Toilet Khusus dan Keharusan Nahan Pipis

     
     Kadang kalau sedang dalam keadaan 'genting' seperti siang ini (24 Oktober 2012), saya suka berpikir; betapa asyik jadi binatang yang tidak memiliki rasa malu, bisa kencing di mana saja, di depan betina atau jantan, di plang bertuliskan 'Dilarang Kencing Sembarangan Kecuali Binatang', di belakang gedung, atau di mana saja. Dan kamu pasti tahu betul bagaimana rasanya menahan pipis itu, bukan? Sakit di kantung kemih itu lebih sakit dari diselingkuhi pacar. Oke, pengandaian itu memang tidak masuk akal karena saya belum merasakan--atau mungkin sudah tapi saya tidak sadar. Tapi, apa pun itu, pokoknya sangat tidak nyaman.
      Di sisi lain, saya juga ingat film Korea berjudul Small Town Rivals yang beberapa waktu ditayangkan di teve Net. Plotnya silakan lihat di wikipedia saja, ya. Saya hanya akan menceritakan adegan saat Chun-Sam sedang memimpin unjuk rasa, tapi mendadak kebelet ke toilet. Dia lalu pergi ke gedung di tempat mereka unjuk rasa. Tapi, malangnya, saat hendak masuk ke toilet, ia bertemu dengan Dae-Gyu dan orang-orang yang sedang diprotesnya itu. Dae-Gyu dan orang-orangnya merasa perlu mengusir Chun-Sam, sementara Chun-Sam tentu saja perlu ke toilet. Dorong-dorangan pun terjadi, hingga akhirnya Chun-Sam tidak tahan lagi, dan buang air besar di celana, di hadapan mereka yang mendorongnya.
      Itu memang dua penggal kisah yang berbeda. Tapi intinya; betapa toilet diperlukan  oleh manusia, siapa pun dia, bagaimana pun keadaannya (ingin pipis atau buang air besar). Jadi, marilah kita langsung ke inti cerita saja. Begini ceritanya (gaya seorang kawan yang selalu memulai cerita dengan mimik serius dan selalu awal mula begitu). Siang itu saya buru-buru pergi ke kantin Untirta untuk bertemu dengan Dedod (panggilan sayang untuk Dhee Lintang Weungi) yang mengajak membuat kejutan di hari ulang tahun suaminya (Irwan Sofwan) yang jatuh di hari ini.
      Sampai di Kafe Ide, sudah banyak orang yang duduk-duduk di bawah pohon Mangga itu. Tentu mereka ada campuran, warga asli Kafe Ide, dan warga sekitar yang merasa di sana adalah tempat paling nyaman. Begitu pula saya. Ngobrol ke sana ke mari, mendengarkan, atau cuma termangu menatap ke arah orang-orang di kantin dengan segala makanan dan minuman di meja mereka sedang di hadapan cuma ada kopi. Saya menunggu Dedod di sana. Katanya ia sedang beribadah dulu, begitu jawaban SMS-nya. Tidak berapa lama--yah sekitar dua kali memutar lagu Melukis Wajah Tuhan, dua kali memutar Tidurlah Perempuanku, dan Candu Rindu bersama seorang kawan, Pita yang mengaku senang mendengar Musikalisasi Puisi grup Serenada itu. Tapi rencana membuat kejutan sepertinya agak meleset; kue tart belum dibeli, lilin tidak ada hanya ada obor (itu pun harus buat dulu). Dan akhirnya, kue tart gagal, hanya gorengan seharga 20ribu saja. Tapi, tentu saja apalah perayaan, atau kejutan dari orang-orang, bukan? Sebab hidup kita pun sudah sering memberikan kejutan-kejutan itu.
     Setelah beberapa lama, kantung kemih saya mulai mengajak ke toilet. Saya pamit sebentar menuju ke gedung PKM B. Saya tahu, toilet di lantai satu mampet, jadi saya langsung menuju lantai dua. Tapi, rupanya para pekerja sedang membetulkannya juga. Kembali ke lantai satu, toilet di sana sudah tertutup (ada orang di dalamnya), sementara di pintu ada tulisan dengan cat; Rusak!
     Saya langsung menuju ke gedung. Pikir saya, masa sih toilet di gedung rusak juga? Gedung B tujuan saya, dan dari pintu itu saya langsung berjalan ke sebelah kanan. Seorang perempuan yang usianya jauh di atas saya rupanya baru membuka pintu, dan membetulkan lengan baju di depan pintu. Jadilah saya menunggunya. E-eh, tapi dia keluar sembari menarik pintu dan menutupnya. Saya mengerutkan dahi, dan memberanikan diri bertanya; "Ini toilet khusus dosen, ya, bu?" Ia memandang saya sekilas, bergumam tidak jelas, mimiknya malas, tapi dia menganggukkan kepala. Saya berujar lagi. "Oh, kalau begitu, toilet khusus mahasiswa di sebelah mana, ya, bu?" Ia menatap saya lagi, mungkin menaksir 'apa saya mahasiswa kampus ini atau bukan'. Tapi mimik malas, dan ucapannya tidak jelasnya masih ada saat menunjuk dengan dagu ke ujung lorong lain yang tampak gelap. "Oh, terima kasih, ya, bu," ucap saya sebelum berjalan cepat-cepat ke lorong itu. Tapi, bukan toilet dengan bak penuh berisi air. Hanya pintu yang ditempeli tulisan; "WC Mampet". Saya langsung balik kanan, kembali ke tempat berkumpul. Mereka bertanya pada saya ketika saya datang dengan kikik geli 
    Entahlah, saya tidak tahu kenapa saya tertawa, hanya saja seperti ada yang menggelitik perut. Saya ingat film Korea itu, saya hafal mimiknya, mengingat apa yang dulu ia katakan, dan membayangkan bila saat ini saya berada di posisi pria itu. Akh! Apa yang terjadi kemudian? Malu di saya, mungkin. Tapi, rasanya pasti puas melihat wajah kaget dosen atau entah siapa dia yang berkantor di samping toilet itu. (Hihi)
      Hanya saja, bila saya review ke dahulu, permasalahan di kampus ini sepertinya tidak pernah move on dari permasalahan seputar fasilitas belajar; kursi-kursi, white board, AC, tempat parkir, tempat sampah, genset, dan tentu saja permasalahan toilet ini juga. Dahulu, beberapa pembicara di seminar yang diadakan organisasi di kampus ini sempat membicarakannya di forum; betapa toilet di sini aduhai. Ini sindiran yang mengandung tamparan keras sebetulnya, meskipun nadanya bercanda dan orang-orang yang mendengarnya tertawa. Tapi saking bebalnya, hal macam ini terus saja berulang dan berulang. Tentu saja posisi saya bukan pembicara itu, saya hanya seorang kekasih-yang-tidak-dianggap, itu saja. (Eh?)
      Dahulu, pernah saya bicara pada seorang pejabat rektorat yang kebetulan sidak ke PKM A. Saya mengeluhkan permasalahkan toilet ini; saluran air sering mampet, banjir, pintu rusak, dan lainnya. Ia mengatakan bahwa mahasiswanya kurang menjaga kebersihan. Sementara mahasiswa kemudian menyalahkan pekerja kebersihan yang bekerja di setiap gedung (termasuk PKM) tidak menyentuh toilet. Memang, siapa yang mau disalahkan masalah dalam toilet, sih? Mahasiswa yang memakai tidak merasa merusak, sementara pejabat tidak merasa memakai pun. Tapi, pihak mahasiswa memang kurang telaten juga dengan kebersihan toiletnya ini. Terlepas dari pemikiran 'ada yang membersihkan' itu. Tapi, kalau habis makan jengkol dan tidak menyiramnya dengan benar, kan, kepala situ juga yang harus dipentung, men! Sadar diri, sadar lingkungan. Bagaimana kalau pihak rektorat mempunyai pemikiran untuk menyerahkan kepengurusan toilet ini ke pihak swasta, sehingga nanti setiap kali ke toilet mesti bayar macam di terminal? Apa memang perlu begitu? Saya yakin rektorat mendukung, malah mungkin sudah lama punya pemikiran ke sana (siul).
     Tapi, tentu keluhan masalah toilet ini di-follow up. Buktinya, tidak lama kemudian, toilet PKM A diperbaiki. Lantai baru, penampung airnya baru, wc baru, gayung baru. Hanya saja ada kekeliruan, sebab sebentar kemudian hal itu terjadi lagi. Ya, sampai Alien berkunjung ke bumi untuk ikut pemilihan Miss World pun, permasalahan tolet yang melulu rusak ini akan tetap saja terjadi. Sebab saluran pembuangannya tidak diperbaiki, septic teng-nya tidak 'disentuh' ahlinya (perusahaan sedot septic teng ada, kan?).
       Perbaikan toilet yang sedang dikerjakan saat ini pun rasanya akan sangat percuma. Kecuali memang niatnya membuang anggaran yang tidak seberapa itu. Kaya kok kampus ini (lihat saja parkirannya), ratusan juta mah tidak apa-apa, kali ya. Tapi kalau cuma mau menjual 'betapa baru dan bagusnya keramik dan wc, sepertinya itu tidak cukup, bung! Kecuali kalau mau jualan keramik, dan wc, maka segeralah membuat lapak di depan sana (Cuma usul. Heu.. :D).
     Semoga saja saat saya mampir ke Untirta, toilet sudah 'nyaman sentosa'. Setidaknya asyiklah untuk baca buku sambil nongkrong. :-D

Salam, sayang
kekasih-yang-tidak-dianggap.

Penampakan: dipotret setelah kejadian. Hihi
'tolong jangan BAB' tambahannya, terlihat pas motret. -_-")>
Diperbaiki; dapat lantai dan bak baru, ye.. :p

TKP: Nggak enak motret dari depan, ada ibu-ibu yang melihat dari dalam ruang sebelah. *eh?

You Might Also Like

0 Comments