau dikendalikan oleh partai politik manapun.
Penting untuk dicatat bahwa peristiwa pemberontakan ini, meskipun tidak terkait dengan gerakan politik tertentu, memiliki dampak besar pada pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bagi pemerintah Hindia Belanda, peristiwa ini menjadi katalisator untuk mengambil tindakan keras terhadap berbagai gerakan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.
Peran media massa juga menjadi signifikan dalam peristiwa ini. Terlepas dari upaya pemerintah untuk melarang publikasi tentang pemberontakan, berita tersebut cepat menyebar, memicu reaksi dan kecaman terhadap kebijakan pemotongan gaji dan tindakan keras pemerintah. Surat kabar seperti Tjatja Soematra dan Pandji Timoert memainkan peran penting dalam menyampaikan perspektif dan tuntutan para pemberontak.
Pemberontakan di De Zeven Provincien pada tahun 1933 mencerminkan ketegangan sosial dan ekonomi yang dialami oleh marinir di Hindia Belanda. Pemotongan gaji dan ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi menjadi pemicu utama, sementara peran media dan pandangan politik pemerintah kolonial memainkan peran penting dalam memperkeruh situasi. Dampak peristiwa ini tidak hanya terasa di tingkat lokal, tetapi juga berdampak pada dinamika politik dan perlawanan nasional di Hindia Belanda. Pada akhirnya, hal ini juga membentuk langkah-langkah lebih lanjut menuju kemerdekaan bangsa Indonesia.
0 Comments