utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact



Entah sejak kapan aku mulai memprediksi berbagai hal. Termasuk perihal undangan pekerjaan itu. Aku tahu, beberapa kawan baik juga sudah memiliki pandangan tersendiri. Ada yang mengatakannya langsung, maupun dengan sindirian tertentu. Tentu, karena aku tahu mereka sangat menyayangiku jadi mereka memberi berbagai tanda itu. Mereka tidak ingin aku disangka ini dan itu oleh segelintir orang seperti yang sudah-sudah.

Aku juga sangat menyadari, bila kedatanganku tidak akan disambut sebaik Lara Croft tanpa Angelina Jolie. Karena itu aku sempat menghambat diri untuk tidak segera pergi. Tak apa datang saat gelap, meski aku juga bukan perempuan yang takut sorot matahari. Hanya saja, aku tidak ingin berurusan dengan pikiran dan prasangka manusia. Kau pasti sangat tahu, meski kedatanganmu bermaksud baik, tapi kebaikan yang aku yakini tidak akan begitu saja diterima. Termasuk dalam hal pekerjaan yang berhubungan langsung dengan ide. Tidak semua orang mampu menghargainya sebagai pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga untuk melakukannya.

Hal yang paling membuatku malas adalah ketika seseorang meminta bantuan, tapi dibayar dengan sangkaan ini dan itu yang membuat sakit telinga. Selama ini, aku memilih diam dan menarik diri, bukan mengamini apa yang mereka sangkakan. Tapi memberi waktu pada diriku untuk mundur, menarik napas dan mengingat kembali apa yang pernah kupelajari dari orang-orang hebat, guru terbaik di hidup ini.

Selama proses ini, aku banyak mendengar dan melihat. Aku mendengar banyak hal. Kabar buruk lebih banyak dari kabar baik. Terutama yang berhubungan dengan diriku seolah aku ancaman terbesar bagi kelangsungan hidupnya. Hey, memangnya aku seberbahaya itu? Kau tahu yang paling berbahaya itu mulutmu sendiri?

Aku memilih tertawa terbahak-bahak, Beberapa hal yang kudengar selalu membuatku tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata. Alangkah lucu...

Aku bersyukur pernah diajari berbagai hal itu. Mulai dari belajar diam, karakter, bahasa tubuh, dan sedikit filsafat. Hanya saja, aku luput mempelajari satu hal; cara menjadi penjilat. Sepertinya, di hari lalu, aku tidak memiliki banyak waktu untuk pelajaran itu. Karena hal-hal yang kemudian datang memaksaku untuk menjadi seseorang yang kuat.

Tapi, sekuat-kuatnya aku, toh pada akhirnya akan menangis juga. Kata seorang teman. Tapi kuat dan lemahnya seseorang tidak bisa diukur dari keluarnya air mata, bukan? Seperti halnya kesedihan yang tidak semuanya menghasilkan air mata. Atau kelucuan yang menghasilkan banyak tawa.

Perihal pekerjaan ini, tentu ada honornya. Tugasku, berkutat dengan ide lagi dan beberapa pekerjaan teknis. Itu yang dijanjikan atau perjanjian yang kubuat sebelum meminta izin rehat dari berbagai acara komunitas, sosial dan hal-hal lain yang selama ini kukerjakan dan memutuskan menerima pekerjaan ini. Tentu saja belum ada hitam di atas putih mengenai hal-hal lainnya. Aku juga tidak ingin sembarang membubuhkan tanda tangan. Seperti halnya aku memutuskan untuk tidak sesegera mungkin menandatangani hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan. Bagiku, pernikahan adalah komitmen tertinggi dari segala komitmen. Tentu, keputusan ini sama sekali tidak berhubungan dengan kesialan atau keberuntungan.

Ya, tidak semua orang dapat memahami arti komitmen itu. Aku juga masih mempelajarinya dari pekerjaan-pekerjaan yang kulakukan, dari orang-orang yang kutemui dan tempat-tempat yang sering kudatangi, termasuk dari hal-hal yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri.

Karena itu, future husband, mari pelajari hingga kita sampai pada titik dimana kita siap untuk menghabiskan sisa hidup bersama. Ahai.

Sianying, tulisan apa ini? Hahahay. Sudah, ya. Aku mau tidur. Tapi, satu hal yang mesti kau tahu, aku mensyukuri segala hal yang terjadi dalam hidupku. Termasuk, teman-teman terbaik yang meski jarang berbincang dan bertemu, tapi tetap saling memperhatikan. Mengenai mereka, sebenarnya aku berencana untuk menuliskannya di sini. Tapi, karena satu dan lain hal, termasuk alasan sinyal yang nyangkut di pohon bambu, aku belum sempat melakukannya.
  • 0 Comments



Sudah lama tidak berkabar, ya. Kali ini saya membawa kabar baik dari Kelas Pertunjukan Laboratorium Banten Girang. Isu yang diusung kali ini lumayan berat, sih. Tapi cocok dinikmati semua kalangan. Silakan simak, catat tanggal mainnya, dan buat reviewnya ya.


Prakata

Saat ini, Lab. Banten Girang sedang melakukan pembacaan ulang terhadap sebuah pulau kecil di Selat Sunda. Sebuah pulau yang namanya terambil dari nama Sang Pencipta: Sangiang—dari kata Sanghyang.
Pembacaan kami terhadap pulau Sangiang itu dilandasi ketertarikan kami pada persoalan sejarah, sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan mistik. Sebab, begitu banyak hal yang sedang terjadi di sana. Mulai dari persoalan kecil di antara sesama masyarakat, kepentingan pemerintah daerah dan pengusaha, menyangkut kebijakan nasional, hingga medan pertarungan global. Berbagai-bagai persoalan itu seperti bertumpuk-kusut dan karut-marut, yang tentu saja memerlukan perlakukan secara khusus dan berkesinambungan untuk dapat menyelesaikannya.
Pembacaan tersebut hanyalah upaya kami untuk menangkap memori kolektif warga dalam menghadapi masalahnya, dengan harapan bisa meracik-wujudkan menjadi teks dramatik dan laku metaforik di atas panggung.

Tilikan Masalah Sangiang
Menurut tilikan kami, muasal terjadinya perebutan lahan antara PT Kalimaya Putih (KP) dengan warga Sangiang adalah karena perubahan status pulau.
Menurut penuturan warga, pulau Sangiang adalah sebentuk hadiah bagi warga Lampung yang diperintahkan tinggal dan membantu pemerintahan Banten pada era kesultanan. Perintah itu datang dari pemimpin mereka, Ratu Darah Putih, yang memang memiliki hubungan baik dengan Sultan Banten. Konon, sejak saat itu, pulau Sangiang menjadi hak milik warga Banten asal Lampung, yang sebagiannya kini bermukim di kampung Lampung Sai Anyer.
Hingga masa kolonial Belanda, pulau Sangiang masih dimanfaatkan oleh warga untuk bermukim dan berladang. Namun, ketika datang masa pendudukan Jepang, pulau itu digunakan sebagai landasan pesawat model Amfibi—semacam pesawat pengintai kapal-kapal musuh yang masuk ke wilayah Selat Sunda. Pada masa Jepang inilah, warga Sangiang meninggalkan pulau dan mengungsi ke Anyer.
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, hingga berakhirnya era pemerintahan Orde Lama pada 1965, tak banyak yang tahu mengenai kondisi pulau Sangiang. Hingga kemudian, pada era Orde Baru, status pulau Sangiang menjadi milik negara dengan lebel Cagar Alam. Tak selesai sampai di situ, status Cagar Alam Pulau Sangiang kemudian malah berubah menjadi Taman Wisata Alam Laut. Pada saat alih fungsi inilah, terjadi banyak peristiwa yang membuat resah warga Pulau Sangiang. Bagi mereka, melakukan perlawanan terhadap kesewenangan perubahan status Pulau Sangiang, bukanlah sebuah solusi. Tapi, diam saja pun membikin mereka seperti sedang menjerumuskan diri ke dalam sumur sakit hati. Akhirnya, mereka hanya bisa bersikap pasrah.
Seolah menemu terang, pihak birokrat dan penguasa memanfaatkan keluguan masyarakat pulau Sangiang yang tidak melakukan perlawanan itu, untuk melalukan transaksi secara sepihak. Berbagai isu pun muncul, salah satunya adalah isu yang menyebutkan bahwa pulau Sangiang akan menjadi titik penguat pondasi bagi Jembatan Selat Sunda yang akan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Entahlah. Yang pasti, jika proyek Jembatan Selat Sunda itu benar terealisasi, warga Pulau Sangiang merupakan hambatan bagi “para mafia” megaproyek yang sekadar mengatasnamakan pembangunan nasional. Karenanya, para mafia pembangunan membutuhkan pion-pion yang mampu memanipulasi data, mengotak-atik hak atas tanah Pulau Sangiang, sampai apa yang mereka inginkan tercapai.
Lalu, bagaimana nasib warga Sangiang saat ini?
Menurut info yang kami peroleh, ada tiga warga Pulau Sangiang yang dipolisikan karena dituduh memasuki pekarangan rumah investor. Padahal, sejatinya pekarangan tersebut adalah bagian dari rumah dan kebun warga Sangiang sendiri.
Bukan hanya itu, investor Pulau Sangiang juga memanfaatkan binatang seperti babi hutan, ular kobra, dan tupai, yang ditengarai sengaja dilepas-sebarkan di Pulau Sangiang. Tujuannnya hanya satu: mengusir warga Pulau Sangiang tanpa mengotori tangan mereka sendiri.

Teks yang Dikebiri Laku Metaforik
Peristiwa Sangiang yang kami temukan dari lisan warga dan para aktivis yang mendampinginya, tampak mengandung kekesalan yang meluap-luap. Dari cara mereka menuturkan berbagai peristiwa itu, tampak bahwa selama ini pendapat mereka terdistorsi oleh sistem otoriterian dan korup, hingga luapan kekesalan mereka seolah begitu liar sebab menemukan pendengar bagi kebebasan mereka berpendapat. Teks-teks pun membuncah, memantul ke segala arah, menggapai apa saja yang ada di dekatnya, merambah apa pun dan siapa pun. Maka, kesan yang kami temukan adalah tubuh jungkir-balik, keyakinan yang lekas punah dan berubah-ubah, namun menyimpan harapan dengan menempuh berbagai cara untuk mendapatkannya.
Dari tubuh jungkir-balik dan keyakinan yang berubah-ubah itulah, kami mengebiri laku wajar manusia yang kami anggap sebagai metafora pemanggungan, yang terus kami cari-temukan lewat latihan dengan teknik tubuh mekanik, telaah wacana, mengapresiasi sikap warga, dan kritik terhadap berbagai peristiwa yang telah dan masih saja terjadi di Pulau Sangiang. [*]

Peri Sandi Huizche
Niduparas Erlang
Lab. Banten Girang
  • 0 Comments




"Kunaon ieu jadi paeh?" Gumam mamang supir angkot pada dirinya sendiri. Ia kemudian menstarter kembali angkutan umum trayek Pasar Pandeglang-Pasar Pari itu. Sementara aku tak menyiakan kesempatan memotret pemandangan Pulosari yang selalu mengandung banyak rindu itu. Tiga kali memotret dengan angle yang sama selesai bersamaan dengan mesin yang menyala lagi.

"Nuhun, ah." Gumamku entah pada siapa rasa terima kasih itu. Aku juga tidak tahu apa aku mensyukuri angkot mati pas di tempat yang negla (luas atau jelas terlihat) pemandangannya itu, atau bersyukur karena angkotnya tidak mogok tepat di kubangan jalan sementara tempat tujuan masih jauh.

Angkot berjalan pelan dan meliuk seiring mamang supir yang sibuk memilah jalan dengan lubang tak terlalu dalam. Lubang-lubang jalan yang dipenuhi air sehabis hujan semalaman itu banyak menipu pengendara, jika tidak berhati-hati dan sigap, alhasil siapapun bisa terperosok.

Bagiku, persoalan jalan di tanah lahirku ini tak pernah ada kata selesai. Siapapun Bupatinya, laki-laki atau perempuan, sama saja. Bukan hanya jalan yang kulewati ini, tapi seluruh jalan yang ada. Aku tidak ingin membicarakan soal siapa yang paling bertanggung jawab mengurus persoalan infrastruktur, baik tingkat desa, kecamatan, pun kabupaten. Toh, selama ini pengkategorian itu tidak pernah berhasil memuluskan setiap jalan di Kabupaten Pandeglang.

Persoalan regulasi kebijakan sering menjadi alasan. Belum lagi persoalan anggaran belanja daerah untuk insfratruktur yang seringnya dibilang smet (sedikit) itu. Wolu. Bosan dengarnya tuh udah mencapai tingkat lain bangsa urang. Selain itu, sebagian orang Pandeglang yang kuajak diskusi baik di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten juga banyak yang masih memiliki pola pikir yang terpusat di puncak. Pola pikir 'sakumaha ibu/bapak bae' (asal ibu/bapak senang), itu sepertinya masih sulit dienyahkan dari kepala orang-orang. Itu yang kadang membuatku molohok.

Karena itu, jika pemangku kebijakannya tidak keras menumbuk bebatuan yang dicampur aspal/adonan beton untuk dipoleskan di jalan-jalan, maka jalan semulus kulit wajah hanya menjadi mimpi saja. Apalagi buat orang-orang jero atau masyarakat yang tinggal di peloksok Pandeglang. Mereka tidak akan mengacungkan papan bertuliskan 'perbaiki infrastruktur' atau 'perbaiki jalan menuju kampung kami' di depan Pendopo Bupati. Mereka hanya berpikir menjalani kehidupan seperti biasa; pergi ke sawah/kebun dan melakukan aktivitas seperti hari-hari biasa.

Saat Pilkada, orang-orang ini yang sering terkena jebakan Batman. Janji para calon mangjabat yang datang berkunjung atau timsesnya itu, menjadi harapan tertinggi mereka. Memang, ada beberapa janji yang direalisasikan. Misal, janji perbaikan jalan dengan banyak tapi itu. Misalnya, dijanjikan jalan semulus pantat bayi, yang datang pantat bisulan (bebatuan saja) atau janji jalan mulus yang diperbaiki sepotong doang selebihnya kapan-kapan kalau ingat.

Beberapa waktu lalau ada klaim penyelesaian infrastruktur sekian ratus kilometer. Siplah alus. Tapi ingat, ketahanannya bagaimana? Jangan sampai target ketahanan 5 tahun plus pemeliharaan, tapi baru 1 tahun sudah aus. Itu bisa menimbulkan banyak pertanyaan dari para penonton. Ada vermaenan apa di antara kelien? Oh, fifty-fifty (70:30)?

Ih wow, perkara kecurigaan ini pasti banyak dan tidak hanya aku yang mencurigai ada udang di balik beton itu. Hanya saja, si aku mah curiganya imut dan lucu tanpa terigu. Sementara yang lain mungkin, na...na...na... sabaraha? Karena keimutan itu, aku sempat mengeluh pada orang-orang yang menurutku paham soal itu. Beberapa di antara mereka menyarankan untuk mencungkil beton itu sedikit saja dan mengirimkannya ke laboratorium untuk diuji kadarnya. Tentu, prosesnya tidak sampai di situ saja. Ada hal lain yang harus dilakukan, termasuk mengintip Anggaran Belanja Daerah untuk pengerjaan proyek itu. Tapi, karena aku lucu--aing mah bodo dan kadang sabodo bae--, saran itu hanya disimpan di kepala saja. Selain itu, sebagai anaknya Bang Toyib yang jarang pulang--tentu jarang mengakses jalan itu--juga menjadi pertimbangannya.

Persoalan infrastruktur ini harusnya sudah selesai sejak lama, andai bidang itu yang lebih diutamakan oleh para mangjabat sebelumnya, sebelumnya, sebelumnya, sebelumnya dan sebelumnya. Pokoknya sebelumnya weh karena setelahnya itu pasti saenggeusna (setelahnya). Untuk pernyataan masalah kesalahan manajemen pemerintahan yang baru-baru ini diangkat ke permukaan, penonton pojokan sono mah nyeletuk gindang, cyin; memang selama ini sebangsanya mangjabat itu ngapain aja? Jadi melengek.

Karena sudah tidak bisa sabodo bae atau percaya saja juga tidak baik bagi awak yang rugrag akibat banyak gejrugan di jalan. Sakitu geh uyuhan untuk persoalan infrastruktur ini sudah bukan kalimat yang pantas diucapkan di zaman now. Apalagi beberapa waktu belakangan ini, Pandeglang sedang banyak gembar-gembor soal potensi pariwisata. Ina-inu pariwisata banyak bertebaran, tapi kadang suka melupakan efek mana yang ditimbulkan. Efek samping, efek depan, efek belakang, efek atas dan efek bawahnya. Sementara insfrastruktur yang mestinya menjadi efek depan, selalu saja dikesampingkan. Jadi suka mikir, betapa kerennya bonus untuk para tamu yang berkunjung ke Pandeglang. Khas banget. Sakit badan. :D
  • 0 Comments

"Tak! Tak! Tak!"

Suara itu terdengar dari setiap beranda yang kami lewati. Para perempuan berbagai usia, duduk menghadap alat tenun. Di beberapa beranda pula, hasil tenun dipajang beserta pernak-pernik lain khas Baduy. Termasuk madu odeng dan racikan jahe merah dicampur gula yang bisa langsung seduh. Mulutku berdecak sembari terus mencoba mengingat sembilan tahun lalu di tempat serupa yang tak sama lagi itu. Betapa industri pariwisata begitu berkibar di Baduy.

Menarik diri ke belakang, setidaknya aku pernah dua kali menginjakan kaki di kampung ini. Pertama antara tahun 2005-2006 saat mengantar seorang kawan yang melakukan penelitian di sana. Kami menginap hampir seminggu di rumah yang aku tak ingat letaknya sekarang, bahkan aku tak ingat lagi keluarga yang menampung kami itu. Dulu, kami sempat nekat menyusuri hutan menuju ke kampung Gajeboh. Tapi, karena hutan begitu panjang dan terasa menakutkan bagi dua perempuan sok nekad, kami memutuskan balik kanan. 

Kedua, 2010 saat aku diajak ikut tur untuk memandu acara yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan rokok. Tempat ketiga yang menjadi tugasku itu di lapangan parkir Ciboleger. Kru dan pengisi acara memutuskan beristirahat di salah satu rumah penduduk di Kadu Ketug. Aku tak ingat menginap di rumah siapa, hanya saja aku ingat ia memiliki anak gadis yang kutemani memasak ayam goreng untuk kru. Kalau tak salah, namanya Itoh. Dia gadis yang manis dan pemalu. Setiap pertanyaanku selalu dia jawab tak tahu. Bahkan ketika kutanyakan soal tenun itu.

Ah, mungkin Itoh kini sudah bisa menjawab pertanyaanku. Tapi, di mana Itoh tinggal? Ia pasti sudah berkeluarga dan beranak pinak di salah satu perkampungan orang Baduy. Jika berjodoh, aku pastikan kami bertemu lagi.

Kali ini, aku datang bersama rombongan Ngopi Outdoor Padepokan Kupi. Kepergian tanpa rencana ini terjadi akibat salah seorang kawan penari, Putri Wartawati, yang membawa cengcemannya dari Swiss itu mengatakan ingin berkunjung ke Baduy tapi tidak tahu jalan. Dasarnya tukang bolak-balik Baduy untuk ngopi saja, owner Padepokan Kupi langsung menanggapi serius. Begitu pula para anggota Ngopi Outdoornya yang sangat militan itu. Ditambah lagi ini musim durian. Alhasil, orang yang doyan ngopi sekaligus rebutan durian, langsung maju untuk ikut berburu di Baduy.

Rumah pertama yang kami datangi pertama kali di Baduy, tentu rumah Jaro. Pupuhu super sibuk ini seolah tahu kami akan datang, meskipun kami tidak mengirimkan pesan kedatangan. Duduk di rumah Pak Jaro, aku memilih mendekati gadis cilik yang asyik memperdengarkan suara 'tak-tak-tak' di sisi beranda yang hampir tersembunyi di balik kain tenun yang dipajang. Ia sedang membuat tenun putih yang tidak terlalu banyak motif. Kebiasaan lupaku kambuh saat itu, aku lebih fokus bertanya mengenai kain yang dibuatnya dibanding bertanya nama. Ah, sialnya. Meski memang, aku hanya sebentar mengajaknya ngobrol karena kemudian aku bergabung dengan kawan-kawan untuk bertemu Pak Jaro.

Baru saja duduk, seorang lelaki di beranda rumah itu mengatakan ada gempa. Padahal aku tidak merasa. Entah gempanya terlalu kecil, atau aku sedang memikirkan kasur karena kepergianku tidak diawali dengan tidur. Kawan-kawan yang lain pun banyak yang tidak merasa. Tapi dari informasi BMKG di media sosial, akhirnya kami tahu kebenaran soal gempa siang itu.

Seusai ngobrol, kami pamit untuk meneruskan perjalanan ke Kampung Gajeboh. Tentu saja kami tidak ingat untuk berpose terlebih dahulu bersama Pak Jaro. Alhasil, ketika kami mampir di rumah kenalan yang letaknya tak jauh dari rumah Pak Jaro, kami memutar balik hanya untuk berpose. Aih! Traveler banyak lupa seperti ini, gaes. Maklum saja ya. Mengenai berpose ini, sebelumnya kami juga berpose di patung Ciboleger. Tumben sekali dan hampir semua orang dalam rombongan mengatakan baru pertama kali berpose di sana, meski ada yang sudah beberapa kali bolak-balik Baduy.

Seusai pamit (lagi) pada Pak Jaro, kami meneruskan perjalanan menuju Kampung Gajeboh. Kami berpapasan dengan anak-anak setinggi sapu yang memikul durian begitu banyak. Pikulan yang diteriaki ampun oleh mamang bertubuh tinggi besar yang doyan bermain basket dan berkecimpung di berbagai ladang pertanian, Om Opik. Sedangkan mereka memikul beban seberat itu dari kampung yang entah di mana hingga ke Ciboleger ini. Om Opik kalah telak. Haha.

Jalan setapak kami lewati, kebun dan ladang menjadi pemandangan lainnya. Tentu, nun jauh di sana perbukitan yang hijau di antara awan yang lucu membuat lelah tidak begitu bermasalah. Tidak hanya itu, tamu yang kelelahan juga sudah disiapkan tempat duduk untuk beristirah di beberapa tempat. Keberadaan Toby di dalam rombongan ini, tentu menarik perhatian orang-orang yang sedang beristirah. Beberapa dari mereka diam-diam menghadapkan kamera ponsel padanya dan Toby pun mulai pundung. Sepanjang perjalanan setelah istirah itu, ia terus ngedumel. Aku paham sekali kenapa ia begitu. Pandangan dan perlakuan berbeda dari orang-orang membuat siapapun pasti tidak nyaman. Beberapa dari kami juga agaknya tidak nyaman menjelaskan alasan perlakuan itu. Tapi, suasana tidak nyaman itu sedikit demi sedikit teralihkan dengan banyaknya candaan di sepanjang perjalanan.

Hutan dan ladang, turunan panjang, kami lewati hingga perkampungan lainnya tampak di depan mata. Suara Tak-tak-tak terdengar dari tiap beranda rumah di sana. Semula, aku ingin mampir. Tapi karena rombongan tergesa ingin segera sampai kampung tujuan, niat itu kuurungkan. Nggak lucu juga kalau sengaja meninggalkan diri. Mesipun tetap saja tertinggal karena kaki mulai terasa pegal.

Kampung Gajeboh sudah kami injak. Rumah singgah dari kenalan mamang kopi pun sudah membuka pintu dan menyuguhkan air minum. Istirahat menjadi satu-satunya yang kami inginkan. Kami mengeringkan keringat sembari terus mengobrol. Sungai di samping rumah mengundang siapapun untuk mendinginkan badan setelah berkeringat. Tapi niat untuk mandi mesti ditunda, sebab ada ritual wajib yang harus dijalani terlebih dahulu oleh para traveler; foto-foto. Jembatan menjadi tempat favorit berpose banyak orang. Lihat saja di aplikasi foto, pasti banyak pose di jembatan itu. Selain itu, leuit yang berada di seberang sungai juga menjadi latar lainnya yang sepertinya wajib untuk diabadikan. Termasuk, berpose bersama aki yang bermain suling itu. Aki yang selalu mengaku berusia 100 tahun kurang satu itu sangat baik. Beberapa dari kami menyempatkan diri mengobrol dengannya. Selain perihal usia, aku tak tahu lagi apa yang sedang mereka obrolkan karena tentu saja aku pun tidak mau ketinggalan berselfie ria. Ngehek sekali, bukan?

Kenapa aku sebut ngehek? Karena akibat ini aku lupa memperhatikan hal-hal di sekitar. Aku lupa pada leuit, pada pepohonan, pada rumput, pada batu, pun lupa menyapa dan mengobrol dengan para perempuan yang kulihat ada yang sedang menenun di beranda rumahnya. Ini tentu kesalahanku sepenuhnya. Sebab di saat yang sama, aji mumpung di kepalaku sedang melakukan fungsinya. Mumpung ke sini, kenapa nggak berpose bersama seperti itu. Lain waktu mungkin aku bersama yang lain, atau mungkin sendirian berkunjung ke kampung baduy luar ini.

Bicara soal waktu, kami menutup aktivitas di sekitar jembatan ini setelah Destian mengeluarkan drone dan kami berpose bersama. Setelahnya, aku memilih balik ke rumah tempat kami beristirah. Aku memilih tidur, sementara yang lain bersiap mandi di sungai. Sebelum tidur, aku masih mendengar suara Mang Aliyth meminta dibuatkan mie instan ke Teh Sani, tuan rumah tempat kami beristirah.
  • 0 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top