Empat Cara Kamu Berkunjung




Pertama
Di Balik Pintu

Hujan masih samar membayang di luar jendela. Lampu di ruangan itu telah dipadamkan. Suara bel menelusup ke bawah pintu kamar, hingga sampai di telinga. Lampu di sisi tempat tidur dinyalakan. Cahaya membayang samar menampakkan pengisi kamar. Memperjelas benda-benda penghuni meja tempatnya berada. Kaca mata berbingkai hitam di atas buku Frida, segelas air mineral dengan penutup putih dan alarm digital di sisi lainnya yang menunjuk angka 02:07 dini hari. Masih teramat tidak beradab untuk bertamu. Pun menjadi tamu.
       Meski demikian, penghuni tempat tidur itu tak urung menurunkan kaki dan menelusupkannya ke sandal beludru. Sejenak duduk untuk sekadar mengumpulkan kesadaran. Kemudian, tangannya menggapai kaca mata dan memakainya sembari terus berdiri. Suara bel makin tak sabar.
       "Siapa?" Tanya suara parau setengah mengantuk itu di interkom yang menempel di sisi pintu.
       "Ini aku." Jawab suara lelaki di luar sana.
       "Ooh. Maaf. Aku ngantuk. Kembalilah pukul 6."
       "Tunggu. Aku tidak main-main. Tolong bukalah."
       "Kantuk ini juga bukan main-main. Kembalilah nanti."
       "Ya ampun. Aku tidak tahu harus pergi ke mana?"
       "Pulanglah."
       "Butuh waktu lama untuk sampai di rumahku. Kamu lupa suaraku, kan?"
       "Ooh. Siapa?"
       "Bukalah. Aku bawakan makanan kesukaanmu."
       "Siapa kamu?"
       "Aku lelaki jahat dari jauh. "
       "Ooh. Kamu. Baik. Masuklah."

Kedua
Di Balik Jendela

Pintu kafe masih berlabel 'akan beroperasi sebentar lagi'. Tirai-tirai masih menjuntai menutup aktivitas para pekerja. Kamu masih di seberang jalan. Kepalamu melirik ke arah datangnya kendaraan. Kamu acungkan tangan, menyetop kendaraan yang enggan menginjak rem.
    Kamu mendekati bangunan yang telah menjadi kafe ini. Kamu menatap kaca yang dipenuhi gambar-gambar, tanda tangan dan kalimat-kalimat perekam jejak para pengunjung setia. Mungkin kamu juga salah satunya. Pelan, kamu mencari. Beberapa kali kamu betulkan letak kaca matamu. Kamu membungkuk, setengah membungkuk, berdiri tegak. Barangkali kamu ingat, letak kamu menuliskan tanda kunjunganmu. Kamu ingat apa yang kamu tulis dan gambar di sana.
    Kamu segera mencarinya lagi hingga kamu berhenti tepat di jendela ketiga. Kamu melihatnya. Lingkaran. Ya, lingkaran itulah jejak yang kamu tinggalkan. Meski siapapun yang melihat, pastilah berpikir itu perbuatan anak kecil. Tapi sorot matamu menunjukkan bahwa ada banyak makna dari lingkaran itu. Barangkali semacam simbol ouroboros? Simbol siklus kehidupan yang tidak berbatas. Kelahiran, kehidupan, dan kematian. Keabadian yang mengabadi.
    Tirai jendela di hadapanmu ditarik. Kulihat matamu. Kamu melihat mataku. Senyum canggung mengembang seiring digantinya label di daun pintu.
    "Selamat Datang."

Ketiga
Batu Jingga dan Pelukanmu

         Gadis cilik itu memberikan batu sebesar telur. Warnanya jingga dengan corak serupa ayam jago. "Buat kakak?" Tak percaya rasanya. Gadis yang baru kukenal itu memberikannya. Barangkali sebagai tanda terima kasih? Tapi terima kasih apa? Pertanyaan itu seolah terbaca olehnya. Ia mendekat. Dipegangnya tanganku dan diajak berjalan. Langkahnya riang, setengah ditarik, aku terus mengikutinya.
       Entah berapa lama berjalan, persimpangan tampak di hadapan. Ia mengajak berhenti. Telunjuk kecilnya menunjuk ke arah kanan. "Kamu mau ke sana?" Aku menatapnya. Tapi ia menggelengkan kepala. "Kakak yang harus ke sana?" Ia mengangguk. Didorongnya tubuhku ke arah yang ia tunjukkan. "Kamu mau ke mana? Kakak antar aja, ya...," Kakiku hendak melangkah mendekatinya. Tapi, ia mundur selangkah. Bibirnya tersenyum, kepalanya menggeleng. Aku terus menatapnya. Rasanya aku pernah melihat gadis itu di suatu tempat. Barangkali di foto?
      "Hey, kamu! Mau masuk nggak?" Seseorang berseru dari jalan yang akan kutuju. Aku meliriknya. Kamu di sana. Kaca mata berbingkai besar, rambut yang tersisir, dan..., seragam SMA. Kulirik pakaianku. Seragam yang sama. Kamu teman sekolahku?
      "Oke, oke, kakak masuk dulu. Kamu hati-hati, ya. Jangan main terlalu jauh."
      Gadis cilik itu tersenyum dan melambaikan tangan, membalas lambaianku. Langkahku ragu menuju tempatmu berdiri. Pohon di sebelahmu tidak lebih tinggi darimu, tapi lebih tinggi dariku.
      "Kok kamu di sini?" Tanyaku sesampainya aku di hadapanmu. Kamu tersenyum, tanganmu terjulur ke kepalaku.
        "Memang selalu di sini. Kamu saja yang selalu melewatiku."
        "Masa? Aku juga tidak ingat ada pohon itu di sana? Padahal aku selalu melewati jalan ini."
        "Kamu terlalu sibuk dengan dirimu. Karena itu kamu tidak melihatku, atau pohon itu."
        "Ooh. Maaf."
        "Dimaafkan."
        Tanganmu terjulur ke bahuku, menariknya, dan tibalah aku di pelukanmu. Pelukan paling lama yang bisa saja membuat kita terlambat masuk kelas.

Keempat
Mata yang Bercerita


Kamu duduk di kursi meja makan. Mulutmu terus berceloteh mengenai keseharianmu; mimpi, bangun tidur, kamar mandi, membereskan tempat tidur, pergi bekerja, di kantor, orang-orang yang kamu temui, dan lainnya. Tanpa henti, seperti penyiar radio pagi yang melaporkan peristiwa. Sebelumnya, kamu memintaku memasak mie 'harus pedas' dengan kornet dan keju. Sembari mendengar ceritamu, tanganku sibuk menyiapkan pesananmu itu. Menjerang air, mengambil mie dari kabinet atas. Meletakannya. Beralih ke kulkas untuk mengambil keju dan kornet. Sesekali, aku menjawabmu dengan gumaman; hmm, ooh, terus.    
        Kamu mungkin sadar bila aku bosan mendengar ceritamu, sehingga kudengar suara kaki kursi digeser dan langkahmu yang mendekat.
       Tanganmu kemudian melingkar di pinggangku. Kamu kecup belakang kepalaku. "Ada yang sedang mengganggumu?" Kepalaku berpaling ke kiri, tepat dengan datangnya wajahmu. Pinggir bingkai kaca matamu menyenggol pipiku. "Ups, sakit?" Bibirmu mengecupnya, meski aku belum sempat menjawab sakit atau tidak. Itu kebiasaanmu.
      Tanganku sibuk membuka bungkus mie, sementara kamu kemudian berpindah ke sampingku; membuka tutup kornet, meletakannya. "Berhenti dulu," ujarmu sembari menahan tanganku yang hendak membuka penutup panci. Tanganmu kemudian mematikan kompor. "Sini, ceritalah. Aku dari tadi cerita, kamu diam saja." Kamu membalikan tubuhku, tanganmu melingkar kembali di pinggangku. Sementara tubuhmu setengah bersandar pada kabinet dekat sink.
     "Ada yang mengganggumu?"
    "Hmm," kepalaku mengangguk. Kamu menghembuskan nafas, pelan. Matamu mencari mataku. Bersitatap denganmu seperti membuka buku.  Apa yang ingin kamu ketahui, kamu membaca semuanya tanpa perlu kuceritakan. Begitu pula sebaliknya. Aku pun tahu cerita yang tadi tidak kamu ceritakan: kamu ingin menjaga jarak--lebih jauh dari jarak kotamu dengan kotaku?
     "Hmm." Desismu. Kualihkan pandanganku. Aku tak berani membiarkanmu membaca apa yang telah kubaca di matamu. Tapi aku yakin, kamu juga sadar bila aku telah mengetahuinya.
    "Yakin kamu bisa menerimanya?" Kamu membuka suara lagi setelah membiarkan diri kita mengheningkan cipta.
       Kugelengkan kepala. Entah.
   Kamu menatapku, menghela napas dan menghembuskannya sekaligus. Sementara aku mengumpulkan keberanian.
     "Tapi kalau kamu ingin pergi, silakan saja. Aku tidak bisa menahan orang yang ingin pergi." Kutatap matamu sebelum berpaling ke pintu kaca di sisi Timur.
      Mataku memaku pohon mangga di halaman samping yang sedang berbunga. Entah kamu bisa menikmati kematangan buahnya atau tidak. Kamu mencari mataku lagi. Tanganmu terjulur hendak menyentuh wajahku. "Tapi, pergilah setelah makan." Sambungku seberat helaan napas yang mengiringinya. Tanganmu menggantung. Kamu pasti sadar, aku tidak sedang bercanda dengan kalimat itu. Kamu mungkin pernah mendengarnya di suatu tempat.
      Kutarik langkah ke depan kompor dan mulai menyalakannya lagi. Aku berdiri tak bergerak menatap panci.
      Akan ada yang pergi sebentar lagi. Pergi? Aku tidak yakin dengan kalimat itu. Entah ini mimpi atau nyata. Sama tidak yakinnya dengan keberadaanku di rumah ini.
      Sudut mataku menangkapmu mendekat.

     "Aku tidak akan ke mana-mana. Tetap di sini (kamu menunjuk dahiku) dan di sini (tanganmu menunjuk dadaku)." Kamu membawaku ke dalam dekapan. Kurasakan tanganmu di kepala, mengelus lembut seolah ingin menidurkan cemasku. "Jangan khawatir, aku bisa menjagamu juga di kedua titik itu." Ucapanmu seperti keluar dari lorong rumah sakit. Hidungku mencium bau yang tidak pernah kusuka. Bohong. Kamu sedang berbohong. [*]





You Might Also Like

3 Comments

  1. infonya sangat menarik dan sangat bermanfaat bos..
    makasih banyak bos atas infonya..
    ssalam kenal bos...

    ReplyDelete
  2. Keren tulisanya mbk guntingkayu.

    ReplyDelete