utherakalimaya.com

  • Home
  • Features
  • _ARTIKEL
  • _CATATAN
  • _UNDANGAN
  • DOKUMENTASI
  • contact



Judul : 4 Musim Cinta
Penulis : Mandewi, Gafur, Puguh, Pringadi
Penerbit : Exchange
Tahun Terbit : Maret 2015
Genre: Novel
Jumlah Halaman : 332 halaman
Biem.co, 15 Agustus 2015

Jika mbok jamu berhasil meracik berbagai rempah untuk membuat tubuhmu bugar, maka bagaimana dengan novel yang ditulis oleh empat orang?
        Empat birokrat muda yang bekerja di Perbendaharaan Negara yang bernaung di bawah Departemen Keuangan RI, Mandewi, Gafir, Puguh, dan Pringadi, menawarkan sensasi minuman yang berbeda dalam novel keroyokan mereka yang tertajuk 4 Musim Cinta.
       Dengan latar yang beragam hasil dari pengalaman nyata pengarangnya saat bertugas di berbagai daerah di Nusantara, 4 Musim Cinta akan membawamu pada dua pola segitiga cinta dengan alur campuran (maju-mundur) dan fragmen berdasarkan sudut pandang keempat tokohnya: Gayatri, Gafur, Arga, dan Pringadi. Tapi, jangan pesimis dulu, sebab fragmen-fragmen itu barangkali hanya petunjuk arah bagi pembaca; kau sedang berada di kepala siapa?

Segitiga Cinta Gayatri dan Pring

Gayatri; seorang perempuan cantik asal Bali. Sosok Gayatri yang digambarkan Pring, memiliki potongan rambut yang mirip Go Eun-chan dalam drama Korea Coffee Prince yang diperankan Yoon Eun-hye. Sama-sama berlesung pipit, hanya berbeda warna kulit. Eun-chan berkulit putih, Gayatri berkulit sawo matang. Tingginya sekitar 160 cm, bermata cerah yang menyiratkan ketulusan dan kematangan berpikir (hal. 16).
      Dalam percintaan, Gayatri pernah gagal menyatukan dua adat Bali dan Aceh. Adat yang tidak bisa diganggu-gugat oleh para pecinta sekalipun itu, membuat Gayatri patah hati. Kini, kekasihnya itu, Adam, telah menikah dengan perempuan lain (hal. 55). Kisah percintaannya yang terdahulu ini diceritakan pula pada Pring (hal. 106-107).
        Sementara, Pring, seorang lelaki asal Palembang yang memiliki daya pikat yang tinggi. Setidaknya itulah yang ditangkap Gayatri. Sedangkan menurut Arga, Pring adalah manusia misterius kedua setelah Gayatri (hal. 41). Kedekatan Gayatri dengan Pring tampak sejak awal pertemuan mereka di Diklat (Pendidikan dan Latihan), meski sebelumnya, keduanya sempat berinteraksi di media sosial (hal. 114-115). Kebiasaan Pring yang memosting puisi, cerpen, dan tulisan lainnya itu, membuat dada Gayatri berdebar-debar (hal. 117).
      Meski pada awalnya, saat ditanya Arga, Pring seolah menyangkal dengan memperlihatkan cincin kawinnya (hal. 23). Tapi, Gafur sangat menyadarinya jika saat Diklat itu, Pring sedang mempertaruhkan kemapanan cintanya. Menurut Gafur, saat itu Gayatri adalah tokoh utama di pertunjukan sirkus yang ditonton Pring (hal. 81).
      Bagi Pring, keputusannya menikahi Indah sudah tepat, meskipun semakin banyak pertengkaran di antara mereka (hal.19). Apalagi kemudian jarak Sumbawa dan Bandung memisahkan mereka. Istrinya sedang menempuh S-2 di Bandung. Awalnya, Pring menentangnya, karena tidak ingin menjadi bujangan lokal dan itulah pertengkaran hebat pertama mereka (hal.29-32). Pertemuannya dengan Gayatri, interaksi mereka selanjutnya, membuat Pring perang batin. Satu sisi ia telah beristeri, di sisi lain ia menyukai Gayatri (hal. 140). Sementara istri Pring merupakan tipe istri yang memilih percaya pada suaminya.
      Perihal status Pring yang telah beristri, tampaknya tidak diketahui Gayatri. Hingga kemudian, pada Diklat Bendahara Pengeluaran (hal. 229). Tapi, perasaan belum usai sampai di informasi terbaru itu. Gayatri dan Pring masih berinteraksi seperti sediakala, bahkan intensitasnya meninggi di Diklat itu.

Segitiga Cinta Gafur dan Arga 

Gafur, lelaki Makassar penerima beasiswa organisasi. Arga menilai Gafur ini lebih cerdas dari Gayatri, IPK-nya selalu tertinggi di angkatannya. Tapi, ia bertampang bodoh dan itulah yang selalu membuat Arga tertawa (hal. 42). Arga sendiri merupakan lelaki asal Purwokerto yang jarang bersikap serius, ceria. Ia diperbantukan sementara di kantor pusat setelah lulus sarjana beasiswanya.
       Kesepian yang dirasakan Gafur di tempat tugas barunya, kesedihan yang muncul tanpa dinyana, membuat Gafur mengingat kekasihnya, Dira, yang menurutnya selalu merasa sedih bila mendengar lagu Russian Roulette-nya Rihanna, dan memiliki pemikiran berbeda perihal pernikahan, di saat semua perempuan memimpikan dipinang lelaki tampan—ia justru menanyakan eksistensi lembaga pernikahan. Kenapa sih, setiap orang harus menikah? (hal. 92). Keberadaannya di tempat asing, membuatnya menggugat takdir (hal. 83), kenangan perpisahannya dengan Dira, membuatnya menangis di malam pertamanya itu (hal. 72).
      Selain rutinitas di  kantor baru, perkenalannya dengan kota kecil itu, isi kepala Gafur terus mengenang Dira. Dira yang membuatnya sangat tergila-gila. Padahal, Dira bukan perempuan tercantik yang dipacari Gafur, bukan perempuan satu-satunya yang pernah menyerahkan semua yang dimilikinya, bukan perempuan paling cerdas, Dira gadis biasa, seorang barista berambut sebahu, berkulit cokelat—teman baik Gayatri—yang selalu menampakkan senyuman dalam suasana apa pun. Menurut Gayatri, Dira tergolong orang yang selalu blak-blakan (hal.52).
      Lain halnya dengan Gafur, Arga tidak banyak tahu mengenai Dira. Arga hanya tahu Dira itu gadis yang memiliki senyum memesona, barista teman hore-hore Gayatri. Meskipun begitu, diam-diam Arga menyukainya dan berniat akan melamarnya. Tapi, belum tuntas rencana-rencana itu. Arga harus menelan pil pahit saat mengetahui Dira merupakan perempuan yang ingin dikenalkan Gafur, saat ia berkunjung ke Kendari (hal. 297-298). Hingga akhirnya, Gafur menilai bahwa hidup adalah perkara mengatasi kekecewaan (hal. 304). Entah dimaksudkan untuk Arga, atau untuk dirinya juga.

Segitiga Cinta di 4 Musim Cinta

         Kedua segitiga cinta yang menjadi permasalahan keempat sahabat itu, barangkali hanya berbeda sisi dan kakinya saja. Gayatri dengan Pring dan Indah (istri Pring), Gafur dengan Arga dan Dira, membuat saya merenung lebih lama dari jadwal yang telah ditentukan. Kedua segitiga itu tentu saja tidak selalu positif, tapi ada negatifnya juga. Segitiga Gayatri, Pring, dan istri Pring, mengingatkan pada cinta lain di luar cincin kawin, kesetiaan, dan kepercayaan. Meskipun saya agak gagal konsentrasi dengan tema perselingkuhan macam ini, tapi satu hal yang masih bisa saya tangkap dari pesan Pring adalah kepercayaan istri dan ingatan pada cara mereka jatuh cinta sebelum akhirnya menikah, dan keputusan. Keputusan itu bukan berasal dari istri, tapi dari suami itu sendiri. Sebab, menurut Pring (hal. 314); “Jatuh cinta dan mencintai adalah dua hal yang berbeda. Sebagai lelaki kita bisa jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama atau orang yang berbeda. Tapi, mencintai adalah keputusan. Sekali kita sudah memutuskan mencintai, maka mencintailah selamanya. Nikmati prosesnya. Pahit ataupun manis.”
         Barangkali, itulah kendali paling akhir yang bisa dikemudikan suami yang sedang jatuh cinta pada perempuan di luar istri sendiri.
       Lalu, bagaimana dengan Gayatri? Ketangguhan Gayatri diuji pada saat melihat taksi yang membawa Pring menjauh. Ketangguhan yang seolah-olah, jika saya lihat. Sebab, jauh di lubuk hatinya--barangkali ini terjadi pada setiap perempuan, Gayatri terguncang dan merasa tidak percaya diri mencintai siapa pun lagi.
        Segitiga cinta Gafur, Arga dan Dira, itu terasa sangat nyata. Khususnya pada kisah Gafur dan Dira. Walaupun Arga tidak ada, saya rasa, kisah percintaan Gafur dan Dira sudah sangat kuat. Ah, bukan bermaksud tidak mementingkan keberadaan Arga. Sama sekali bukan. Barangkali, saya terhanyut oleh kisah Gafur dan ingatannya tentang Dira. Cinta Gafur yang begitu besar, mengingatkan saya pada cinta Ji Eun-ho/Park Hyun-soo  yang diperankan Joo Jin-mo dalam drama Korea My Love Eun Dong. Selain itu, realitas yang disuguhkan Gafur—meskipun sedikit vulgar, tapi terasa lebih nyata dibanding kisah lainnya. Maksud saya, dalam hal ‘apa yang dilakukan setiap lelaki lajang pada senjatanya’. Alami saja rasanya membaca cerita Gafur ini. Meskipun dalam penceritaan Gafur juga ada bagian yang tidak konsisten perihal latar; melompati latar café ke kostan Dira di saat yang sama tentu bukan sesuatu yang baik.
        Dira, meskipun hanya tokoh pendukung, dalam penceritaan Gafur itu benar-benar menjelma seperti itulah Dira. Seseorang yang berpendidikan tidak tinggi, tapi memiliki prinsip yang dipegang teguhnya. Pemikiran Dira, saya pikir, melampaui pemikiran perempuan-perempuan yang cuma mengaku feminis. Entahlah. Sedangkan dalam penceritaan Arga, Dira tidak lebih dari pin yang menempel di dasi. Kisahan Arga yang pendek dan tidak mendetail, membuat saya berpikir bahwa tokoh Arga hanyalah numpang eksis. Tidak utuh sebagai Arga yang bisa saya bayangkan layaknya manusia normal. Tapi, demi terwujudnya pola segitiga cinta dalam tulisan saya ini, tokoh Arga bisa saya katakan lumayan penting.
       Terlepas dari semua penilaian saya itu, meresapi kegairahan bekerja, persahabatan, cinta, kesetiaan, menerka rahasia-rahasia, dialog intensnya yang cerdas dan menggelitik, karakter-karakter tokohnya—tidak hanya tokoh utama, tapi tokoh pendukungnya—yang kuat, dan pemikiran filosofis para tokohnya, serta kenyataan bahwa ada 4 koki (pengarang) yang meramu novel 4 Musim Cinta, saya pikir, alasan itu cukup untuk membuat saya berdiri dan bertepuk tangan untuk sajian mereka ini. [*]

Review ditulis oleh Uthera Kalimaya, perempuan kelahiran Pandeglang yang tukang minum ngopi hitam.
  • 0 Comments

Untuk Bertemu Lagi

tidak, tidak akan bertemu lagi?
di malam yang dipenuhi bintang bergetar
atau di cerahnya fajar perawan
atau sore pengorbanan?

atau di tepi jalan pucat
yang mengelilingi lahan pertanian
atau di tepi air mancur yang gemetar
memutih oleh kilauan purnama?

atau di bawah hutan
lebat seumpama rambut terurai
saat memanggil namanya
aku dikejar malam?
tidak di dalam goa
yang menggemakan
suara tangisanku?

oh tidak. untuk bertemu lagi
tidak peduli di mana
di surga air mati
atau dalam pusaran mendidih
di bawah purnama yang tenang
atau di ketakutan berdarah!

untuk bersamanya
setiap musim semi dan musim dingin
disatukan simpul kesedihan
di leher berdarah!

Yang Bersinar

sia-sia kau mencoba
meredam laguku
sejuta anak menyanyikannya
dalam paduan suara
di bawah matahari!

sia-sia kau mencoba
pecahkan syair
kemalanganku:
anak-anak itu menyanyikannya
di bawah Tuhan!
 

Gabriela Mistral (1889-1957) lahir di Vicuna, Chili, pemenang Nobel kesusastraan 1945, atas karangannya Desolation (diterjemahkan ke bahasa Prancis oleh beberapa penyair Prancis terkemuka). Gabriela leluasa penuh gairah menyanyikan perasaannya dalam bahasa Spanyol. Berperan penting pada sistem pendidikan di Meksiko serta Chili, aktif di komite kebudayaan League of Nations (Liga Bangsa-Bangsa), menjadi konsul Chili di Nepal, Madrid, Lisbon. Bergelar kehormatan dari Universitas Florence dan Guantemala, anggota kehormatan di berbagai perkumpulan budaya di Chili, Amerika Serikat, Spanyol juga Kuba. Mengajar sastra Spanyol di Universitas College, Vassar College pula Universitas Puerto Rico. Puisi cintanya mengenang yang telah meninggal, Sonetos de la muerte (1914) membuatnya terkenal ke seluruh Amerika Latin. Desolation (Keputus-asaan) tidak terbit sampai 1922. Tahun 1924 muncul Ternura (Kemesraan) didominasi masa kanak yang berkaitan kelahiran, memainkan peran penting akan Tala (1938). Kumpulan lengkap puisinya diterbitkan tahun 1958.
  • 0 Comments



Hai,

Seusai menonton pentas monolog "Trik"-nya Putu Wijaya yang disuguhkan sangat menarik oleh kawan Kafe Ide, seorang kawan menyodorkan sebuah plastik hitam padaku. Aku kira, awalnya makanan. Sebab jujur saja, aku sedang lapar saat itu. Aku sudah merengek pada sahabatku, agar ia datang dengan roti di tangannya. Tapi, sesuatu di perutnya sedang berusaha untuk keluar. Sehingga ia memutuskan untuk tidak datang. Saat melihat isi plastik itu, mataku langsung terbeliak. Kamu di sana. Lebih besar dari Neruda dan lebih subur. Aku senang, tapi terkejut--tidak menyangka dihadiahi kamu. Dan aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, selain mengucapkan sebanyak-banyaknya terima kasih pada kawanku yang sepertinya sedang terburu-buru itu.
           Lalu, kuucapkan ''halo' padamu.
          Nama? Ya, nama. Aku langsung memikirkan nama apa yang cocok untukmu--sepertinya kamu betina?
        Akhirnya, kupilih. Mistral.
     Benar, aku mencukilnya dari Gabriela Mistral, seorang penyair yang lebih dulu eksis di dunia kepenyairan, sebelum Neruda. Mereka berdua sama-sama penyair berpengaruh di Chili, dan sama-sama pernah meraih Nobel; Mistral memenangkannya pada tahun 1945. Neruda pada tahun 1971. Meski konon, saat Neruda masih muda, jalan mereka berseberangan. Tapi, mereka terbukti berhasil membuat Chili dikenal sebagai kota penyair.
        Maka, mulai 11 Agustus 2015 pukul 20:55, kupanggil kamu Mistral. 
       Sebagai perayaan atas nama barumu, pagi ini aku putarkan Fuerteventura-nya Russian Red, dan Zsa Zsa Zsu-nya RNRM yang dinyanyikan Katjie & Piering. Kamu suka? Neruda sepertinya suka. 
        "Untuk menemani Neruda," kata kawan yang baik itu. Sehingga, aku juga berharap, kamu bisa rukun dengan Neruda. Meskipun, rumah kalian saat ini tidak seberapa besar, tapi suatu hari nanti aku akan mencarikan rumah baru yang lebih baik.
       Hanya saja, kamu mesti sabar. Itu pula yang aku katakan pada Pablo dan Neruda, saat mereka baru menghuni toples kecil itu. Bersabar dengan kesabaran yang seutuhnya. Tanpa pikiran-pikiran buruk yang bisa membuatmu stres. Jika pikiran-pikiran buruk itu datang, segeralah usir. Atau berilah tanda bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja. Misalnya dengan gelembung? 
      Tapi, tolong jangan mengatakan atau memberi tanda 'aku baik-baik saja', ketika aku tahu ada yang tidak beres denganmu. Sebab, perempuan di dunia manusia terlalu sering mengelabui diri sendiri dan orang yang menanyakan keadaannya dengan kalimat itu. Barangkali, berawal dari kalimat itu pula, lelaki di dunia manusia sering mengatakan bahwa perempuan itu rumit.
        Termasuk aku? Mungkin, jika dinilai dari kaca mata manusia yang lain. Tapi, Mistral, aku bisa seterbuka saat menulis buku harian, jika kamu bisa berjanji padaku untuk tidak mati. Tidak meninggalkanku bersama rasa bersalah dan tebakan-tebakanku sendiri perihal alasan kematianmu. Nah, itu salah satu penyakit pikiran yang belum bisa aku hindari. 
       Jadi, mari kita berkarib dahulu, Mistral. Saling mencari pemahaman atas diri masing-masing kita. Kamu bisa melihat cara tidurku, aku akan melihat cara tidurmu. Meski aku tidak mengerti cara tidur kaum kamu. Tapi, aku yakin matamu yang tanpa kelopak itu juga mengenal kata tidur. Hanya saja, kamu harus tetap waspada pada pemangsa, sehingga kamu seolah tidak tidur.
       Akhirnya, Mistral, kuucapkan selamat datang padamu. Mari saling berbuat baik, meski sekecil apapun. Misalnya, tidak membuat masing-masing kita bingung dan bertanya-tanya sendiri. Barangkali saja, dengan tidak membuat orang lain bingung dan bertanya-tanya sendiri juga merupakan sebuah pahala besar. Tapi, mungkin aku akan terkaget-kaget bila suatu saat kamu menjawab pertanyaanku. Jadi, berilah tanda saja bahwa kamu sedang mendengarkan dan memperhatikan. Biar saja kaumku mengataiku gila saat melihatku berbicara padamu. Kaumku memang lebih sering mengejek, dibanding memikirkan hal-hal positif untuk dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin, mereka tidak pernah berbicara dengan diri sendiri? Entahlah. Aku tidak mau berburuk sangka lebih jauh. Itu juga penyakit pikiran.

        Sekali lagi, selamat datang, Mistral. Selamat tidur.


Dari nonamu yang baru,

Uthera Kalimaya


Keterangan Foto: 
- Foto diambil oleh Dwi Permadi; lelaki dengan rambut empuk untuk diuwel-uwel.
- Topi punya doi dan nggak boleh diculik.
- Kemeja, punya bapa yang dibolehkan aku culik. :-D
  • 0 Comments




Setelah pada 2013 lalu, saya dan Fajarwati PD tertinggal menonton Ki Wasyid, tahun ini barangkali saya akan datang lebih awal. Saking awalnya, mulai dari tulisan ini saya posting, sampai 22 & 26 September 2015, jadwal film itu diputar, saya akan mengadakan Sayembara Nonton Bersama Saya. Dengan syarat, bayar karcis sendiri--lebih bagus lagi kalau mau membelikan saya karcis juga. Heuheu.
      Dari prolognya aja udah bikin malas baca, kan? Sebentar, poin pentingnya belum saya tulis.
     Jadi begini (dengan tangan memeta seperti Niduparas Erlang saat berbicara), sewaktu jadwal diskusi bersama Bang Rano perihal Dewan Kesenian Banten, trailer film ini diperkenalkan pada hadirin. "Settingnya kok keren. Itu di mana, ya?" Cuma itu yang ada di kepala saya saat kamera menampakan pemandangan yang aduhai. Sudut pengambilan gambarnya kece, menurut mata saya, lho. Entah menurut Bang Rano.
      Penasaran? Sabar, cin. Baca dulu sinopsisnya yang saya cukil dari website Kremov:
Tersebutlah Sakti (Anton Chandra), ia terbukti curang dalam sayembara memperebutkan Nyimas Ayu (Fauziyyah Angela) putri dari Abah Sugidiraja (Cak Purwo Rubiono) sang pemimpin Kadusunan Kidul. Sakti membunuh seluruh Jawara dari luar Kadusunan agar dirinya tak tertandingi dan dapat menikahi Nyimas Ayu.
Tak ada satupun Jawara yang datang dalam Sayembara, tetapi masih ada pemuda yang akan melawan Sakti yakni Prabu (Tubagus Dian kurniawan) yang juga mencintai Nyimas Ayu. Sakti dan Prabu adalah kakak beradik yang terkenal sebagai Jawara dari dalam Kadusunan Kidul, seharusnya mereka tidak berhak memperebutkan Nyi Mas Ayu melalui sayembara, karena Sayembara tersebut sebenarnya ditujukan untuk Jawara dari Kadusunan luar.
Demi rakyat yang menginginkan sayembara tetap berjalan, Abah memutuskan agar Sakti dan Prabu bertarung, Namun di akhir sayembara keputusan Abah berubah menjadi sebuah hukuman untuk Sakti karena kecurangannya. Hukuman tersebut membuat Sakti dendam kepada Abah sehingga Nyimas Ayu menjadi sasaran balas dendam melalui Ilmu hitam, tanpa disadari dendam tersebut berujung malapetaka.
 Nah, ini trailernya:



Keren, kan? Eh, udah pada mau tiketnya, dong? Oke, silakan serbu tempat-tempat ini sebelum 20 September 2015. Tiketnya terbatas, lho!

1. Mandiri FM Cilegon (Gedung Plaza Mandiri)
2. Sam Radio Cilegon (PCI Cilegon)
3. Studio Kremov Pictures (Gedung Cilegon Damai)
4. Untirtamart (Kampus Untirta Pakupatan Serang)
5. Serang FM (Higland Park Kota Serang Baru)
6. Harmony FM (Legok Serang)
7. X-Channel Cafe (Ciracas Serang)
8. Paranti FM (Pandeglang)
Atau bertemu langsung dengan timnya--janjian ngopi, makan, atau apalah-apalah gitu:
LIA : 087773170677
HABIBIE : 087871643381
UMU : 087772737719
FB : Kremov Pictures
Twitter : @KREMOVPICTURES
Email : kremovpictures@yahoo.com
Website : www.kremovpictures.com

Nah, bagi saya ini yang lebih penting. Jadwal tayangnya:

Selasa, 22 September 2015 (HTM. 30.000)
Section 1 – Start 08.30 WIB (special premiere time)
Section 2 – Start 11.15 WIB
Sabtu, 26 September 2015 (HTM. 35.000)
Section 3 – Start 08.45 WIB
Section 4 – Start 10.05 WIB
Section 5 – Start 11.15 WIB

Bagaimana? Mau ikut Sayembara Nonton Bersama Saya? Tenang, saya mah bukan siapa-siapa, jadi tidak perlu sungkan meminta saya duduk di sebelahmu. Heuheu
  • 0 Comments




[Adegan 10]

Tepi pantai dan warung makan telah jauh di belakang. Barangkali, perjalanan masih sangat panjang. Pesawahan ke pesawahan, perkampungan ke perkampungan,  pekuburan ke pekuburan, dilewati telapak kaki yang berdarah lagi. Aku tidak mengerti, kenapa harus berlari, jika berjalan kaki saja dapat mencapai tujuan. Tapi, anehnya, entah sejak kapan aku mulai terbiasa mengatur nafasku sendiri. Aku bahkan mulai merasa nyaman dengan berlari bersisian seperti saat ini.
     Di depan sana, tampak dua jalan yang menyerupai huruf Y jika kulihat dari posisi saat ini. Papan penunjuk arah masih sangat jauh untuk dibaca. Semakin dekat, masih tak bisa dibaca. Tulisan di papan kayu dengan cat putih itu bukan tulisan yang pernah kulihat dalam daftar bahasa di dunia. Salah satu dari sandi pramuka barangkali? Mendadak aku merasa bersalah karena tidak menamatkan ujian Penegak Bintara.
       "Apa kau bisa membaca tulisan di papan itu?"
       "Kau pun bisa membacanya, non."
       "Bagaimana bisa? Mataku bahkan hanya melihat simbol-simbol saja.
        "Bisa, jika kau mau membacanya."
        "Itu bukan morse. Atau sandi rumput."
        "Jika kau hanya terpaku pada bahasa yang kau kenal, perjalanan ini akan sia-sia. Kau harus belajar membaca bahasa-bahasa yang tak bisa kau baca. Bahkan bahasa yang tak tampak di mata."
       "Tumben kau bicara begitu panjang?"
       "Bacalah."
        "Aku tak bisa. Tak ada kalimat apapun di kepalaku."
        "Masa? Coba lagi."
        "Sungguh. Aku tak bisa. Aku malah berpikir tentang tempat tidur yang nyaman, kamar mandi, dan pakaian ganti. Tidakkah kau mencium bau aneh dari tubuh kita?"
         "Tak bisakah kau berhenti memikirkan hal yang kau butuhkan? Kau sedang bersama seorang lelaki di sini. Kau tidak curiga padaku?"
         "Hey! Kita sedang membahas tulisan itu. Kenapa menyambung ke 'kecurigaan'?"
          "Karena kau akan tahu sebentar lagi."
          "Apa? Apa?"
          "Diam dan ikuti aku."
          "Itu yang kulakukan seharian ini. Kau lupa?"
          "Apa  perlu lakban untuk menutup mulutmu?"
          "Baik, baik. Aku diam. Beritahu aku jika sudah boleh bicara."

[Adegan 11]


Mute City. Kunamai kota ini. Serba bisu, serba gagu, kaku. Tak ada orang-orang bercakap-cakap meskipun saling berhadapan. Tak ada gerakan tangan, atau tubuh yang menyiratkan percakapan. Senyum adalah satu-satunya bahasa yang aku mengerti. Hal itu mereka lakukan sebelum melangkah pergi. Mereka tersenyum, pergi. Tersenyum, pergi.
Aneh.
Senyuman menjadi salam perpisahan, salam kedatangan.
Tak ada polisi, atau kendaraan. Semua jalan hanya berisi orang-orang yang bergegas. Entah hendak ke mana, atau melakukan apa. Tanganku terasa digenggam. Aku meliriknya, tapi kemudian hentakan membuat luka di telapak kakiku bergesekan dengan aspal. Pedih.
* 
[Adegan 12]

Pintu kaca berputar. Di lobi, seorang perempuan yang tersenyum menyambut dan seorang lelaki berpakaian seperti satpam yang mengangguk. Pintu lift di sebelah kanan baru saja tertutup. Kau tak mengajak ke sana.  Tanganmu menarikku ke lorong di sebelah kiri. Anak tangga kulihat seperti ular yang teramat panjang.  Kakiku mendadak kram. Aku harus menaiki anak tangga itu setelah berlari seharian? Demi Dewa Anak Tangga--jika ada, aku tak sanggup.

 "Bisakah kita menggunakan lift saja?" Tanyaku agak ragu.
 "Tidak bisa. Lift itu bukan milik tempat yang kita tuju."
 "Bagaimana bisa? Apa ini studio film sci-fi, atau semacamnya?"
 "Pssttt. Kau melanggar janjimu untuk diam saja."
 "Ooh."
 "Pssttt."
 "Oke, aku diam."
 "Psssttt."
 Mataku melirik tak suka. Ini perpustakaan atau semacamnya?
*
 [Adegan 13]

Jika ini film komedi, aku akan tertawa terbahak-bahak meskipun tidak lucu.
Setelah mendaki anak tangga sialan itu, karena membuatku sangat lelah dan rasanya tak pernah mencapai puncak, kini di hadapanku berdiri rumah bercat putih dengan jendela-jendela tinggi. Sekilas, tampak seperti rumah Barbie. Hanya berbeda cat saja. Aku tidak mengerti kenapa di gedung setinggi ini, ada rumah itu? Tapi tunggu dulu. Benarkah ini di gedung tinggi yang tangganya tadi kami naiki? Kenapa letak rumah ini ada di pinggir hutan?
"Ini rumah siapa?"
"Kau melanggar janjimu lagi."
"Oke, oke. Aku akan diam sampai kau bertanya. Puas?" Mataku mendelik padanya. "Orang macam apa yang menyuruh orang lain tidak bicara?" Gerutuku sembari memalingkan wajah.
"Pssstt."
 "Sialan."
"Psstt"

[Bersambung]


  • 0 Comments


Dear, Pablo.

Kita baru beberapa jam bersama. Semalam, aku menemukanmu sedang diganggu bocah-bocah dengan jaring dan ember kecilnya. Seorang lelaki yang tangannya terus menurun-naikkan komidi putar itu menyilakanku memilih dua di antara puluhan kaummu di bak kecil itu. Awalnya, aku tidak memilihmu. Tapi, melihatmu berlari lincah menghindari jaring di tangan bocah-bocah itu, aku seperti melihat diriku sendiri. Maka, aku memilihmu.
       Tapi, kau memutuskan mati seusai aku memberimu nama; Pablo. Maaf, jika kau tidak suka pada nama itu. Tapi, itulah satu-satunya nama yang ada di kepalaku. Selain karena aku sedang membaca soneta penyair Chile, Pablo Neruda, juga karena aku berharap kamu bisa menemaniku belajar menulis puisi yang baik--jika puisi bisa dikategorikan baik dan buruk. Benar, namamu aku cukil darinya. Bukan tidak ingin aku memberimu nama yang lebih Indonesia; Soekarno, atau pahlawan-pahlawan yang patungnya tidak jauh dari tempat kau dijual-belikan. Tapi, toh, nasionalisme tidak bisa ditentukan pada nama. Seperti kau juga tidak bisa mengatakan seseorang dengan nama nabi itu akan bertingkah laku seperti nabi pula. Hanya si pemberi nama berharap demikian.
          Tapi, kau tetap memutuskan mati. Meninggalkan Neruda, kawanmu. Padahal, aku sudah menyiapkan berbagai hal yang bisa kau lakukan. Seperti, menemaniku menulis apa saja, mendengar cerita hari ini perihal kepergian, kengerian, kenyerian, kebahagiaan, atau tentang kopi yang diseduh dan disuguhkan oleh seorang lelaki yang tidak paham takaran. Setelah itu, aku akan memberimu makan, membersihkan tempat tinggalmu, menambah batu-batu untukmu bermain, tanaman-tanaman lain yang bisa kau candai dan memutarkan musik-musik klasik; Bach, Mozart, atau lagu siapapun yang kau suka--kecuali disko tentu saja. Apakah itu memang terlalu berat untukmu?
         Ah, Pablo, Pablo. Kau memutuskan mati sebelum aku memberimu makanan yang baik untuk kesehatan. Apa kau sebelumnya sudah sakit? Kau kelelahan karena terus menghindar jaring bocah-bocah itu? Semoga kau memaafkanku yang terlambat menyelamatkanmu.
         Pablo, aku berharap kau tinggal lebih lama. Tapi, kedatangan barangkali hanyalah kepergian yang tertunda. Kau sudah menundanya beberapa jam, Pablo. Terima kasih.

Selamat jalan, Pablo. Neruda pasti kehilanganmu.

Dari Nonamu yang sebentar,

Uthera Kalimaya.

  • 2 Comments

Where we are now

o

About me

a


@NYIMASK

"Selamat datang dan selamat membaca. Semoga kita semua selalu sehat, berbahagia, dan berkelimpahan rezeki dari arah mana saja.”


Follow Us

  • bloglovin
  • pinterest
  • instagram
  • facebook
  • Instagram

recent posts

Labels

#dirumahaja #tukarcerita Artikel Catatan Perjalanan Celoteh Cerpen E-Book Esai Info Lomba Journey Jurnal Kamar Penulis Lowongan Kerja Naskah Poject Promo Puisi Slider Undangan

instagram

PT. iBhumi Jagat Nuswantara | Template Created By :Blogger Templates | ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top