Generasi 80 dan 90-an, Mari Bermain Gatrik Lagi

Main gatrik by Jilmi Astina (sumber kompas.com)

Serang, Uthera | Berbahagialah generasi tahun 80 dan 90-an, sebab generasi kalianlah yang terakhir mencicipi permainan tradisional yang sebagian besar dilakukan di halaman. Berkumpul dan memainkan beragam permainan, seperti gatrik, gobag, engklek, boy-boyan, engrang, dan lain sebagainya. Permainan itu sungguh mengasyikkan, bukan? Jadwal bermain biasanya sepulang sekolah, sepulang madrasah dan sepulang mengaji. Tapi tak jarang, saking lupa waktu, pulang pun harus dijewer ibu.
Tapi, sadarkah anda, karena generasi 80 dan 90-an pulalah, banyak permainan tradisional terancam hilang dari khazanah kaulinan barudak lembur atau dolanan?
       Seperti diketahui, permainan tradisional memiliki sifat seperti foklor. Diceritakan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Proses pembelajarannya tak jarang harus dimainkan bersama anak-anak, hingga mereka mengerti dan bisa memainkan sendiri bersama kawan-kawannya. Sebab, banyak permainan tradisional yang bersifat komunal atau melibatkan banyak pemain. Sehingga, faktor kegembiraan bersama yang menjadi tujuan permainan tradisional, dapat tercapai dengan baik.
      Salah satu permainan tradisional yang terancam hilang adalah gatrik. Permainan yang berhadiah akod (gendong-red) bagi pemenang ini, menggunakan alat tongkat kayu, atau bilah bambu sepanjang 30 cm dan tongkat lebih pendek. Biasanya terdiri atas dua kelompok dengan masing-masing anggota 2-5 orang. Kedua kelompok ini terdiri atas tim pemukul dan tim penangkap, dengan sebelumnya melakukan suit, atau melempar tongkat gatrik yang lebih pendek ke landasan. Entah itu batu, atau lubang tanah tak terlalu dalam yang digali para pemainnya. Tim yang melemparnya lalu masuk pada lubang, atau paling dekat dengan batu landasan, maka berhak menjadi tim pemukul.
      Mengenai aturan main, permainan yang memiliki tiga babak ini tidak memerlukan aturan yang khusus. Hanya saja, si pemukul diharuskan memukul dengan tepat tongkat pendek gatrik, sehingga dapat terlempar jauh. Sementara tim penangkap, harus mampu menangkap tongkat pendek gatrik yang dipukul oleh tim pemukul, agar menggagalkan tim pemukul mendapat nilai. Selain itu, agar tim penangkap pun mendapat giliran menjadi tim pemukul.
      Guna merespon hal ini, teaterawan Untirta, Imaf M. Liwa, berinisiatif mengembalikan budaya dolanan pada anak-anak di Desa Pontang. Menurut lelaki yang termasuk generasi 90-an ini, budaya dolanan sangat penting diajarkan kembali. Sebab, melalui dolanan anak-anak belajar membaca ruang (alamnya-red). Anak merespon apa yang mereka miliki dan mampu menciptakan persaudaraan, kekompakan sebuah tim melalui permainan seperti gatrik, engklek, bentengan, dan lain sebagainya. Serta dapat mengasah kreativitas anak untuk mengolah apa yang ada di alam.
      “Intinya, ada nilai-nilai luhur dalam permainan tempo dulu yang mesti dipertimbangkan.” Ujarnya.
       Mengenai terkikisnya budaya dolanan oleh gempuran gadget dan permainan modern, mahasiswa tingkat akhir ini mengatakan, bahwa ketidakpedulian orang tua dan tidak ada yang mewariskannya yang membuat budaya dolanan hilang. Oleh karena itu, tugas orang dewasa (generasi sebelumnya-red) saat ini, mengenalkan permainan tempo dulu ini lagi.
     “Saya rasa anak sekarang pun akan menggemari permainan tempo dulu lagi, jika kita kenalkan kembali.” Pungkasnya. []
  
Ditulis untuk Ruang Rekonstruksi.co

You Might Also Like

0 Comments