Berita Aing yang Sakumaha Aing





Saat itu kami sedang membicarakan bagaimana bahasa pergaulan kami di kampung tetap kami gunakan dimana pun dan kapan pun. Meskipun dikenal kasar karena tak memiliki undak usuk bahasa, tapi kalau kami ikut tidak menggunakannya, maka nasib bahasa ibu kami ini akan sama dengan hilangnya puluhan bahkan ratusan bahasa ibu di daerah lainnya yang kehilangan para pemakainya.
Meskipun, tetangga meja berulang kali menengok sambil mengerutkan dahi, sesekali menaikan sudut bibirnya karena mendengar betapa obrolan kami ini begitu 'kampungan' tapi seru sekali.
Tepat hari ini, (06/2) cikal bakal Berita Aing (@beritaing), kami obrolkan. Tak hanya sekadar obrolan, tapi langsung dibuat skema kerjanya juga. Siapa menjadi apa, termasuk uraian konten yang kami sepakati dan seberapa luas jangkauan tagline 'berita aing, kumaha aing' ini mampu dilampaui.
Dan tentu saja, tempat-tempat mana saja yang bisa diklaim sebagai 'kantor', termasuk di Padepokan Kupi ini. Prinsip kami, selama masih bisa numpang charger, kenapa harus punya kantor? Tentu saja, gratis. Meskipun tetap ditagih. Padahal kopi mah tetap bayar.
Sekarang, sudah masuk tahun ketiga. Selama perjalanan ini banyak hal yang sudah terjadi. Dari disangka kubu A, B, C, disangka jawara dan ditagih listrik melulu sama mamang kopi. Kami terima saja seperti kami menerima kaya raya, meskipun cuma rasanya saja.
Tak sedikit yang bertanya siapa empunya, kenapa sangat sakumaha aing tulisan-tulisannya, tidak memenuhi kode etik jurnalistik dan lain sebagainya. Jawabannya gampil:
Buah jeruk, buah delima
Tulisan buruk, jangan dihina
Karena itu, terima kasih atas supportnya selama ini, mamang-mamang, kaka-kaka, bibi-bibi, teteh-teteh...
Ingat, tim kami tidak menerima amplop, yang euweuh eusina. Eusian ajah dengan kadu sakebon. Karena kami sangat mahalan dan senang gratisan.
Ngopi dikaduan, dak! Peuting ieu, di Padepokan Kupi.
Aing di kantor.
Cag.

You Might Also Like

0 Comments