Ibu Rumah Tangga dan Aku
Party preparation by deviant art vi-ol-et |
"Jika kita sudah menikah, kau jangan kerja, ya, sayang. Biar aku yang menjadi kepala keluarga ini yang mencari nafkah," ujarnya sore itu, ketika hujan mulai merintik dan matahari tenggelam yang hendak kami saksikan berteduh di bawah awan hitam.
"Tidak, sayang. Aku ingin tetap bekerja," jawabku. Aku sangat tahu alasan kenapa ia tidak memperbolehkanku. Apalah pekerjaanku ini dibanding pekerjaannya? Tentu saja bukan apa-apa. Salary dia lebih besar sepuluh kali lipat dari salary-ku. Selain banyak hal lain yang tidak dia suka, tentunya. Namun, dalam hal ini aku tetap ingin mempertahankannya. Seberapa kali pun dia memintaku berhenti dari pekerjaan 'tidak seberapa' ini, aku tetap akan terus mempertahankannya. Bahkan, pernah suatu ketika kami bertengkar hanya karena hal yang satu ini. Dia menganggap aku bisa selingkuh bila tetap bekerja, dia juga menyangka aku akan tidak bisa mengurus dirinya, dan anak-anak kami nanti, bila aku tetap bekerja.
Ah! Aku rasa, jika hanya mengurusi dirinya, dan anak-anak kami nanti, aku akan bisa melakukannya. Meskipun sambil bekerja. Toh, pekerjaanku tidak berat, tidak memakan banyak waktu.
Dan sekarang, saat akad nikah tinggal menghitung hari, dia meminta hal yang tidak pernah bisa aku berikan itu lagi. Aku sepertinya harus benar-benar membuatnya mengerti, sangat mengerti. Dan mengutarakan alasanku yang sesungguhnya.Memang, titel 'ibu rumah tangga' itu bukanlah hal yang sangat salah. Tapi, aku benar-benar tidak ingin menyandangnya. Alasannya? Tentu saja aku memiliki beberapa alasan. Dan yang paling utama dari apa yang aku lihat, dan aku rasakan selama ini atas kecenderungan ibu rumah tangga adalah bergosip. Dan aku tidak suka jika aku termasuk di dalamnya. Membicarakan aib orang lain, mengurusi masalah orang lain yang sebetulnya bukan urusan mereka. Sungguh, aku benci orang-orang seperti itu. Membuang waktu untuk hal yang tidak penting. Lebih baik menghasilkan seratus rupiah saja, dibanding harus berada dalam lingkaran setan itu.
Tidak semua ibu rumah tangga suka bergosip? Tentu saja. Ada beberapa ibu rumah tangga yang tidak melakukannya. Ini hanya sekedar yang aku lihat, dan aku rasakan selama aku berhubungan dengan ibu rumah tangga di sekelilingku. Dia pun menyatakan hal ini, dan aku tidak pernah benar-benar bisa menunjukkan ibu rumah tangga mana yang memberiku ide bila menjadi demikian akan mudah sekali mengumbar aib orang lain, atau bergosip. Aku hanya pernah berkata, bahwa aku mendapat pemikiran itu dari beberapa ibu rumah tangga yang aku tahu. Tidak spesifik menyebutkan siapa mereka.
Dan kala itu dia memberi solusi padaku. Tinggallah di rumah selama aku bekerja, sayang. Kau tidak mesti berkumpul dengan sesama ibu rumah tangga, bila kau tidak mau bergosip seperti mereka. Tentu saja ide itu tidak terlalu buruk, aku pun bukan orang yang suka keluar rumah dan 'rumpi-rumpi' dengan teman-temanku. Alhasil aku mendapat julukan; kutu kasur, tikus rumah, si manja yang terus diam di ketiak mama, atau penjaga rumah. Apalagi aku tahu pasti bagaimana keadaan lingkungan tempat aku dan dia tinggal nanti. Pastilah akan banyak tambahan julukan lagi bila aku tetap mempertahankan kebiasaan awalku itu.
Ah... Apa ini termasuk dilema menjelang pernikahan? Aku rasa bukan. Aku hanya harus berterus terang tentang pemikiranku mengenai topik lama yang dia angkat lagi itu. Sekarang, atau dia akan terus memintaku untuk tidak bekerja.
Aku melirik ke arahnya yang masih diam, seolah ingin menebak apa yang aku pikirkan. Kukembangkan senyum, dan mengelus pundaknya sekilas.
"Sayang, maafkan aku. Aku benar-benar tidak bisa melakukannya...," ujarku dengan nada selembut mungkin. Dia masih menatapku, kali ini dengan tatapan menyelidik. "Sungguh, aku tidak bisa melakukannya. Izinkan aku tetap pada pendirianku, kali ini saja," sambungku dengan sungguh-sungguh, sekaligus kikuk ditatap dengan tatapan seperti itu. Dia memalingkan wajahnya sekilas, lalu menatapku lagi.
"Kau mau memberiku alasan lagi? Aku harap kali ini alasan itu lebih bisa membuatku mengerti...," ujarnya dengan agak kaku. Aku tersenyum, lalu menyenggol pundaknya dengan pundakku.
"Tentu saja." Ujarku mantap.
"Apa alasannya, dan contoh yang kamu berikan itu? Aku ingin dengar, dan ingin sekali mengerti," ujarnya kembali dengan pandangan menyelidik.
"Keluarga besarmu, sayang...," ujarku dengan nada serius sekaligus takut menyinggung perasaannya. Pandangan kami beradu. Jelas, aku melihatnya agak bingung dengan apa yang aku katakan. "Aku mungkin tidak perlu membeberkan alasanku lagi, kamu sudah sangat sering mendengarnya. Aku hanya menyodorkan contohnya yang dekat sekali denganmu. Keluarga besarmu." Aku berkata lagi dengan raut yang sangat serius. Dia menghembuskan nafasnya. Entah untuk melepaskan sesak yang tiba-tiba menyerangnya, atau mungkin karena pendapatku selama ini tentang ibu rumah tangga dan kecenderungannya itu benar.
"Kamu benar-benar membuatku bingung. Kenapa kamu memberikan contoh dari keluarga besarku? Apa selama ini kamu melihat mereka sebagai tukang gosip, atau semacamnya?" Dia menatapku dengan tatapan terluka, tersinggung, atau entah. Meskipun di sisi lain aku melihat dia pun tidak bisa mengatakan apapun bila menyangkut keluarga besarnya itu.
"Maafkan aku, aku hanya memberimu contoh. Dan merekalah yang dekat dengan kita selama ini. Aku, dan kamu pun sudah sering menjadi bahan gosip mereka, bahkan beberapa kali memberi dampak pada hubungan kita. Kali ini, tolong mengertilah. Aku tidak bisa melepaskan pekerjaanku yang tidak seberapa di matamu itu, terlepas dari apa yang nanti dikatakan keluarga besarmu pada keluarga yang kita bangun," ujarku sungguh-sungguh.
Dia masih menatapku. "Bukan, bukan begitu. Untuk hal itu, sih, aku juga tidak peduli..." Ia menelan ludah sejenak. "Hanya saja, aku sedang berpikir, apa yang akan dipikirkan orang tuaku, terutama ibu?" Ujarnya agak bergumam. Aku menyeringai, dan menyenggol pundaknya lagi. Ia menatapku.
Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. "Kau tahu....." Aku menatapnya tajam, sementara dia menarik wajahnya sedikit ke belakang. Aku menyeringai. "Kau tahu? Contohku itu termasuk ibumu..."
Ada jeda di antara kami. Jelas sekali aku melihat dia kaget, sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan itu. Matanya mendelik, lucu. Sementara aku terus mendekatkan wajahku dan mulai menyeringai, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
0 Comments