Makam Tua Yang Akan Tenggelam dan Rakit 7 Batang Bambu



Jalan kecil yang terjal itu, pohon jati di sisi kiri dan beberapa di sisi kanan, rumpun bambu, jembatan kecil, lio arang atau tempat pembuatan arang di pinggir sungai kecil, dan sungai besar itu, semuanya terasa tidak asing. Jalan itu membawa saya ke perkampungan dengan tiga leuit di sisi kirinya. Kampung Genteng, kampung sunyi yang tak lebih dari 17 bangunan baik rumah yang masih berdiri dan yang tinggal pondasi serta lantai, pun majlis taklim dan masjid itu sunyi sekali. Beberapa ternak tampak berkeliaran di jalan dan halaman.

Saya tidak sendiri, ada tiga orang lelaki bersama saya. Dua orang di antaranya saya panggil mamang dan Oom atau ommang Heri dan om Feri, dan salah seorang lagi saya panggil aa atau a Ari. Usia kami tak terpaut terlalu jauh, meski saya lebih muda, tentu saja.

Salah satu rumah tempat kami menitipkan kendaraan, pintunya terbuka. Hanya saja, tak ada siapa pun di sana. Tak ada suara kehidupan anak manusia sekali, pikir saya. Seorang lelaki setengah baya tampak berjalan dari arah pinggir sungai. Pakaiannya basah separuh, di punggungnya tampak tas ransel lusuh.
"Mungkin di masjid," ujarnya.
"Oh iya, Ashar...," sahut salah seorang dari kami.
 Setelah mengucapkan terima kasih, kami kemudian berjalan menuju pinggir sungai.
"Di sini hanya ada 8 kepala keluarga lagi yang masih bertahan," terang om Feri, saya memanggilnya. Saya ber-oh panjang dan terus mengambil beberapa cuplikan gambar melalui ponsel.

Beberapa orang anak kecil dan seorang lelaki dewasa tampak duduk di rumah dengan mobil di saung yang lain itu. Tulisan 'warung kopi' yang dicat di tembok tempat duduk di depan warung. Kami terus berjalan menuju pinggir sungai. Rakit-rakit tertambat di salah satu titik. Katanya, hari ini sungai sedang meluap sehingga akan sulit bila ingin menyeberang tanpa rakit. Di seberang itulah komplek makam tua berada. Artinya, kami harus menyeberang sungai Ciberang untuk sampai di sana.

Di salah satu titik sungai yang tidak terlalu dalam, sepaha orang dewasa, om Fer dan A Ari memutuskan berjalan menyeberangi sungai. Sementara saya dan mang Heri, memilih mencari orang untuk menyeberangkan dengan rakit. Yah, lebih baik bayar upah menyeberangkan daripada pulang dengan celana basah, sementara saya tidak membawa pakaian ganti selain kain panjang saja.

Abah yang rumahnya tadi kami kunjungi tampak berjalan menuju ke arah kami. Tampaknya ia baru pulang dari masjid. Setelah bersalaman, kami meminta tolong untuk diseberangkan dan diantar menuju ke tempat tujuan kami.

7 batang bambu panjang yang direkatkan menjadi rakit itu  memiliki 5 batang bambu lebih pendek di tengahnya. Rakit itu yang dipilih abah untuk menyeberangkan. Ketakutan saya langsung naik ke leher. Jeritan kecil dan racauan saya langsung terdengar di sela-sela anjuran untuk tidak bergerak. Tubuh saya benar-benar tidak bergerak, hanya jantung yang terasa melompat-lompat. Ini memalukan, sebenarnya. Tapi kau tahu, ketakutan itu tidak tahu atau punya malu. Di seberang, om Feri sengaja melempar kerikil untuk mengisengi kami. Orang tua iseng itu tertawa saja mendengar jeritan ketakutan saya. Senang betul!

"Duh! Aki, nini, eyang, buyut, na atuh kudu nyeberang segala. Da saya sieun tigubrus laju tilelep dan paeh," racau saya dalam ketakutan itu dan langsung disambut tawa yang sudah di seberang.

Pasir, orang-orang kampung itu menyebutnya. Dataran tinggi yang ada di seberang sungai itu selain kebun warga, juga ada area pemakaman tua. Nisan-nisan yang ada di sana tak hanya terbuat dari batu pipih bermotif atau berukiran, ada pula yang terbuat dari batu fosil baik dengan ukuran kecil dan pendek, maupun ukuran besar dan menjulang ke atas. Semua tertancap di beberapa titik. Di sana pun tak hanya kuburan berbentuk memanjang, ada kuburan yang menggunung serupa kuburan orang Cina yang saya lihat di film-film kolosalnya. Di salah satu makam dekat saung, nisannya tampak ukiran Allah (dalam bahasa Arab), di batu nisan lainnya motif pucuk pakis terukir di atas nisan. Sedangkan di nisan-nisan dengan batu fosil itu, tampak tak ada ukuran atau tulisan apapun.

Nisan berlafad Allah itu, konon adalah milik  Pangeran Artapati. Ia adalah salah satu tokoh penguasa kecil di area Lebak. Keunikan yang ada di area makam tua ini terdapat pada batu-batu fosil yang menjadi ciri atau nisan, selain ukirannya juga.

Sempat terbersit dalam benak saya perihal pemindahan nisan-nisan yang ada di area ini. Tapi, ke mana dipindahkan dan siapa yang memindahkan, saya belum dapat memastikannya. Hanya saja, menurut hemat saya, bila area ini tenggelam kelak, setidaknya kita masih punya tanda bahwa mereka pernah benar-benar ada dan hidup di dunia ini. Tentu saja, area tempat pemindahan itu disiapkan khusus serupa tempat aslinya dengan berbagai catatan yang bisa mengenalkan mereka kepada khalayak.

Selesai berziarah dan berkeliling dari satu nisan ke nisan lainnya, kami pun segera beranjak menuju tepi sungai. Sementara om Feri dan a Ari menyeberang sungai di area dangkal, saya dan mang Heri kembali naik rakit 7 batang bambu bersama Abah. Saya masih diserang takut ketika berada di atasnya. Tak ayal, jeritan kecil pun terdengar hingga tepi tempat rakit-rakit lainnya berada. Beristirahat sebentar di rumah penduduk, kami memesan kopi dan mengobrol perihal pengalaman tadi di seberang serta dugaan-dugaan lainnya. Menjelang Maghrib, kami pun beranjak kembali menuju Ciuyah, tepatnya ke tempat tujuan lainnya.

Semoga kita semua selalu sehat sehingga kita bisa kembali ke area ini lagi. Tentu, sebelum area ini tenggelam oleh waduk terbesar ke-3 di Republik ini, Waduk Karian.



Rahayu.


You Might Also Like

0 Comments