utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact




Babi-Babi Sangiang May Day

Kami akan menggelar pementasan pada perhelatan dan nuansa Mey Day di Cilegon. Pembacaan kami pada Mey Day 2018 dilandasi persoalan korporat yang bergerak dengan sistem kapitalisme kokoh serta bersembunyi di balik sistem pemerintahan yang korup dan tak segan menanam benih permusuhan di tataran akar rumput.

Pulau Sangiang adalah contoh dari arena kongkalikong antar sistem itu sebab begitu banyak persoalan yang tak kunjung usai. Mulai dari persoalan kecil di antara sesama masyarakat, kepentingan pemerintah daerah dan pengusaha, menyangkut kebijakan nasional, hingga medan pertarungan global. Berbagai-bagai persoalan itu seperti bertumpuk-kusut dan karut-marut, yang tentu saja memerlukan perlakukan secara khusus dan berkesinambungan untuk dapat menyelesaikannya.
Pembacaan tersebut hanyalah upaya kami untuk menangkap memori kolektif warga dalam menghadapi masalahnya, dengan harapan bisa meracik-wujudkan menjadi teks dramatik dan laku metaforik di atas panggung.

Tilikan Masalah Sangiang

Menurut tilikan kami, muasal terjadinya perebutan lahan antara PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) dengan warga Sangiang adalah karena perubahan status pulau.
Menurut penuturan warga, pulau Sangiang adalah sebentuk hadiah bagi warga Lampung yang diperintahkan tinggal dan membantu pemerintahan Banten pada era kesultanan. Perintah itu datang dari pemimpin mereka, Ratu Darah Putih, yang memang memiliki hubungan baik dengan Sultan Banten. Konon, sejak saat itu, pulau Sangiang menjadi hak milik warga Banten asal Lampung, yang sebagiannya kini bermukim di kampung Lampung Sai Anyer.
Hingga masa kolonial Belanda, pulau Sangiang masih dimanfaatkan oleh warga untuk bermukim dan berladang. Namun, ketika datang masa pendudukan Jepang, pulau itu digunakan sebagai landasan pesawat model Amfibi—semacam pesawat pengintai kapal-kapal musuh yang masuk ke wilayah Selat Sunda. Pada masa Jepang inilah, warga Sangiang meninggalkan pulau dan mengungsi ke Anyer.
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, hingga berakhirnya era pemerintahan Orde Lama pada 1965, tak banyak yang tahu mengenai kondisi pulau Sangiang. Hingga kemudian, pada era Orde Baru, status pulau Sangiang menjadi milik negara dengan lebel Cagar Alam. Tak selesai sampai di situ, status Cagar Alam Pulau Sangiang kemudian malah berubah menjadi Taman Wisata Alam Laut. Pada saat alih fungsi inilah, terjadi banyak peristiwa yang membuat resah warga Pulau Sangiang. Bagi mereka, melakukan perlawanan terhadap kesewenangan perubahan status Pulau Sangiang, bukanlah sebuah solusi. Tapi, diam saja pun membikin mereka seperti sedang menjerumuskan diri ke dalam sumur sakit hati. Akhirnya, mereka hanya bisa bersikap pasrah.
Seolah menemu terang, pihak birokrat dan penguasa memanfaatkan keluguan masyarakat pulau Sangiang yang tidak melakukan perlawanan itu, untuk melalukan transaksi secara sepihak. Berbagai isu pun muncul, salah satunya adalah isu yang menyebutkan bahwa pulau Sangiang akan menjadi titik penguat pondasi bagi Jembatan Selat Sunda yang akan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Entahlah. Yang pasti, jika proyek Jembatan Selat Sunda itu benar terealisasi, warga Pulau Sangiang merupakan hambatan bagi “para mafia” megaproyek yang sekadar mengatasnamakan pembangunan nasional. Karenanya, para mafia pembangunan membutuhkan pion-pion yang mampu memanipulasi data, mengotak-atik hak atas tanah Pulau Sangiang, sampai apa yang mereka inginkan tercapai.
Lalu, bagaimana nasib warga Sangiang saat ini?
Menurut info yang kami peroleh, ada tiga warga Pulau Sangiang yang dipolisikan karena dituduh memasuki pekarangan rumah investor. Padahal, sejatinya pekarangan tersebut adalah bagian dari rumah dan kebun warga Sangiang sendiri.
Bukan hanya itu, investor Pulau Sangiang juga memanfaatkan binatang seperti babi hutan, ular kobra, dan tupai, yang ditengarai sengaja dilepas-sebarkan di Pulau Sangiang. Tujuannnya hanya satu: mengusir warga Pulau Sangiang tanpa mengotori tangan mereka sendiri.

Teks yang Dikebiri Laku Metaforik

Peristiwa Sangiang yang kami temukan dari lisan warga dan para aktivis yang mendampinginya, tampak mengandung kekesalan yang meluap-luap. Dari cara mereka menuturkan berbagai peristiwa itu, tampak bahwa selama ini pendapat mereka terdistorsi oleh sistem otoriterian dan korup, hingga luapan kekesalan mereka seolah begitu liar sebab menemukan pendengar bagi kebebasan mereka berpendapat. Teks-teks pun membuncah, memantul ke segala arah, menggapai apa saja yang ada di dekatnya, merambah apa pun dan siapa pun. Maka, kesan yang kami temukan adalah tubuh jungkir-balik, keyakinan yang lekas punah dan berubah-ubah, namun menyimpan harapan dengan menempuh berbagai cara untuk mendapatkannya.
Dari tubuh jungkir-balik dan keyakinan yang berubah-ubah itulah, kami mengebiri laku wajar manusia yang kami anggap sebagai metafora pemanggungan, yang terus kami cari-temukan lewat latihan dengan teknik tubuh mekanik, telaah wacana, mengapresiasi sikap warga, dan kritik terhadap berbagai peristiwa yang telah dan masih saja terjadi di Pulau Sangiang. [*]

Peri Sandi Huizche
Niduparas Erlang
Lab. Banten Girang


  • 0 Comments


Sudah beberapa minggu sebelumnya, Director Kelvin Films menghubungiku untuk bekerja sama dalam pembuatan narasi untuk kompetisi. Padahal, naskah sebelumnya juga belum aku selesaikan. Tema naskah sebelumnya memang agak berat. Karena itu aku meminta waktu untuk membaca beberapa pustaka dan diskusi terus menerus. Sekalian mengingat pelajaran sewaktu di Pondok Pesantren. Heuheu...

Waktu yang menelikung tiap individu dan kesibukan masing-masing, membuat pekerjaan ini agak tersendat. Belum lagi salah satu kru, Director of Photography sedang berlibur ke luar kota. Hopeless barangkali menjadi kata terakhir yang ada di kepala, meski tidak diucapkan secara verbal. Karena yang didesiskan mulut hanya 'ah' saja. Director Kelvin Films pun mengambil keputusan penting untuk tetap meneruskan project yang akhirnya kami sebut 'Soul of Banten'.Sebelum title itu muncul, sebenarnya aku menyodorkan beberapa yang lain; mother nature, a home dan lainnya hingga akhirnya sampai pada 'Soul of Banten'.

Begadang menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan project ini. Tidak hanya semalam, namun bermalam-malam. Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Termasuk di studio milik DoP yang sedang berlibur. Juga di kostanku yang tidak terlalu besar dan sangat berisik itu. Bagian per bagian kami selesaikan, termasuk narasi yang rupanya harus kubaca sendiri. Padahal, kau tahu bukan, suara sudah tidur dan suara belum tidur itu sangat berbeda sekali. Ditambah dengan gejala flu yang menyerang karena begadang bermalam-malam.


10 Video Terbaik UnYuzual Trip


Producer Kelvin Film, Wina Afrilia, mengabariku jika hasil kerja bareng kami masuk 10 besar terbaik. Alhamdulillah, artinya acara begadang kami selama beberapa hari terbayar. Meski belum sampai kata 'tunai', karena pertarungan masih berlangsung.

Pihak penyelenggara memberi kami waktu  untuk memperbaiki pekerjaan. Director memutuskan untuk memperbaiki narasi. Itu artinya aku harus merekam suaraku lagi. Kali ini ia memintaku untuk merekam di studio rekaman. Sebenarnya, aku agak enggan untuk meminta pertolongan teman di studio. Karena aku tahu, mereka pasti akan memarahi sekaligus memberiku cengan sampai perutku sakit sekali.

Tapi karena waktu yang diberikan juga tidak panjang, alhasil aku menghubungi teman baikku di studio radio X Channel. Dan memang benar, dia orang pertama yang memarahiku karena tidak meminta pertolongan dari awal. Apalagi setelah dia tahu jika sebelumnya aku merekam suara menggunakan fasilitas perekam di ponsel. Dia marah, karena katanya aku seolah tidak memiliki teman yang memiliki studio rekaman. Termasuk teman-teman yang bekerja di radio yang akan dengan senang hati membantu. Hanya saja, kebiasaan burukku selain aku ingin berusaha sendiri sampai mentok sekali, juga sering lupa untuk meminta pertolongan ini.

Rekaman yang kami buat pagi itu, rupanya memiliki beberapa bagian yang kurang. Director Kelvin Films pun mengarahkan untuk merekam ulang. Dan karena teman baikku di X Channel tidak bisa membantu malam itu, pertolongan kedua kami dapat di Decade Studio. Sama seperti di X Channel, aku juga mendapat gerutu dari abangku di sana. Termasuk 'cengan' yang membuat perutku sakit karena melulu tertawa. Bahkan Director yang malam itu ikut ke studio pun tidak banyak bicara dan hanya tertawa saja.

Stuck Viewer dan Viewer Berkurang


Aku tahu, di gelanggang para petarung akan selalu ada yang beruntung dan yang tidak beruntung. Sebagai petarung sejati, kita hanya harus berusaha menyuguhkan hasil terbaik, mengikuti alur dan pantang untuk melantur, apalagi sampai keluar jalur.

Pertama kali Produser memberi link video yang diupload pihak penyelenggara, kami membagikan link itu ke teman-teman yang kami kenal. Permasalahan yang kemudian muncul adalah video kami yang diupload penyelenggara di youtube mengalami stuck viewer di angka 605, disusul dengan setengah dari viewer itu berkurang. Saat ini viewer kami kurang lebih ada di angka 385-an. Dirugikan? Tentu. Karena salah satu penilaian dari pihak penyelenggara adalah 'berapa banyak viewer di video'. Tapi, kami hanya tertawa dan cenderung santai melihat permasalahan ini. Meskipun Produser Kelvin Films, Wina Afrilia, cemberut karenanya. Yah, kami tidak bisa berbuat banyak. Bukan pasrah juga, sih. Tapi kami berusaha enjoy the moment.


Aku sendiri juga tidak ingin dipusingkan dengan persoalan 'siapa yang jahil'. Siapapun dia, aku hanya bisa menghaturkan terima kasih. Karena pekerjaan kami rupanya menarik perhatian dan memunculkan kejahilannya. Terima kasih buat kamu yang sudah mendukung. Pekerjaan kami untuk Soul of Banten ini tidak ada artinya tanpa dukunganmu.

Jadi, sampai jumpa di hari pengumuman. Insya Allah tim kami akan berada di sana. Mari rayakan dengan kopi. Cheers...
  • 0 Comments



"Nih...," suaramu terdengar di belakangku. Tangan kekarmu menyodorkan kartu sederhana dengan pita warna emas. Aku yang masih serius mengerjakan project kecil yang kukerjakan bulan ini nyaris tidak bisa mengalihkan perhatian dari layar komputer.

"Taruh saja, nanti aku lihat," ujarku singkat. Kudengar kamu menghela napas. Kamu pasti sedikit kecewa karena hingga detik akhir, aku memilih menyelesaikan project ini. "Oke, aku lihat," ucapku setelah menekan tombol simpan. Kudengar kamu melangkah menjauh sementara aku mulai menilik kartu di tanganku. Tak lama, kudengar suara kamu menuangkan air di gelas.

"Love, kenapa kamu memakai titel kita di undangan ini?" Tanyaku setelah memperhatikan kata demi kata yang tertulis di sana. "Kamu tahu kan, aku tidak suka dengan titel-titelan? Lagian ini pernikahan, bukan lamaran pekerjaan atau seminar nasional. Jadi, tidak mesti ada titel di sana," cerocosku sembari memutar kursi dan menatap tubuh jangkungmu yang sedang mengaduk kopi.

"Cuma bagian titelnya saja, kan?" Tanyamu sembari menghampiriku dengan kopi di tangan.
"Yep. Desainnya cantik, aku suka. Pemilihan fonts-nya juga oke. Umh, tapi..., apakah ini tidak terlalu wah untuk pernikahan sederhana yang kita rancang?" Tanganku kembali membolak-balik kartu berwarna putih dan bertinta emas itu. Kamu menyeruput cangkir kopimu.

"Setidaknya kita harus memberikan kesan yang terbaik di undangan. Besok aku ke percetakan, menghapus titel kita," ujarmu dengan penekanan pada kata titel.
"Love...," nada suaraku terasa memohon pengertian. Jujur saja, pada bagian ini kami selalu berdebat.

Titel yang tidak pernah kupakai, selalu dianggapnya sebagai peluang orang lain untuk melecehkan kemampuanku. Apalagi kemudian aku memilih menjadi freelancer dibanding bekerja seperti layaknya orang bertitel lainnya. Memang, di banyak kesempatan aku juga menemukan hal-hal seperti yang ia khawatirkan. Tapi, aku pikir mereka pada akhirnya mengakui juga kemampuanku setelah melihat hasil pekerjaanku.

"Iya, akan aku hapus besok. Tapi sebagai gantinya, buatkan aku makan malam," ujarmu dengan nada merajuk.
"Baiklah. Ayo makan di luar," kuraih sweater di kursi dan langsung memakainya.
"Hey! Calon isteri macam apa?"
"Kulkasku kosong. Ayo, pukul 12 nanti aku harus mengirim hasil pekerjaanku," ujarku seraya meraih kunci kendaraanmu.
"Sepertinya aku salah memilih calon istri," Gerutumu sembari mengikutiku.
"Mau dibatalkan? Mumpung belum cetak undangan, nih," kerlingku.
"Sembarangan." Tanganmu meraih pundakku. "Kamu kan pelengkapku, bagaimana bisa dibatalkan takdir itu?"
  • 0 Comments




: Catatan Perjalanan

Sejak mendengar Lab. Banten Girang akan mementaskan garapan baru di Kp. Lame, Panimbang (dipemberitahuan ditulis demikian), saya sedikit menyipitkan mata mengingat nama kampung itu. Ketika pulang, saya sering melewati Panimbang dan baru mendengar nama kampung itu. Meskipun saya tidak pernah babaragbagan alias main ke setiap kampung, tapi saya rasa akan ada informasi dari hasil mendengar. Entah dari tetangga, atau seseorang di jalan yang menyebut namanya. Tapi ternyata saya tidak mengingatnya.

Tapi karena tempat pementasannya berada di Kabupaten Pandeglang yang 'kau pasti tahu jalan perkampungan di sana seperti apa', saya langsung menyarankan untuk tidak membawa kendaraan bermotor dan membawa kendaraan tipe city car. Apalagi kampung ini belum terdeteksi berada di mana, meskipun konon masuk wilayah Panimbang.

Sementara untuk kendaraan bermotor, sebenarnya bisa menjadi alternatif lain jika pinjaman kendaraan tidak ada. Hanya saja, mengingat jarak dan medan yang entah seperti apa, pinjaman kendaraan yang bisa mengangkut seluruh kru dan properti harus lebih dimaksimalkan. Apalagi kemudian diketahui jika Kp. Lame berada di daerah Sobang, bukan Panimbang. Meskipun salah satu aktor yang juga berasal dari daerah itu mengatakan jalan menuju ke sana sudah bagus. Tapi saya justru sedikit tidak mempercayainya.

Persoalan yang kemudian muncul pada malam sebelum keberangkatan adalah kendaraan yang dipakai, rupanya masih berada di luar kota. Gerilya meminjam kendaraan pun dimulai. Satu per satu orang yang dimungkinkan bisa meminjamkan kendaraan dihubungi. Tentu saja, yang bisa meminjamkan kendaraan sekaligus menjamin soal bensinnya jika ada. Tapi jika hanya meminjamkan kendaraannya saja juga tidak masalah.

Akhirnya, BPCB menyatakan siap bantu mengantar tanpa birokrasi yang terlalu ribet. Di hari yang sama dengan dikirimnya surat, kami diantar supir dari BPCB menuju Kp. Lame, meski dengan syarat bensin ditanggung peminjam. Ya sudah, syukuri saja. Setidaknya, kendaraan untuk pulang, tentu ini juga pinjaman dari Batik Cikadu sudah menunggu di lokasi workshop mereka di Tangjung Lesung. Meskipun belum diketahui jarak Kp. Lame ke Cikadu berapa jauh.

Kami berangkat pukul 15.30 WIB dari Serang. Meleset dari jadwal keberangkatan yang mestinya pukul 13.00 WIB karena menunggu kendaraan BPCB yang sedang keluar. Tidak masalah, karena waktu pementasan sekitar pukul 21.00 WIB. Di pick up yang digabungkan dengan properti itu kami berjubelan. Beberapa kali, Peri Sandi Huizche mengajak kami tertawa dengan keadaan teater yang serba darurat seperti ini. Inilah proses yang harus dilewati. Sebagaimana Nandang Aradea pernah mengajari untuk bersusah-susah hingga kita bisa mengatakan sudah pada kesusahan semacam ini.

Sepanjang perjalanan, kami lewati dengan bernyanyi. Lagu-lagu kebangsaan, original soundtrack kartun, dangdut, hingga lagu anak-anak yang populer di tahun 90-an, kami nyanyikan. Tentu saja, ada selingan lagu himne kampus juga hingga tak terasa Maghrib pun tiba. Lampu-lampu jalan sudah menyala. Kendaraan pun melewati Pasar Panimbang. Tanpa berhenti dahulu, kendaraan terus dipacu. Di pom bensin yang lampunya sudah tak menyala, kendaraan diperlambat untuk melakukan pengisian kedua. Tapi, karena mereka sudah tidak beroperasi, pilihan lainnya mencari penjual bensin eceran. Kami temukan penjual tak jauh dari perempatan Ciseukeut.

Sembari menunggu penuh, salah seorang tim turun untuk membeli krupuk jengkol yang kami makan bersama. Lapar, menjadi persoalan lain yang membuat kami memutuskan untuk langsung makan sesampainya di tempat tujuan. Dari pesan Whatsapp, kami mengetahui jika panitia sudah menunggu kami di Pasar Sobang. Syukurlah.

Jalanan yang dikatakan bagus, rupanya masih sama tidak bagusnya dari 3 tahun lalu. Saya hanya bisa tertawa ketika keluhan mulai terdengar. Like I said before, jalanan di Kabupaten Pandeglang tidak akan semulus wajah Bupatinya. Istilah ini bukan hanya dari mulut saya, tapi hampir seluruh orang Pandeglang mengakuinya juga.

Pasar Sobang sudah di depan mata, panitia pemandu juga sudah berhasil kami temui. Jalanan yang ditempuh pun makin tidak manusiawi. Bebatuan besar dengan ceruk di sisi kanan dan kiri setelah dilindas kendaraan, genangan air sehabis hujan, dan jalanan tanpa lampu kami lewati dengan sesekali teriak 'waw, aduh,' serta teriakan lainnya.

Lokasi Haredu di hadapan kami membuat kami sedikit tercengang. Bebatuan di depan panggung utama, membuat kami hampir tertawa bersama. Bagaimana bisa pentas bila bebatuan sebesar itu? Sedang aktor kami tidak memakan sandal dan beberapa adegan mengharuskan untuk melompat, bahkan menggelosorkan badan yang telanjang? Tapi, kekhawatiran kami segera sirna saat melihat aula yang bisa kami gunakan untuk pertunjukan.

Panitia menyambut kedatangan kami. Kang Yopi dan kawan-kawan lainnya yang semula kami kabari kemungkinan lain--ketidakhadiran kami, terlihat lega. Mereka pun langsung menyilakan kami menuju tempat makan. Kebudayaan tertinggi memang makan, sodara. Jadi, beuteung harus diisi lebih dahulu sebelum pembicaraan yang perlu maupun yang tidak perlu. *eh?

Lokasi Haredu ini tepat di samping Sekolah Dasar yang beberapa ruang kelasnya dipakai untuk kawan-kawan dari berbagai daerah. Kedaruratan yang sering kami rasakan di Banten Girang, kami rasakan juga di sana. Ini bukan De Javu atau sebangsanya, ya. Tapi memang beginilah wajah 'gerakan' kebudayaan dan kesenian di Banten. Khususnya bagi para seniman yang macakal sorangan alias berusaha sendiri tanpa mengasongkan proposal ini dan itu pada pemerintah maupun sponsor.

Proses pendewasaan, saya pikir. Karena jika harus menunggu seseorang datang membawa koper berisi uang, hanya ada dalam fiksi. Kita harus bertarung dulu untuk mendapat taring. Dan bagi saya pun teman-teman Lab. Banten Girang, gelanggang para petarung macam ini adalah taman bermain yang membuat kami berdenyut hingga saat ini.

Seusai makan, mamang BPCB pamit. Saya dan Peri saling lirik. Kami tidak bisa memberi uang saku dan hanya berusaha agar atasannya di BPCB bisa menggantikan keringatnya untuk mengantar kami. Seusai pamit, pembicaraan mengambil kendaraan di Cikadu pun dimulai. Alternatif pertama, Niduparas Erlang diantar panitia yang bisa menyetir pergi ke Cikadu. Alternatif lainnya, Niduparas Erlang dan salah seorang pemain yang bisa menyetir, Abi, kami utus untuk mengambil kendaraan dan harus kembali lagi sebelum pertunjukan dimulai.

Kami hanya memiliki waktu sekitar 1 jam sebelum pertunjukan. Sementara keduanya pergi, tim melakukan persiapan. Destian A Kurniawan yang berkolaborasi kali ini pun sudah menyatakan kesiapan bagiannya. Video mapping yang dibuatnya bisa ditayangkan, termasuk keberadaan kabel (ya Allah eta si kabel kekinian itu) yang kami cari sebelumnya juga sudah ada di tangan. Tentu, itu salah satu kelengkapan pementasan yang disediakan panitia.

Tata panggung sudah tidak mesti dibahas. Semuanya asyik. Saat MC mengumumkan Lab. Banten Girang yang disebutnya Lab. Teater Banten Girang akan segera tampil. Sutradara, Peri Sandi Huizche langsung maju dan memberikan prolog. Tentu ini bagian skenario penguluran waktu juga. Hanya saja, jadwal harus sesuai rencana. Mendengar salah satu pemain kami masih di perjalanan, panitia semula memutuskan untuk mengganti dengan pengisi lainnya. Tapi, Abi memberitahu jika ia sudah hampir sampai. Peri Sandi pun langsung memberi aba-aba untuk memulai pertunjukan.

"Abi! Cepat, pertunjukan dimulai!" teriak saya di telepon genggam yang langsung ia jawab 'Iya, teh'. Kejam, saya tahu itu. Membawa pick up di jalan yang tidak manusiawi macam itu tanpa melepaskan gas, bisa membuat kendaraan terbalik. Tapi mau bagaimana lagi?

Tong potong roti, roti campur mentega
Belanda sudah pergi, kini datang gantinya...

Lagu pembuka yang dinyanyikan tanpa Abi itu, pementasan Babi Babi Sangiang pun dimulai. Di tembok yang bercat hitam, motion effect dimainkan Destian. Entah bagaimana, saya mendadak diserang rasa sedih. Di samping saya, para penonton yang masih belia duduk sembari mencoba ikut menyanyikan lagu pembuka itu.

Beruntung, Abi datang tepat saat semua aktor harus berada di pentas. Saya tahu, kondisi ke-8 aktor itu sedang tidak prima. Lelah di perjalanan dan sisa begadang semalam, membuat beberapa dari mereka tampak sangat kelelahan. Terburu-buru dan beberapa meleset dari ritme awal. Tapi, melihat apresiasi penonton, mereka terus memacu diri menampilkan yang terbaik dari sisa tenaga mereka.


[Bersambung dulu ah....]
  • 0 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top