Nyaba Ka Baduy


"Tak! Tak! Tak!"

Suara itu terdengar dari setiap beranda yang kami lewati. Para perempuan berbagai usia, duduk menghadap alat tenun. Di beberapa beranda pula, hasil tenun dipajang beserta pernak-pernik lain khas Baduy. Termasuk madu odeng dan racikan jahe merah dicampur gula yang bisa langsung seduh. Mulutku berdecak sembari terus mencoba mengingat sembilan tahun lalu di tempat serupa yang tak sama lagi itu. Betapa industri pariwisata begitu berkibar di Baduy.

Menarik diri ke belakang, setidaknya aku pernah dua kali menginjakan kaki di kampung ini. Pertama antara tahun 2005-2006 saat mengantar seorang kawan yang melakukan penelitian di sana. Kami menginap hampir seminggu di rumah yang aku tak ingat letaknya sekarang, bahkan aku tak ingat lagi keluarga yang menampung kami itu. Dulu, kami sempat nekat menyusuri hutan menuju ke kampung Gajeboh. Tapi, karena hutan begitu panjang dan terasa menakutkan bagi dua perempuan sok nekad, kami memutuskan balik kanan. 

Kedua, 2010 saat aku diajak ikut tur untuk memandu acara yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan rokok. Tempat ketiga yang menjadi tugasku itu di lapangan parkir Ciboleger. Kru dan pengisi acara memutuskan beristirahat di salah satu rumah penduduk di Kadu Ketug. Aku tak ingat menginap di rumah siapa, hanya saja aku ingat ia memiliki anak gadis yang kutemani memasak ayam goreng untuk kru. Kalau tak salah, namanya Itoh. Dia gadis yang manis dan pemalu. Setiap pertanyaanku selalu dia jawab tak tahu. Bahkan ketika kutanyakan soal tenun itu.

Ah, mungkin Itoh kini sudah bisa menjawab pertanyaanku. Tapi, di mana Itoh tinggal? Ia pasti sudah berkeluarga dan beranak pinak di salah satu perkampungan orang Baduy. Jika berjodoh, aku pastikan kami bertemu lagi.

Kali ini, aku datang bersama rombongan Ngopi Outdoor Padepokan Kupi. Kepergian tanpa rencana ini terjadi akibat salah seorang kawan penari, Putri Wartawati, yang membawa cengcemannya dari Swiss itu mengatakan ingin berkunjung ke Baduy tapi tidak tahu jalan. Dasarnya tukang bolak-balik Baduy untuk ngopi saja, owner Padepokan Kupi langsung menanggapi serius. Begitu pula para anggota Ngopi Outdoornya yang sangat militan itu. Ditambah lagi ini musim durian. Alhasil, orang yang doyan ngopi sekaligus rebutan durian, langsung maju untuk ikut berburu di Baduy.

Rumah pertama yang kami datangi pertama kali di Baduy, tentu rumah Jaro. Pupuhu super sibuk ini seolah tahu kami akan datang, meskipun kami tidak mengirimkan pesan kedatangan. Duduk di rumah Pak Jaro, aku memilih mendekati gadis cilik yang asyik memperdengarkan suara 'tak-tak-tak' di sisi beranda yang hampir tersembunyi di balik kain tenun yang dipajang. Ia sedang membuat tenun putih yang tidak terlalu banyak motif. Kebiasaan lupaku kambuh saat itu, aku lebih fokus bertanya mengenai kain yang dibuatnya dibanding bertanya nama. Ah, sialnya. Meski memang, aku hanya sebentar mengajaknya ngobrol karena kemudian aku bergabung dengan kawan-kawan untuk bertemu Pak Jaro.

Baru saja duduk, seorang lelaki di beranda rumah itu mengatakan ada gempa. Padahal aku tidak merasa. Entah gempanya terlalu kecil, atau aku sedang memikirkan kasur karena kepergianku tidak diawali dengan tidur. Kawan-kawan yang lain pun banyak yang tidak merasa. Tapi dari informasi BMKG di media sosial, akhirnya kami tahu kebenaran soal gempa siang itu.

Seusai ngobrol, kami pamit untuk meneruskan perjalanan ke Kampung Gajeboh. Tentu saja kami tidak ingat untuk berpose terlebih dahulu bersama Pak Jaro. Alhasil, ketika kami mampir di rumah kenalan yang letaknya tak jauh dari rumah Pak Jaro, kami memutar balik hanya untuk berpose. Aih! Traveler banyak lupa seperti ini, gaes. Maklum saja ya. Mengenai berpose ini, sebelumnya kami juga berpose di patung Ciboleger. Tumben sekali dan hampir semua orang dalam rombongan mengatakan baru pertama kali berpose di sana, meski ada yang sudah beberapa kali bolak-balik Baduy.

Seusai pamit (lagi) pada Pak Jaro, kami meneruskan perjalanan menuju Kampung Gajeboh. Kami berpapasan dengan anak-anak setinggi sapu yang memikul durian begitu banyak. Pikulan yang diteriaki ampun oleh mamang bertubuh tinggi besar yang doyan bermain basket dan berkecimpung di berbagai ladang pertanian, Om Opik. Sedangkan mereka memikul beban seberat itu dari kampung yang entah di mana hingga ke Ciboleger ini. Om Opik kalah telak. Haha.

Jalan setapak kami lewati, kebun dan ladang menjadi pemandangan lainnya. Tentu, nun jauh di sana perbukitan yang hijau di antara awan yang lucu membuat lelah tidak begitu bermasalah. Tidak hanya itu, tamu yang kelelahan juga sudah disiapkan tempat duduk untuk beristirah di beberapa tempat. Keberadaan Toby di dalam rombongan ini, tentu menarik perhatian orang-orang yang sedang beristirah. Beberapa dari mereka diam-diam menghadapkan kamera ponsel padanya dan Toby pun mulai pundung. Sepanjang perjalanan setelah istirah itu, ia terus ngedumel. Aku paham sekali kenapa ia begitu. Pandangan dan perlakuan berbeda dari orang-orang membuat siapapun pasti tidak nyaman. Beberapa dari kami juga agaknya tidak nyaman menjelaskan alasan perlakuan itu. Tapi, suasana tidak nyaman itu sedikit demi sedikit teralihkan dengan banyaknya candaan di sepanjang perjalanan.

Hutan dan ladang, turunan panjang, kami lewati hingga perkampungan lainnya tampak di depan mata. Suara Tak-tak-tak terdengar dari tiap beranda rumah di sana. Semula, aku ingin mampir. Tapi karena rombongan tergesa ingin segera sampai kampung tujuan, niat itu kuurungkan. Nggak lucu juga kalau sengaja meninggalkan diri. Mesipun tetap saja tertinggal karena kaki mulai terasa pegal.

Kampung Gajeboh sudah kami injak. Rumah singgah dari kenalan mamang kopi pun sudah membuka pintu dan menyuguhkan air minum. Istirahat menjadi satu-satunya yang kami inginkan. Kami mengeringkan keringat sembari terus mengobrol. Sungai di samping rumah mengundang siapapun untuk mendinginkan badan setelah berkeringat. Tapi niat untuk mandi mesti ditunda, sebab ada ritual wajib yang harus dijalani terlebih dahulu oleh para traveler; foto-foto. Jembatan menjadi tempat favorit berpose banyak orang. Lihat saja di aplikasi foto, pasti banyak pose di jembatan itu. Selain itu, leuit yang berada di seberang sungai juga menjadi latar lainnya yang sepertinya wajib untuk diabadikan. Termasuk, berpose bersama aki yang bermain suling itu. Aki yang selalu mengaku berusia 100 tahun kurang satu itu sangat baik. Beberapa dari kami menyempatkan diri mengobrol dengannya. Selain perihal usia, aku tak tahu lagi apa yang sedang mereka obrolkan karena tentu saja aku pun tidak mau ketinggalan berselfie ria. Ngehek sekali, bukan?

Kenapa aku sebut ngehek? Karena akibat ini aku lupa memperhatikan hal-hal di sekitar. Aku lupa pada leuit, pada pepohonan, pada rumput, pada batu, pun lupa menyapa dan mengobrol dengan para perempuan yang kulihat ada yang sedang menenun di beranda rumahnya. Ini tentu kesalahanku sepenuhnya. Sebab di saat yang sama, aji mumpung di kepalaku sedang melakukan fungsinya. Mumpung ke sini, kenapa nggak berpose bersama seperti itu. Lain waktu mungkin aku bersama yang lain, atau mungkin sendirian berkunjung ke kampung baduy luar ini.

Bicara soal waktu, kami menutup aktivitas di sekitar jembatan ini setelah Destian mengeluarkan drone dan kami berpose bersama. Setelahnya, aku memilih balik ke rumah tempat kami beristirah. Aku memilih tidur, sementara yang lain bersiap mandi di sungai. Sebelum tidur, aku masih mendengar suara Mang Aliyth meminta dibuatkan mie instan ke Teh Sani, tuan rumah tempat kami beristirah.

You Might Also Like

0 Comments