Menunggu Durian Jatuh di Rumah Hutan Serang



Sebenarnya sudah lama ingin mampir di Rumah Hutan Serang. Tapi karena satu dan lain hal, terutama sering ketinggalan 'hayu', akhirnya keinginan itu dipendam saja. Akhirnya, Rabu 31 Januari lalu, bersama kawan-kawan Eiger Cilegon yang sudah janjian ke hutan bareng, keinginan itu terlaksana juga.

Kami mengambil jalur Ciracas-Sayar, jalannya yang dulu sering dikeluhkan itu sudah diperbaiki sebagian. Yah, sebagian lagi sudah ada bolong-bolong dan gujlag-gejlugnya seperti keadaan jalan di tempat lainnya. Lalu lintas lancar, bahkan cenderung sepi. Mungkin akan berbeda jika kami mengambil jalur Taktakan yang lumayan memutar itu.

Jarak menuju Rumah Hutan melalui jalur Sayar ini kurang lebih 15 km. Pemandangannya menawan sekali. Selain disuguhi gugusan perbukitan, lembah, melewati komplek kuburan cina, juga di sisi kiri dan kanan atau di depan rumah penduduk itu menyuguhkan pemandangan yang membuat decak kagum; betapa tanah ini begitu subur. Bagaimana tidak, buah rambutan di depan rumah penduduk itu sudah hampir menyentuh tanah. Bahkan beberapa dahan tampak patah karena tak kuat menahan beban buah yang begitu melimpah. Selain rambutan, kecapi juga tidak ada bedanya. Di bawah pohon buah bernama latin Sandoricum koetjape itu berserakan di tanah. Tentu saja, buah durian juga begitu melimpah bila ditilik dari berjejarnya para pedagang buah itu di pingir jalan.

Berulang kali mulutku menggumamkan kata 'woah', dan mungkin kawan yang memboncengku sedikit terganggu karenanya. Meskipun dia tidak banyak komentar karena dia juga sibuk mengambil gambar video perjalanan dengan satu tangan memegang stang motor. Plis, jangan ditiru ya. Aku juga ngeri sebenarnya dan beberapa kali meminta ponselnya untuk aku ambilkan saja. Tapi, dasar badung, ya gitu... Muahaha...

Sesampainya di area parkir Rumah Hutan, kendaraan dihentikan. Stang dikunci, dan tentu saja menitipkan ke empunya lahan untuk dijaga selama kami masuk area perkebunan warga itu. Sebenarnya, di hari tanpa hujan, banyak orang yang membawa kendaraan langsung ke lokasi Rumah Hutan. Tapi hujan yang mengguyur Kota Serang membuat jalan menuju tempat favorit para tukang selfie itu menjadi licin. Belum lagi cerita mengenai kesulitan saat minggu sebelumnya kawanku memaksakan diri membawa kendaraan ke lokasi. Meskipun dia sendiri dengan bangga menunjukan betapa ia bisa melewati jalan licin itu, meski saling dorong dengan kawan lainnya.

Suara air menyambut di kejauhan. Aku bertanya padanya apa memang jalan di depan ada aliran sungai? Dan kawanku itu menjawab iya. Sebenarnya, jarak tempuh dari tempat menitipkan kendaraan hingga ke lokasi Rumah Hutan tidak terlalu jauh andai di perjalanan tidak terlalu banyak selfie, atau sengaja berjalan pelan. Karena maksud kedatangan kami hendak menunggu durian, maka kami juga termasuk bagian dari yang pelan berjalan sembari selfie dan memotret sekitar. Hihi.. Oho! Tentu saja sambil mengomentari plang peringatan yang dipasang pengelola Rumah Hutan itu. Salah satunya, dilarang untuk pulang terlalu sore, juga larangan untuk berpelukan di area itu bila belum muhrim dengan embel-embel mistismenya.

Aku sengaja mengambil gambar untuk larangan itu, bukan untuk mengingatkan. Tapi untuk ditunjukan padamu, duhai para Natural Bending. Sekaligus mencandai kawan Eiger Cilegon untuk tidak saling berpelukan, meskipun sama-sama jomblo dan sama-sama lelaki. Bukan apa-apa, hanya untuk menjaga agar penjaga tempat itu tidak kaget melihatnya. Heu...


Setelah melewati jalur menanjak dengan gurat bekas roda kendaraan yang dalam, bebatuan di pintu masuk menyambut kami. Suara salam kami teriakan pada seorang perempuan yang sedang tertidur di saung dekat pintu masuk. Dasar memang orang doyan ke hutan, kami santai saja meneriakannya dilanjutkan dengan menanyakan durian. Tapi, saat kakiku baru beberapa langkah saja memasuki area Rumah Hutan, pohon durian di dekatku menjatuhkan buahnya di dahan sebelah kiri jalan. Hampir semua orang di sana, termasuk ibu di saung itu meneriakan kata 'awas' padaku. Tentu aku mundur dan melihat area jatuh yang lumayan jauh itu. Sebagai orang Indonesia yang punya stok 'untung atau beruntung', durian yang jatuh bukan yang di atas kepalaku. Heu... Nuhun, ah.

Memasuki lebih dalam Rumah Hutan, lapangan tenis, beberapa saung yang masih kokoh dan satu yang sudah roboh, Warung Bu Mar yang akhirnya kami tahu ia bercita-cita membuka toko retail Indo-Mar yang menjual segala macam bahan pangan termasuk anak ayam--saran Farid, sih. Juga, ada rumah baca di area puncak, mushola, dan fasilitas lainnya yang sering dijadikan tempat selfie pengunjung. Karena dalam daftar niatku tidak ada selfie, jadi aku fokus ke durian saja. Meskipun beberapa kali diminta untuk memotretkan para jalu itu. Kesal, sih, tapi selama ada durian dan kopi, tidak apa-apa sesekali menjadi juru foto. Heu.

Awalnya kami hanya memesan tiga durian yang dibuka dengan cara teramat tidak durianwi oleh Bu Mar, tapi ketika bapak datang dari kebun lainnya kami langsung disodori durian lainnya. Bu Mar dan ibu yang tidur di saung itu ikut mengomentari dan menjuluki durian yang disodorkan. Durian Syahrini karena kuning dagingnya sangat mulus dan embel-embel lain. Dalam hatiku, thanks God, mereka tidak menyebut Mamah Dedeh. Aku sedang malas curhat.

Lai atau lay atau durian kuning, sebutan untuk varian yang disodorkan bapak itu. Bentuknya buahnya seperti durian, tapi tidak memiliki bau seperti durian. Rasanya seperti saat kamu memakan ubi mentah. Tapi, lumayanlah sebagainya hadiah ulang tahunku. Selain buah itu, bapak juga menyodorkan pisang yang ia bawa dari kebun sebelah, Bu Mar membiarkan kami memanjat rambutan dan celotehan menyegarkan yang Jawa Serang (Jaseng) banget itu. Aku sedikit tahu beberapa kata Jawa Serang, sementara kata atau kalimat lain minta diterjemahkan kawan yang terbiasa berkomunikasi memakai bahasa Jawa.

Bu Mar banyak bercerita keinginan membuat toko retail Indo-Mar itu, juga perihal anjing yang ditembak mati para pemburu durian di malam hari. Awalnya ada 6 anjing yang menjaga Rumah Hutan itu, tapi di musim durian, banyak orang jahat yang sengaja membunuh anjing itu agar dapat mengambil durian yang jatuh tanpa diketahui orang penjaga yang terlelap di saung. Ia juga bercerita mengenai kebiasaan pengunjung. Bahkan menurutnya, ada seorang pengunjung yang begitu penasaran perihal asal muasal dirinya yang dianggap mirip orang Ambon. Pengunjung itu sampai menguntitnya ke dapur hanya untuk memuaskan keingintahuannya itu. Hingga akhirnya, pengunjung itu pula bertanya 'sejak kapan ia masuk Islam?' dan Bu Mar langsung menjawabnya 'baru kemarin', saking kesalnya.

Cerita Bu Mar itu membuat kami mengutuk sekaligus tergelak di beberapa bagian. Kami mengutuk kejulidan orang yang tega menembak anjing penjaga itu, sekaligus tergelak mengenai aksi pengunjung dan jawaban Bu Mar itu. Tentu, kami juga mencandainya di beberapa bagian. Kami katakan pada Bu Mar bila pengunjung itu mungkin tertarik pada Bu Mar dan selorohan lainnya yang menambah gelak tawa kami saja.

Saat pamit pulang, Bu Mar menghitung durian yang kami makan tanpa menghitung buah-buahan lainnya, termasuk lai itu. Total tiga durian ditambah durian yang Bu Mar sebut tidak enak, tapi dipaksakan untuk dibawa saja. Ah, tentu saja pisang juga kami bawa pulang. Apalagi Bu Mar mengatakan di sana pisang tidak akan ada yang makan. Alhamdulillah, ya jalan-jalan rasa ngalasan. Terima kasih, Rumah Hutan Cidampit, Bu Mar, Bapak dan Ibu yang bertemu di sana. Beri kabar kalau si Gadis turun ya. :-D

You Might Also Like

0 Comments