Kartu Undangan Berwarna Emas
"Nih...," suaramu terdengar di belakangku. Tangan kekarmu menyodorkan kartu sederhana dengan pita warna emas. Aku yang masih serius mengerjakan project kecil yang kukerjakan bulan ini nyaris tidak bisa mengalihkan perhatian dari layar komputer.
"Taruh saja, nanti aku lihat," ujarku singkat. Kudengar kamu menghela napas. Kamu pasti sedikit kecewa karena hingga detik akhir, aku memilih menyelesaikan project ini. "Oke, aku lihat," ucapku setelah menekan tombol simpan. Kudengar kamu melangkah menjauh sementara aku mulai menilik kartu di tanganku. Tak lama, kudengar suara kamu menuangkan air di gelas.
"Love, kenapa kamu memakai titel kita di undangan ini?" Tanyaku setelah memperhatikan kata demi kata yang tertulis di sana. "Kamu tahu kan, aku tidak suka dengan titel-titelan? Lagian ini pernikahan, bukan lamaran pekerjaan atau seminar nasional. Jadi, tidak mesti ada titel di sana," cerocosku sembari memutar kursi dan menatap tubuh jangkungmu yang sedang mengaduk kopi.
"Cuma bagian titelnya saja, kan?" Tanyamu sembari menghampiriku dengan kopi di tangan.
"Yep. Desainnya cantik, aku suka. Pemilihan fonts-nya juga oke. Umh, tapi..., apakah ini tidak terlalu wah untuk pernikahan sederhana yang kita rancang?" Tanganku kembali membolak-balik kartu berwarna putih dan bertinta emas itu. Kamu menyeruput cangkir kopimu.
"Setidaknya kita harus memberikan kesan yang terbaik di undangan. Besok aku ke percetakan, menghapus titel kita," ujarmu dengan penekanan pada kata titel.
"Love...," nada suaraku terasa memohon pengertian. Jujur saja, pada bagian ini kami selalu berdebat.
Titel yang tidak pernah kupakai, selalu dianggapnya sebagai peluang orang lain untuk melecehkan kemampuanku. Apalagi kemudian aku memilih menjadi freelancer dibanding bekerja seperti layaknya orang bertitel lainnya. Memang, di banyak kesempatan aku juga menemukan hal-hal seperti yang ia khawatirkan. Tapi, aku pikir mereka pada akhirnya mengakui juga kemampuanku setelah melihat hasil pekerjaanku.
"Iya, akan aku hapus besok. Tapi sebagai gantinya, buatkan aku makan malam," ujarmu dengan nada merajuk.
"Baiklah. Ayo makan di luar," kuraih sweater di kursi dan langsung memakainya.
"Hey! Calon isteri macam apa?"
"Kulkasku kosong. Ayo, pukul 12 nanti aku harus mengirim hasil pekerjaanku," ujarku seraya meraih kunci kendaraanmu.
"Sepertinya aku salah memilih calon istri," Gerutumu sembari mengikutiku.
"Mau dibatalkan? Mumpung belum cetak undangan, nih," kerlingku.
"Sembarangan." Tanganmu meraih pundakku. "Kamu kan pelengkapku, bagaimana bisa dibatalkan takdir itu?"
0 Comments