Lunas Kau Bayar
Angka-angka di kalender telah banyak yang bertransmigrasi ke tempat sampah, begitu pula dengan jarum jam, pagi, siang, sore, malam, dan berulang di hari berikutnya. Mereka berbondong-bondong pergi, sementara aku masih mendekam di sini. Walau kepalaku pergi-pergi; menyapamu berulang kali, menanyakan kabarmu sepanjang hari. Tapi, tubuhku bertahan di ruang ini. "Tidak boleh, nanti kecanduan," begitulah ia berkata saat kakiku mengejang ingin berlari mencarimu untuk sekedar melihat matamu, dan merebut senyuman yang kau hadiahkan pada orang lain. Atau hanya sekedar duduk saling memunggungi di kursi dengan meja yang lain. Tapi, candu adalah candu. Tidak bisa hanya sekadar, sebab kepalaku pasti akan terus berputar bila kau tak nampak di depan, atau belakang.
Hari ini adalah hari pertama kita jumpa setelah banyak sampah di kepala. Hari di mana senyummu kurebut, kucabut, dan kutempatkan di bibirku.
"Hai! Kau bayar lunas kangenku! Jangan pergi-pergi, ya, esok pun demikian." Ingin rasanya menjerit. Meski tubuhku sudah mendahului menyatakan. Sudah memperlihatkan. Kau luput memperhatikan, bukan?
Ah! Aku lupa, kita belum berjabat tangan.
0 Comments