Melihat di Kejauhan







ufuk tempatmu berpijak masih tampak seperti titik
pada nun tanpa fathah, hingga meraba menjadi cara
membaca cuaca di bahumu saban hari
ketika kekosongan terasa sangat mencekik ujung lidah
untuk berkirim tanya perihal apa yang terjadi
di ujung jalan yang kau lewati hari ini?
daun apa yang pertama kali kau lihat jatuh
saat kau menalikan sepatu di beranda?
dan kata apa yang tersirat di kepala saat matamu
baru saja terbuka, meninggalkan mimpi-mimpi
di mana setiap pertemuan menjadi niscaya
meski aku tak pernah kau undang bertamu

di lain waktu, saat mataku terkena debu
dan dadaku menjadi kanak-kanak yang mencomot
cemburu seperti kembang gula saja
saat itu pula, ingin sekali kukirimkan suar
langsung ke jendelakamarmu agar kau tahu
bertapa kau selalu menjadi taman firdaus
yang mendadak hadir di Tartarus

ketika hujan menderas mengurungku
di perjalanan, tempias terasa seperti tamparan
keras atas ketakwarasanku menatapmu
di sebalik hujan yang mengabut itu
dadaku mendadak perih. tak bisakah kau buka
payung di kamarmu agar kau merasa bisa
menjemputku pulang ke dadamu?

pada ufuk tempatmu berpijak itulah alamat
kampung halaman yang kelak menjadi tempat
segala rasaku selalu berpulang

(Serang, 2015)

You Might Also Like

0 Comments