Kumpulan Cerita Tragedi dan Budaya Banten (Resensi ‘Banten Suatu Ketika’)



Tribun Jogja, Minggu (9/6/2013)
Oleh Astuti Parengkuh

Judul            : Banten Suatu Ketika
Penulis        : Guntur Alam dkk
Jumlah hal.  :xiv +162
Penerbit       : Banten Muda Community&Framepublishing Yogyakarta
Tahun Terbit : 2012
Harga           : 29.750

            Banten Suatu Ketika adalah representasi dari sebuah komunitas penulis muda yang menggelar Sayembara Menulis Cerpen dengan setting Banten. Menggabungkan belasan cerita pendek dengan berbagai genre (melodrama,misteri, fantasi/futuristik) tentu bukan hal mudah, namun upaya Banten MudaCommunity untuk menjembatani para seniman aksara hingga mewujud menjadi buku patut diacungi jempol.

            Diawali dengan cerpen yang berjudul ‘Tiga Penghuni dalam Kepalaku’ goresan pena Guntur Alam. Sebagai peraih juara1, cerpen ini tak diragukan membawa pembaca kepada imajinasi linier. Dikisahkan tentang ‘aku’ yang memiliki 3 kepribadian di dalam dirinya. Hubungan sebab akibat, lalu muncullah ego dan superego membentuk diri si ‘aku’ untuk mencari penyelamatan-penyelamatan bagi dirinya. Selalu luput dari cedera yang lebih berat atas siksaan ibu kandungnya yang suka berjudi dan meminta paksa uang hasil kerja jualan pop mie di Pelabuhan Merak, ‘aku’ bisa bersembunyi dengan kepribadian ‘seorang laki-laki gagah’. Pun tatkala Bang Codet dan Kang Asep yang menderita disorientasi seksual, ‘aku’ bisa berulah karena ada kepribadian lain pada dirinya.
                                                                                                                                        
            ‘Bebek Panggang Nyai Pohaci’ berbahasa puitis, seperti prosa liris dari awal cerita dituturkan hingga akhir. Ank Ariandi berhasil membawa pembaca hingga lena mengikuti alur cerita. Inilah keunggulan cerpen ini bila dibanding konflik yang dibangun. Mengambil tema yang sederhana tentang Nyai Pohaci yang disakralkan bagi masyarakat Banten. Nyai Pohaci di Jawa lebih dikenal sebagai Dewi Sri, dewi kesuburan.

            Richa Miskiyya, cerpenis produktif mengusung cerita tentang perempuan lesung. Halimah si ‘Perempuan Lesung’ adalah satu dari puluhan wanita pemain lesung dan menjadi primadona kampung. Dia menolak pinangan para lelaki yang datang kepadanya, Halimah lebih tertarik dan jatuh cinta kepada lelaki yang setiap malam datang dalam mimpinya sejak dia memainkan lesung untuk pertama kali. Richa piawai membesut alur, hingga pembaca dibuat merinding akan kisah yang dia tuliskan tentang Halimah yang menjumpai Zareba, sang lelaki misterius. Pembaca seolah terkagum ketika mendapati akhir cerita, bahwa pernikahan dua sejoli itu hanyalah olah imajinasi dari Halimah belaka. Kisah kasih tak sampai yang tak akan habis diceritakan meski dunia semakin tergerus peradaban.

            Pada cerpen ‘Macan Angop’ karya Badri Yunardi dijumpai warna komedi satire. Badri lincah bertutur layaknya anak muda yang suka ceceriwisan melukis keadaaan dengan detil hingga terdapat beberapa kalimat panjang namun memukau. Ber-setting dunia pesantren yang dinamis dengan tokoh yang bernama Muhammad Syihabbuddin yang dijuluki Macan Angop, penulis seakan tak bisa dikendalikan untuk mengeluarkan kata-kata sehingga pembaca dipaksa memelototi huruf hingga sampai kepada akhir yang takjub.

            “Inilah wajah kita, Banten
            Wajah yang beraneka rupa
           Inikah wajah kita?
           Yang sinis menatap wajah murung yatim piatu.
           HUABBBHHHHHH!!!
           “Ya sudahlah, kita makan-makan sekarang…” (hal.87)

            ‘Cula Karo’cerpen karya Winda AzZahra mencoba membidik tema pelestarian Badak Bercula Satu yang semakin langka di ujung Kulon. Mengambil setting Indonesia masa depan (tahun 2062) di sebuah tempat konservasi Ujung Kulon Research Center (UKRC). Dengan gaya fantasi futuristik, Winda berhasil menggiring pembaca untuk berpikir kembali secara terbalik (dekonstruksi) tentang khasiat cula badak. Cula bukan lagi sebagai obat untuk penunjang hidup manusia tetapi obat mati alias racun sehingga manusia kian hari kian punah.

            Membaca ‘Kujang Meradang’ karya Aksan Taqwin Embe adalah membaca kelembutan bahasa yang membungkus kisah mistis. Bertutur tentang kujang sebagai senjata khas Banten yang kerap bahkan wajib dipunyai oleh para jawara. Tersebutkah tokoh ‘bapak’ sebagai kolektor ribuan kujang yang ‘menyalahi’ amanat karena dia lupa mantra, yang akan membawanya kepada kutukan hingga anak cucu selama tiga turunan.

            Tulisan bernada tragedi dan melodrama terdapat dalam cerpen ‘Tarian Sang Gurandil’ karya  Ismawanto dan ‘Larva Waktu’ goresan pena Sulfiza Ariska. Gurandil adalah sebutan untuk penambang emas liar yang terdapat di daerah Cikotok. Demi mendapatkan hasil tambang seperti Jaro tetangganya, Adang menuruti kata sang ibu,Mak Ayun yang tak kapok melihat tragedi yang menimpa suaminya, tewas terkubur di ‘lobang’, jalur batu emas. Takdir yang sama menimpa Adang, dia terkubur di ‘lobang’ setelah memukul lubang potas dengan palu. Untung tubuhnya bisa dikeluarkan. Namun seperti kisah klasik lainnya, selalu ada pecundang yang ingin memelihara kebiasaan buruk yang cenderung melenakan dan tidak mengikuti aturan.

            Cerpen ‘Larva Waktu’ mengajak pembaca untuk bernostalgia dengan sejarah yang melankolis. Cerita yang sarat akan idealisme tentang kebangkitan bangsa Indonesia dibalik kisah drama Nyai Dasima dan para nyai dari Meneer  Van Reijnst. Bacalah sebuah kutipan yang menggugah itu, “Bahasa adalah senjata. Setiap kata memiliki kuasa. Penderitaan rakyat terjadi ketika bahasa digunakan penguasa sebagai senjata untuk menjajah. Bukan mahkota, bukan singgasana, bukan pula istana yang diinginkan rakyat ; melainkan  persamaan, kebebasan, dan persaudaraan.” (hal.150)

            Membaca Banten Suatu Ketika adalah membaca sastra yang sebenar-benarnya. Pembaca diajak untuk memperhalus budi pekerti, membentuk karakter serta mengugah nurani. Sebuah buku berupa antologi 15 cerpen yang wajib dimiliki oleh setiap orang yang mengaku pecinta buku. [*]



You Might Also Like

0 Comments