Menonton Padi di Malingping




Berawal dari ajakan seorang kawan, akhirnya pada Kamis (28/6) kaki saya menginjak kampung Sukajadi, Rahong, Malingping. Di rumah bapake (lupa namanya, karena blio memanggil saya ibu. Hiks) yang bertanggung jawab dalam project BPTP di kawasan itu, saya beristirah sembari mendengarkan kedua lelaki itu membahas segala keperluan dan persoalan yang terjadi di lapangan. Juga, mensyukuri keterlamabatan kedatangan setelah menempuh jarak Serang-Malingping melalui Saketi yang menurut catatan Google Map sekitar 100,6 KM dengan estimasi perjalanan sekitar 2 jam 39 menit itu.

Tentu karena kami berhenti tiga kali untuk mengisi bensin kendaraan plat merah itu di Pom Bensin Cipacung, mengisi perut kami yang tidak berplat dengan bubur ayam di daerah Goyang Lidah (lupa nama daerahnya, tapi dekat-dekat situ) dan karena saya izin ke toilet POM Bensin terdekat. Alhasil, kedatangan yang diprakirakan sekitar pukul 8.30 (berangkat pukul 06.00 WIB), sampai lokasi kurang lebih pukul 10.00 WIB. Sekitar 4 jam perjalanan sangat sesuai jika ditempuh dengan kendaraan keluaran Kawasaki yang bikin bokong nyeri itu. Andai kurang dari itu, saya sebagai boncengers sejati mungkin tidak akan sempat menulis catatan perjalanan ini. Ah, tentu saja hingga saya menulis catatan ini, status saya saat ini sedang membenci kendaraan itu.

Di rumah bapake itu, kami disuguhi air mineral dan kopi juga pisang yang saya langsung membuat mata saya berbinar. Meski saya lupa nyomot, karena perhatian saya teralih pada plastik-plastik berisi agen hayati, Beauvaria. Benda berbau dan berbentuk seperti peuyeum atau tape beras itu akan digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit padi. Isi di kantung plastik itu nantinya akan bertindak seperti kanker di tubuh para hama. Jamur putihnya akan terus berkembang biak di dalam tubuh si hama dan menelikung tubuhnya hingga menjadi seperti tempura. Kematian tragis bagi para hama sepertinya.


Setelah menjelaskan cara mengaplikasikan virus untuk para hama dan menyiapkan alat pengukur, mamangnya mengajak saya menuju ke lokasi untuk mulai pekerjaan. Digiring bapake, di sepanjang perjalanan itu keduanya terus membincangkan perihal hal-hal yang terjadi dan sesekali bercanda mengenai hal lainnya.

Pesawahan yang menghampar sudah di depan mata. Di petakan-petakan yang sudah ditandai itu, pekerjaan mencatat rumpun padi yang ditandai dengan bilah bambu itu akan dimulai.  Ada empat bilah bambu dari petakan-petakan yang sedang hijau-hijaunya itu, penanda blok dan cara bercocok tanam yang dipakai. Ada dua cara bercocok tanam yang dikaji di kawasan itu; cara alami dengan beauvaria dan cara para petani. Keduanya dilakukan untuk membandingkan hasil akhir dari penelitian BPTP ini.

Meskipun begitu, bagi mata minus seperti saya kedua cara itu sama-sama membuat mata jadi adem. Hijau, euy. Ditambah lagi ada tanaman penunjang selain jagung yang ditanam di beberapa area galangan sawah itu. Bunga. Ada beberapa jenis yang ditanam, termasuk bunga matahari. Fungsinya untuk mengalihkan perhatian para hama dari padi yang ditanam tanpa menggunakan  seperti asam mefenamat yang sedang bekerja meredakan keriweuhan rasa sakit saat datang bulan.

Sementara ia dan bapake bersiap menuju lokasi di ujung pandangan, saya disilahkan menuju area berbunga dan jika matahari terlalu menyengat, saya disilakan menunggu di beranda rumah penduduk yang berada di dekat pesawahan itu. Mata saya berbinar untuk area berbunga dan sedikit terpicing untuk anjuran tetap di pinggir itu. Tapi saya tidak ingin membantah, karena saya tahu mereka pasti melihat penampilan saya yang salah kostum. Ya kali ke sawah pakai flannel, jeans dan keds putih.

Bukan saya jika menurut anjuran untuk menunggu di pinggir. Apalagi saat matahari hanya terasa hangat kuku saja meski saat itu sudah pukul 11.00 WIB. Kalau matahari di Serang, tidak dianjurkan juga saya akan melipir sendiri. Perbedaan suhu benar-benar membuat saya enggan menerima pekerjaan di siang hari. Setelah menyapa bunga-bunga, saya menitipkan sepatu di rumah penduduk dan langsung berlari mengejar anak-anak yang sedang ngurek atau memancing belut. Cacing tanah yang menjadi umpan itu rupanya sudah berhasil memenjarakan belut dalam potongan botol plastik di tangan mereka. Setelah mengobrol sejenak dan mengambil gambar cara mereka memancing, saya pamit untuk melihat dari dekat caranya bekerja.

Tentu saja, saya juga ikut menjejakan kaki di petakan yang sedang ia teliti itu sembari ribut sendiri dengan bertanya dan mengomentari segala hal yang nggak penting-penting banget. Mulai dari mengomentari sensus 4 keluarga (rumpun) padi yang saya sedang ia lakukan, bertanya mengenai kondisi keluarga padi yang tidak sesehat keluarga padi lainnya dan hal lain yang berhubungan dengan apa yang sedang ia lakukan itu. Selain tentu saja menyemangatinya yang terus berpindah dari satu petakan ke petakan lain, sementara saya heboh sendiri dengan menyapa hama-hama seperti tomket, belalang, keong, telur keong dan berteriak ketika kodok melompat.

Adzan dzuhur yang terdengar di kejauhan menjadi petanda tengah hari sudah tiba. Meskipun begitu, sinar matahari rasanya masih seperti pukul 10.00 pagi. Hangat dan sama sekali tidak menyengat. Karena itu, saat saya pulang ke rumah bapake untuk mengambil air mineral dan beberapa camilan, bapake yang menyarankan untuk tetap tinggal di rumahnya saya abaikan. Saya mengatakan padanya bila saya suka berada di bawah matahari sehangat itu.

Selain heboh sendiri dengan kekatrokan yang saya sadari itu, saya juga meminta izin untuk mencari anak bunga untuk saya bawa pulang. Sebenarnya, saya ingin memindahkan semua bunga yang ada di sana. Tapi akibatnya pasti saya ditinggal pulang. Karena itu, saya mencari rumpun bunga yang sudah beranak saja. Sementara blio meminta perlengkapan jerat hama yang dititipkan pada saya.

Ada 5 kantung plastik yang sudah diisi hama, masing-masing plastik berisi 1-2 hama berlain jenis termasuk diantaranya belalang kecil. Plastik berisi hama itu dititipkan kembali pada saya. Entah ada insting apa, saya meniupkan udara di dalamnya agar para hama tetap hidup. Tentu saja keisengan saya itu juga dikomentari, sebab menurutnya para hama itu pada akhirnya akan dimatikan juga.

Turut berduka ya, hama yang entah namanya dan baru saya ketahui keberadaannya di dunia.

Pukul 13.55 WIB ia mengajak saya beristirahat sebentar dan meminta saya pulang duluan ke rumah bapake. Sementara dia akan meneruskan pekerjaan ke beberapa petakan lagi. Waktu Dzuhur yang sebentar dan betis yang mulai gatal membuat saya mengiyakan sarannya.

Saya menghampirinya lagi ketika saya kembali rapi. Rupanya, kali ini ia sedang mengerjakan petakan yang diolah dengan cara petani. Saya hanya menunggu di pinggir sembari melihatnya bekerja dan sesekali melemparkan komentar iseng perihal kondisi keluarga padi yang sedang disensusnya. Di petakan itu tertancap keterangan bila padi yang ditanam di petakan itu menggunakan cara petani. Ia juga memberi penjelasan bila padi yang ditanam dengan cara petani itu sedang diserang penyakit yang masih sulit saya ingat namanya. Hanya saja, ia berjanji akan sesegera mungkin menyelesaikannya. Setidaknya sampai pukul 15.00 WIB, setelahnya ia akan memenuhi janji selanjutnya; bermain ke pantai sebelum akhirnya pulang.

Yay! Itu menyenangkan. Gimmic terbaik setelah menonton padi di sawah. Heuheu


You Might Also Like

0 Comments